lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, sekarang apa lo bisa ngasih tau gue kenapa kita ke Ancol buat nyari inspirasi proyek lo?"

"Karena gue pengen. Apa lagi?"

Leon melirik kepadaku yang duduk di sebelahnya, dan tidak berkata apa-apa lagi.

Jadi, tadi pagi, aku mengirim pesan padanya dan memintanya menemaniku ke Ancol mencari inspirasi untuk proyekku. Dan di sinilah aku sore harinya, di dalam Fortuner miliknya, duduk di sebelahnya yang masih mengenakan pakaian kerja.

Aku menyenderkan tubuhku dengan nyaman di bangku penumpang, dan mulai mengutak atik radio.

Aku berhenti di sebuah stasiun radio yang memutar lagu disney favoritku, Beauty and the beast.

Mau versi Celine Dion dan Peabo Bryson, atau versi Ariana Grande dan John Legend, aku tetap suka.

Tale as old as time
True as it can be
Barely even friends
Then somebody bends
Unexpectedly

Just a little change
Small to say the least
Both a little scared
Neither one prepared
Beauty and the Beast

Ever just the same
Ever a surprise
Ever as before
And ever just as sure
As the sun will rise...

Tanpa sadar aku ikut menyenandungkan nadanya walaupun dengan lirih. Aku merasakan Leon melirikku, tapi dia diam saja, jadi aku mengabaikannya.

Tak lama kami memasuki area Ancol, dan Leon membawa mobilnya menuju ke pantai. Dia memarkirkan mobilnya dan langsung turun dari mobil setelah mematikan mesin. Belum sempat aku membuka pintu, dia sudah membuka pintu untukku.

Aku mengernyit bingung, terutama ketika dia mengulurkan tangan untuk membantuku turun.

"Lo tadi naiknya susah," jelasnya tanpa kutanya, dan aku nyengir.

"Lo sweet juga ya ternyata," kataku sambil menyambut uluran tangannya. Tadi aku memang agak kesulitan naik karena mobil ini tinggi dan aku pendek.

Aku mengucapkan terimakasih dan dibalas hanya dengan anggukan. Dipikir-pikir dia memang agak irit bicara sih. Dia menutup pintu mobil, menguncinya, sebelum mengikutiku yang berjalan duluan.

Aku melihat cukup banyak orang di sini, mengingat ini bukan hari libur.

Aku berjalan menuju dermaga dan Leon berjalan di sebelahku.

"Lo tau dermaga ini dinamain apa?"

Leon mengerdikkan bahu sebagai jawaban.

"Dermaga hati. Gara-gara ini," kataku sambil menunjuk tulisan 'Dermaga Hati'.

"Oh.."

Aku melihat banyak pasangan muda-mudi ataupun segerombolan remaja sibuk berfoto di sini. Dan tanpa kusadari, seseorang yang memegang ponsel untuk memotret terus mundur tanpa melihat ada kami di belakangnya, dan alhasil dia menabrakku cukup kencang.

Aku hampir saja jatuh, seandainya sebuah lengan yang kokoh dan keras tidak memeluk bahuku dan menarikku ke dadanya.

Dadanya??

Jantungku langsung berdebar kencang. Aku kaget karena Leon menggeram, persis seperti binatang buas.

Pria yang tadi menabrakku langsung pucat dan terus menerus minta maaf.

"Ma-maafin saya ya, saya nggak liat Adek tadi di belakang saya.."

Aku nggak heran dia sampai pucat. Leon menyeramkan. Aku saja sekarang gentar. Orang di sekeliling kami sampai melihat kami dengan kaget dan takut.

"Nggak apa-apa, Mas. Saya juga nggak liat-liat, maaf ya," kataku susah payah, karena masih dalam pelukan Leon.

Leon tidak bicara apa-apa, dan langsung merangkulku menjauh dari dermaga. Aku merasa, saat kami berjalan, semua orang membuka jalan seakan menghindari kami. Aku nggak heran sih. Kalau aku jadi mereka, mungkin aku akan melakukan hal yang sama.

Tapi seriusan, ternyata jalan sama dia mencolok banget ya.

Leon membawaku duduk di bebatuan di pinggir pantai, sementara dia berjongkok di hadapanku, menatapku khawatir.

"Lo nggak apa-apa?"

"Nggak. Gue kan nggak jatuh. Aman," kataku sambil nyengir. Leon menghela nafas. Dia duduk di sebelahku, dan tatapannya beralih ke arah pantai.

"Kenapa lo mencari inspirasi di sini?"

"Karena ini salah satu tempat prewedding di Jakarta."

Namun aku tidak tertarik lagi dengan pemandangan di depanku. Aku lebih tertarik dengan pria di sampingku.

Aku jadi harus setuju dengan orang-orang aneh yang suka memelihara binatang buas. Karena saat ini, tiba-tiba ada rasa ingin menyimpan yang satu ini untukku sendiri.

Otak ngawur.

Aku menatap tangannya yang terekspos karena dia sudah menggulung lengan kemejanya, dan aku baru menyadari kalau di jemarinya ada tato juga.

Tanpa sadar aku menyentuh jemarinya dan dia tersentak. Aku buru-buru menarik tanganku.

"Ups, sorry. Gue baru ngeh kalo di jari lo ada tato juga."

"Oh, ini?"

Dia menyodorkan jemarinya ke depanku, dan berkata, "pegang aja.."

Dengan sukacita, aku menyentuhkan jemariku di atas jemarinya. Di jari tangan kirinya tertulis huruf L-I-O-N dari jari telunjuk sampai kelingking.

"Kenapa Lion?"

"Karena nama gue."

Aku manggut-manggut. Leo, yang dalam astrologi dilambangkan dengan singa.

"Sebenarnya berapa banyak tato lo?"

Leon menyodorkan lengan kanannya di depanku, sehingga aku bisa melihat tato di bagian dalam pergelangannya, di dekat nadinya, bertuliskan 'strength' dan gambar wajah singa di atasnya.

"Wow." Serius, aku nggak tahu bisa bilang apa lagi. Hanya wow. Aku terpesona.

Tanpa kusadari, posisi kami sudah sangat dekat, sedikit lagi tubuh kami menempel. Aku langsung menggeser tubuh menjauhinya, dan berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. Astaga, Nina. Kayak baru pertama kali deket-deket cowok aja.

Aku berdeham pelan, lalu menatap wajahnya yang ternyata sedang menatapku tajam. Wrong choice, Nin.

"Jadi," aku kembali berdeham, "masih ada tato lo selain ini?" Dia mengangguk.

"Dua lagi di punggung."

"Wow."

Suatu hari nanti aku akan melihat semuanya, janjiku dalam hati.

"Jadi kapan lo bikin ini semua? Orang rumah lo nggak ada yang ngomong macem-macem?"

"Gue bikin semua saat kuliah, gue cicil satu-satu. Ini-" dia menunjuk jemarinya, "tato perdana gue. Hadiah kelulusan SMA untuk diri gue sendiri."

"Oh.. Is that hurt?"

"Not really. Biasa aja."

Aku mengernyit. Orang aneh. Bikin tato nggak sakit.

Lebih aneh mana sama aku, yang udah tau sakit tapi masih nanya?

***

Aku dan Leon berada di salah satu restoran fast food di dekat rumahku. Dia menyuruhku mencari tempat sementara dia yang membeli makanan, karena ini jam makan malam jadi kondisi tempat makan cukup ramai. Aku berhasil mendapat tempat di pojok, tepat bersebelahan dengan seorang ibu dan putrinya.

Sejak dulu aku menyukai anak kecil. Mereka begitu polos, imut, dan bahagia dengan cara sederhana. Dan anak kecil biasanya juga menyukaiku. Saat dia menatapku ingin tahu, aku menyunggingkan senyum yang dibalasnya dengan malu-malu.

Ibunya yang melihat putrinya tersenyum padaku, ikut menyunggingkan senyumnya.

"Elly, say hello to Cici."

Aku maklum ibunya menyuruh anaknya memanggilku cici walaupun aku tidak ada keturunan chinese sama sekali, tapi kulitku putih karena Mami orang Jepang asli.

Putri kecilnya yang dipanggil Elly menyapaku dengan suaranya yang kecil dan imut dan kubalas juga.

"Elly umur berapa?"

Dia mengangkat lima jari di hadapanku.

" 'Ma taun."

"Oh.."

"Cici 'mam ndili?" tanya Elly dengan suara cadelnya. Aku menggeleng.

"Nggak, cici sama temen cici."

Tak lama kemudian, Leon menghampiri mejaku sambil membawa nampan berisi makan malam kami. Seketika raut wajah ibunya Elly berubah.

" 'man Cici?" kata Elly sambil menunjuk Leon. Aku mengangguk. Leon ikut menyunggingkan senyum kecil pada Elly.

Tiba-tiba ibunya Elly bangkit dari bangkunya dan berkata, "Elly, ayo pamit pada cici. Kita pulang ya."

Elly merengut lucu.

"Kok p'yang?"

"Koko kan di rumah belum makan. Pulang ya," kata ibunya. Elly menatapku dan Leon sambil melambaikan tangan.

"Da, Cici. Da, Om.."

Aku dan Leon melambaikan tangan saat ibunya menggandengnya keluar. Ibunya Elly bahkan tidak melirik sekalipun ke arah Leon.

"Kenalan lo?" Aku menggeleng.

"Baru ini ketemu."

Leon membuka bungkus burger dan mulai makan. Aku mengikutinya.

Dan mulutku bicara sebelum sempat kucegah.

"Lo suka anak-anak?"

Leon menatapku dan dengan ragu mengangguk.

"Anak-anak sepertinya suka dengan lo."

Leon kembali mengangguk.

"Tapi-"

"Biasanya orangtuanya menjauhkan anaknya dari gue."

Aku tersenyum dan menepuk lengannya pelan.

"Anak-anak tahu siapa yang tulus menyukai mereka, siapa yang nggak."

Leon menyunggingkan senyumnya padaku.

"Thanks."

"Buat?"

"For comfort me."

Aku terkekeh.

"Nggak usah bilang makasih. Langsung traktir makan aja."

"Ini gue traktir."

Aku mendengus.

"Traktirnya fast food. Di restoran bintang lima gitu kek."

"Lo mau?"

"Ya nggak lah. Gue cuma bercanda. Mahal gile makanan di sana. Mending lo traktir gue bakso abang-abang. Udah dapet gerobaknya juga duit segitu."

Leon mendengus geli.

"Cewek aneh."

"Makasih."

"Sama-sama."

***

Leon mengantarku pulang setelahnya, dan seperti tadi, dia turun lebih dulu dan membantuku turun dari mobil.

"Thanks ya, Le, udah ditemenin hari ini."

"Thanks juga, Nin, karena udah nggak ngokar selama bareng gue."

Aku terkekeh dan dia ikut terkekeh. Aku suka melihatnya tertawa.

Aku memang sengaja meninggalkan rokok dan pemantik di rumah, karena aku terbiasa merogoh tasku untuk mencari mereka.

Tapi ternyata sesorean ini aku melupakan rokokku, karena sibuk dengannya.

"Masuk gih."

Aku mengangguk.

"Hati-hati ya baliknya. Jangan ngebut. Sudah malam."

"Memangnya gue ngebut?"

Aku nyengir. "Nggak."

Aku menunggunya masuk ke mobil, tapi dia diam.

"Masuk mobil gih."

"Lo dulu."

Aku nyengir makin lebar.

"Kok lo sweet sih? Such a gentleman. Yang jadi cewek lo tar pasti bahagia."

Dan sumpah, aku melihat wajahnya merona meskipun kondisi saat ini agak gelap.

Kok dia cute sih???

Pengen banget gue nyimpen dia terus-

Nina, stop.

"Gue masuk dulu ya, sekali lagi thank you."

"Sama-sama.."

Aku berjalan menuju pintu rumahku, dan sebelum membuka pintu, aku berbalik dan melihatnya masih diam di posisi yang sama.

Aku melambaikan tangan padanya dan dibalas dengan lambaian kecil, lalu aku masuk ke rumah.

Siapapun wanita yang Leon sukai, dia benar-benar wanita yang beruntung.

Deg.

Kok dadaku mendadak sakit ya?

Tbc

Mau nanya nih, tampilannya error nggak ya? Soalnya di aku nongolnya dobel2. Thank you..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro