tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kok lo ada di sini?" aku dan Leon mengucapkannya berbarengan, dan aku bisa mendengar dengusan tawa yang tertahan dari Olivia. Apanya yang lucu?

"Kak Nina, kenalin, ini Leonardo Barata, abangku. Bang Leon, kak Nina itu desainer gaun pengantin Kak Mitha."

Aku membelalak kaget. Dia Barata? Dan Terry bilang dia ikut Terry part time di McD??

Aku pikir dia orang biasa. Cih.

Leon mengalihkan pandangan dariku dan menatap Bu Anas dengan tajam. Bu Anas buru-buru menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan entah-apa yang dilancarkan Leon padanya.

"Jadi kalian saling kenal?" tanya Hari. Leon hanya mengangguk sekali sebagai jawaban.

"Iya, Pak. Saya saudara temannya," jawabku.

"Kamu kembarannya Terry??" seru Hari dan Mitha berbarengan. Mereka berdua menatapku terkejut dan menatap Oliv seperti minta penjelasan. Oliv hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

Oke, mereka semua kenal Terry. Terry ngutang banyak penjelasan ke aku. Kampret.

"Nggak mirip..." celetuk Hari yang langsung dipukul oleh mbak Mitha.

"Mirip tau. Mukanya mirip. Tingginya doang yang nggak..."

Wah, lebih kampret lagi.

"Ada apa ini?"

Suara dalam dan menggelegar itu membuat kami semua menoleh, dan aku melihat sosok Jeremy Barata berdiri di ambang pintu, menatap kami semua penasaran.

Om-om ganteng, seganteng tampilannya di majalah Bisnis milik Terry.

Fokus, Nina. Fokus.

Matanya yang tajam menatap sekeliling dan berhenti di aku.

"Nina Hanafi? Adik kembarnya Killian?" Aku mengangguk.

Killian itu Terry, by the way. Killian Akira Terry Hanafi. Terry itu panggilan akrabnya, tapi Killian nama depannya. 

"Kok papi tau?" tanya Oliv.

"Killian menaruh fotonya di meja kerjanya," jawab Jeremy. Aku terkejut. Bukan karena Terry menaruh fotoku di meja kerjanya, tapi karena Jeremy Barata mengenaliku dari foto itu. Foto yang Terry pajang adalah kami berdua sesaat setelah kami lulus kuliah dan kembali ke Indo. Waktu itu rambutku masih sepinggang - demi hemat biaya potong rambut, bayangin betapa pelitnya aku dulu. Aku membabat rambutku sampai sebahu begitu ditawari hair stylist tempatku bekerja untuk potong rambut gratis karena ngeri melihat rambutku yang seperti Sadako - begitu katanya. Aku sih bodo amat dia mau ngomong apa. Yang penting gratis coy.

"Jadi kamu designer gaun pengantinnya Mitha?" tanya Jeremy Barata. Aku kembali mengangguk.

Jeremy Barata menatap Olivia yang sibuk berkedip seperti orang kelilipan, lalu mengalihkan pandangannya kembali padaku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangannya.

"Jeremy Barata."

"Karenina Hanafi."

Bu Anas langsung menuntunku duduk di salah satu kursi, tepat di sebelah Leon. Leon melirikku sekilas dan menatap tajam ibunya yang tersenyum lebar.

Begitu semua sudah duduk mengelilingi meja makan, Jeremy Barata memimpin doa makan. Aku tertegun.

Sudah berapa lama aku tidak pernah berdoa bersama seperti ini lagi? Dulu, biasanya almarhum Papi selalu memimpin doa makan dan doa sebelum tidur. Tapi sejak orangtuaku pergi, aku dan Terry seperti kehilangan pegangan. Aku masih rutin berdoa, tapi tidak sesering dulu. Terry lebih parah lagi.

Tanpa sadar airmataku mengalir. Sosok Jeremy Barata yang memimpin doa mengingatkanku pada Papi. Tapi aku malu. Aku asing di sini. Jangan sampai mereka melihatku menangis. Pelan-pelan aku menghapus airmataku, namun gerakanku rupanya disadari Leon.

Aku terkejut saat dia tiba-tiba menggenggam tanganku erat, dengan kondisi mata masih terpejam. Dadaku menghangat, sehangat genggaman tangannya yang membungkus erat jemariku.

Begitu semua selesai berdoa, dia melepas genggaman tangannya dan melirikku sambil tersenyum. Aku jadi ikut tersenyum melihatnya.

Aku menyukainya.

***

"Jadi Terry tidak pernah bilang apa-apa?" tanya Bu Anas. Aku menggeleng.

"Tidak, aku hanya tahu dia bekerja di perusahaannya Pak Jeremy."

"Jangan panggil saya Bapak. Panggil Om saja." Aku mengernyit menatap Jeremy Barata yang menatapku dengan wajah datarnya. Aku sekarang baru menyadari betapa miripnya Leon dengan ayahnya ini, seandainya Leon mencukur habis semua rambut di wajahnya.

"Jangan, Pak. Tidak enak. Pak Hari dan Mbak Mitha kan klien saya. Masa saya panggil Bapak Om?"

"Kenapa aku dipanggil Bapak, tapi Mitha kamu panggil Mbak?" Tiba-tiba Pak Hari protes sementara Mbak Mitha tertawa.

"Kalo nggak, saya harus panggil apa?"

"Panggil abang kek, kakak kek, Mas kek." Aku mengernyit makin dalam.

"Bapak kan klien saya. Tidak sopan sekali kalau saya panggil Bapak dengan panggilan abang, kakak, atau mas."

Bu Anas berusaha keras menahan tawanya melihat Hari menatapku tajam dengan Mbak Mitha yang berusaha menenangkannya.

"Mit, bantuin dong. Masa temannya Leon mau panggil aku Bapak?"

Bu Anas buru-buru menengahi.

"Saat urusan kerja, kamu boleh memanggilnya Bapak. Tapi saat seperti ini, panggil saja dia Bang Hari. Dan panggil kami tante dan Om ya, Karen."

Oke, kedengarannya lebih baik. Aku mengangguk setuju.

"Baiklah. Dan panggil saya Nina saja. Saya hanya dipanggil Karen di tempat kerja."

Bu Anas mengangguk.

Olivia menoleh kepadaku dan bertanya dengan wajah sumringah.

"Jadi bagaimana ceritanya kak Nina dan Bang Leon ketemu?"

"Terry," jawab Leon pendek. Olivia mendengus kesal, namun kembali menatapku.

"Bang Leon ke kak Nina kayak gimana? Diem aja kayak patung pancoran atau gimana?"

Aku baru akan membuka mulut namun tiba-tiba Leon menutup mulutku menggunakan tangannya.

Aku yakin wajahku memerah, karena jantungku sudah jumpalitan tidak bisa terkontrol.

"Nggak usah dijawab, Nin." Leon menatap adiknya tajam.

"Jangan tanya aneh-aneh."

Lalu tiba-tiba dia melepaskan tangannya, tampak salah tingkah. Sementara reaksi anggota keluarganya malah senyam-senyum nggak jelas.

"Sorry, Nin," gumamnya pelan.

"Nggak apa-apa," kataku dengan suara tercekat. Aku masih deg-degan.

Leon benar-benar tidak sehat untuk jantungku.

***

Selesai makan, aku pun berpamitan pulang.

"Pulang naik apa kamu?"

"Kendaraan umum, Tan."

Akhirnya sepanjang malam aku wajib memanggil mereka tante dan om. Astaga. Mimpi apa aku semalam.

"Gue anter."

Aku menatap Leon yang ternyata sedang menatapku.

"Nggak usah, Le."

"Sudah malam, Nina. Biar Leon antar kamu pulang," kata Om Jimmy.

Aku menatap Om Jimmy dan menggeleng.

"Nggak usah, Om. Kan baru pulang dia. Saya bisa pulang sendiri."

"Nina.." geram Leon, membuatku langsung bergidik. Tapi aku menguatkan diriku dan kembali menatapnya.

"Nggak, Le. Lo baru balik. Tar capek."

"Gue nggak capek."

"Sudahlah, Kak. Dianterin Bang Leon aja. Bang Leon kan bilang nggak capek," kata Olivia.

Belum sempat aku menanggapinya, tiba-tiba Om Jimmy bicara.

"Leon, nanti sekalian belikan martabak setelah antar Nina pulang ya."

Aku terbengong. Lalu dengan cepat semua menyebutkan pesanan mereka.

"Aku yang keju susu ya, Bang."

"Mama mau yang pandan."

"Coklat kacang ya, Le."

"Jangan lupa kacangnya yang banyak."

Leon menatap keluarganya dengan ekspresi datar, sementara mereka menunjukkan ekspresi innocent.

"Buruan jalan, Le. Keburu tutup tukang martabaknya."

"Jangan lupa Ninanya dianter pulang."

Ini cara mereka membuat Leon mengantarku pulang?

Aku benar-benar nggak ngerti keluarga ini.

Leon menyenggol ringan lenganku untuk menarik perhatianku dengan jarinya, namun efek sentuhannya membuatku berjengit. Seperti ada aliran listrik mengalir dari jemarinya yang menyentuhku.

"Ayo," katanya pelan, lalu berjalan mendahuluiku.

Aku mengangguk kepada Om Jimmy dan Tante Anas.

"Terima kasih untuk makan malamnya. Saya pulang dulu."

"Lain kali datang lagi ya."

"Hati-hati."

"Buruan susul Leon. Tuh anak gimana sih, yang mau nebeng masih di dalam, dia udah entah ke mana."

Aku kembali mengangguk, dan bergegas menyusul Leon.

***

Leon menjalankan mobilnya melintasi jalan raya dalam diam. Aku jadi ikut-ikutan diam. Hanya suara mesin mobil yang mengisi keheningan di antara kami.

Akhirnya aku memutuskan memecah keheningan ini.

"Le, lo beli martabaknya di mana?"

"Dekat rumah lo."

"Oh. Kalo gitu pesen dulu kali ya, baru anter gue. Biar lo nggak nunggu lama."

"Oke."

Hening lagi.

Krik krik krik.

"Jadi lo designer wedding gown Kak Mitha."

"Ya."

"Lo minta gue nemenin lo nyari inspirasi buat gaun Kak Mitha."

"Betul."

"Lo benar-benar nggak tahu gue Barata?"

Aku menoleh padanya, agak bingung.

"Nggak tahu. Gue kan nggak tahu nama lengkap lo."

Dia melirik aku sekilas, lalu sepertinya dia memutuskan mempercayai kata-kataku.

"Gue Leonardo Putra Barata, putra kedua Jeremy dan Anastasia Barata. Abang gue, Harianto Putra Barata, dan adik gue, Olivia Putri Barata. Tiga bersaudara."

Aku mengerjabkan mataku bingung. Dia kembali melirikku, lalu berkata, "salam kenal, Nina."

Aku nyengir, mendadak mengerti.

"Salam kenal, Leon. Jadi lo mau tahu nama lengkap gue nggak?"

"Karenina Hanafi, right?"

"No," kataku, mendadak tersinggung. "Masa nama Terry panjang, gue pendek?"

Aku berdeham, lalu menyebutkan namaku dengan sedikit - sedikit doang beneran - didramatisir.

"Karenina Ayane Thalia Hanafi. Bagus kan?"

"Bagus, bagus. Kebagusan sih sebenarnya."

"Maksud lo???"

Dia terkekeh pelan sementara aku menatapnya kesal. Nyebelin banget. Tapi ganteng.

Nina, stop.

Tiba-tiba dia mengulurkan tangan dan menepuk puncak kepalaku pelan. Hanya sebentar, lalu dia menarik tangannya kembali ke setir.

"Gue bercanda. Nama itu cocok sama lo."

Aku blushing. Kampret. Nih orang benar-benar mengacak-acak emosiku.

Fokus, Nina. Fokus.

Pria ini suka perempuan lain. Jangan berharap apa-apa.

Akal sehat berusaha mengingatkanku pada realita, tapi hati kampret ini tetap saja berdebar-debar. Sial.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro