delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masuk ke kamar Terry dan langsung menimpukinya dengan bantal. Terry yang sedang main game kaget dan berusaha menghindariku.

"Woi, apa-apaan, Nyet??"

Terry akhirnya berhasil menangkapku dan mengunci lenganku. Kami berdua ngos-ngosan kecapean, eh lebih tepatnya aku doang yang ngos-ngosan. Dia mah kayak badak. Tenaganya kuat dan biasa olahraga.

"Lo nggak bilang-bilang Leon itu anak bos lo." Terry langsung nyengir.

"Oh, udah ketauan ya?"

"Emang sengaja nggak mau bilang, Sap??"

Aku meronta, tapi Terry tak bergerak. Apa dayaku yang macam kurcaci ini melawan Tery yang seperti raksasa?

"Gue pikir lebih enak kalo lo nggak tau soal Leon anak siapa, sebelum lo cukup dekat sama dia. Gue nggak mau penilaian lo berubah hanya karena dia orang kaya."

"Kenapa berubah? Apa gue tipe orang yang menilai orang dari kekayaannya?" tanyaku dengan tersinggung.

"Lo kan suka ngejudge orang kaya itu nggak oke. Kalo gini, lo udah kenal orangnya dulu baru tau dia kaya, lo nggak akan telanjur menganggap dia buruk."

"Gue udah nggak gitu, kali."

"Kan gue jaga-jaga aja."

Terry melepasku dan aku langsung berbaring dengan cuek di atas ranjangnya. Aku sudah ganti baju. Beneran.

Terry berbaring telentang di sebelahku dan aku membalik badanku supaya bisa melihat wajahnya.

"Lo udah ketemu keluarganya?"

"Udah."

"Termasuk Pak Jeremy?"

"Ya."

"Oh.."

Terry terdiam sesaat, lalu dia kembali bicara.

"Sorry gue nggak ngasih tau lo."

"Nggak apa."

"Terus gimana pendapat lo tentang keluarganya?"

Aku bingung bagaimana menjawabnya. Akhirnya hanya satu kalimat pendek yang kujadikan jawaban, dan ternyata itu sudah lebih dari cukup untuk Terry memahami maksudku.

"Keluarganya oke."

"Baguslah. I know you will like them."

***

Karena design sudah di-acc oleh klien dan pengukuran pun sudah dilakukan, mau tidak mau aku kembali ngantor dan mulai mengerjakan gaunnya. Jadi aku mengurung diri di salah satu studio dengan iPod kesayanganku, dengan ponsel dalam kondisi silent.

Ah, kayak ada yang bakal nyariin aja.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku bekerja. Lina, salah satu OG, menghampiriku untuk menawarkan kopi, yang kuterima dengan senang hati. Aku menghabiskan kopi yang sudah dingin itu dan mengecek ponsel. Dua belas lima belas. Tepat saat itu pintu studio diketuk dan kepala Puji muncul.

"Udah jam makan siang, Neng."

"Lo pada makan apa?"

"Kita mau nitip Rojali nasi padang. Mau nggak lo?" kata Puji, menyebut nama satu-satunya OB di sini.

"Boleh deh, gue pake telor sama perkedel ya. Pinjem duit lo dulu ya, tar gue ganti."

"Oke deh."

Puji menutup pintu, meninggalkanku sendiri. Aku membereskan gambar pola yang berserakan, mematikan iPod, lalu keluar dari studio.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk di meja pantry bersama Puji dan Aline sambil menyantap makan siang kami.

"Jadi gimana proyek lo sama Barata?" tanya Aline membuka percakapan di antara kami.

"Gue lagi kerjain gaunnya nih sekarang."

"Lo udah ketemu sekeluarganya?"

Aku mengangguk, kembali mengingat kejadian semalam.

Aline menoleh ke kiri dan kanan, lalu berbicara dengan suara pelan.

"Udah ketemu adiknya Hari Barata?"

"Yang mana?" tanyaku.

"Yang cowok lah," jawab Aline cepat.

Aku mengangguk.

"Jadi gimana menurut lo? Dia serem nggak?"

"Nggak juga..."

"Jadi namanya siapa, guys?" tanya Puji penasaran sambil mengeluarkan ponselnya.

"Leonardo Barata. Cek deh," kata Aline sambil menyuap rendang ke mulutnya.

Puji mengetik menggunakan tangan kirinya yang bebas sendok, lalu berteriak kaget.

"Anjir!! Kayak aktor India favorit gue!!"

Aline langsung memukul kepala Puji.

"Otak sinetron India lo!! Makan tuh India!!"

"Seriusan, Line. Mirip banget sama aktor di film Nakusha."

Aline memutar bola matanya.

"Lo mau nyebut judul film India dari A sampai Z juga gue nggak ada yang tahu, kali."

Aku terkekeh pelan. Punya dua teman yang selera filmnya berbeda memang menarik.

"Aline mah tahunya film Korea, kayak Goblin gitu-gitu," timpalku.

Puji mengernyit.

"Goblin? Itu bukannya monster kecil pencuri duit di clash of clans?"

"Terserah lo lah," gerutu Aline pasrah.

Puji kembali menatap ponselnya.

"Emang agak serem-serem gitu. Tapi sebenarnya dia lumayan kok, walaupun gantengan Hari Barata," katanya lagi.

Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Aku sadar Leon ganteng, tapi aku tidak suka orang lain melihatnya ganteng.

"Selera lo aneh banget," ledek Aline.

Mendadak aku merasa tersinggung. Nggak ada yang salah dengan seleraku.

Belum sempat aku menyahut, Lina membuka pintu pantry.

"Mbak Karen, ada yang nyariin Mbak. Model. Mau fitting katanya."

Model?

Aku dan kedua temanku berpandangan.

"Oke, bentar ya, Lin. Saya habisin ini dulu," kataku menunjuk nasi Padang yang sisa separuh. Lina mengangguk dan meninggalkan kami.

"Model nyari lo? Ngapain?" tanya Aline penasaran. Aku mengangkat bahu.

Selama menjadi junior desainer, baru satu kali kami berurusan dengan model, yaitu saat fashion show Bu Maria. Jadi aku tidak punya ide sama sekali siapa yang datang menemuiku.

Selesai makan, aku menuju ruang tempat kami biasa menerima tamu.

Begitu aku membuka pintu, wajah Olivia yang menatapku sambil tersenyum menyambutku di dalam ruangan.

Oh, dia.

Aku masuk dan duduk di depannya.

"Kak Nina."

"Olivia."

Dia menyesap teh yang disediakan, membenarkan posisi duduknya, lalu kembali menatapku.

Gadis ini cantik. Dengan tubuh lumayan tinggi dan ramping, sepertinya pakaian apapun akan bagus jika ia kenakan.

"Aku lupa bilang sama Kak Nina, aku yang jadi bridemaid Kak Mitha nantinya. Mama bilang minta kak Nina bantuin aku pilih gaunnya."

"Oke. Kalau begitu, ayo."

Aku mengajaknya keluar dari ruangan, lalu mencari gaun yang cocok untuknya.

Aku sedang membantunya mengenakan gaun pilihannya saat dia mengajakku mengobrol.

"Kak Nina sama Bang Leon gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Kak Nina dan Bang Leon temenan kan?"

"Ya."

Olivia terkekeh.

"Rasanya aneh, ini pertama kalinya Bang Leon punya teman perempuan."

Aku diam, malas menanggapinya, dan Oliv melanjutkan ucapannya.

"Belum pernah Bang Leon terlihat senyaman itu bersama perempuan. Sejauh yang aku lihat baru sama kakak aja."

"Mungkin dia menganggapku seperti Terry," jawabku. Oliv menatapku dari cermin dan mengernyit.

"Err.. Bang Terry udah cerita tentang Bang Leon kan? Tentang perempuan yang dia suka..."

"Ya."

"Bang Terry bilang apa lagi?"

"Maksudnya?"

"Erm, mungkin tentang siapa perempuan itu..."

"Nope."

"Oh..."

Olivia diam, dan aku ikut diam. Aku tidak suka pembicaraan ini, mengenai seseorang yang aku tidak tahu siapa, seseorang yang spesial untuk Leon. Dan Oliv pun menahan diri untuk bicara lebih jauh.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro