empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia menatapku dengan tatapan tajamnya, namun aku menemukan sorot bingung di matanya. Tapi tak ada satu katapun keluar darinya. Dia hanya diam berdiri di sana. Aku juga ikutan diam, bingung mau ngomong apa.

Aku mematikan rokokku dengan canggung, dan melihat Leon masih berdiri di tempatnya, hanya saja pandangannya sudah beralih ke taman di depan kami.

Sebagai seorang designer, aku terbiasa memperhatikan penampilan orang, dan saat ini mau tidak mau aku jadi memperhatikan satu-satunya manusia di depanku.

Leon bertubuh tinggi besar, namun badannya tegap. Dan saat ini, di bawah terik matahari, aku justru memperhatikannya lebih jelas dibanding semalam.

Bahunya lebar dengan dada yang bidang, namun pinggangnya cukup ramping. Proporsional. Dia tidak berotot sampai bertonjolan ke mana-mana, tapi tidak ada lemak yang bertonjolan juga. Dia mengenakan kemeja lengan panjang pas badan dan dasi yang sudah dilonggarkan.

Dan wajahnya...

Aku agak nggak ngerti sih sebenarnya. Oke dia memang menyeramkan, tapi apa semua perempuan di luar sana begitu bodoh dan mengabaikan pesona pria ini?

Kalau aku mengabaikan matanya yang menyorot tajam dan jambangnya, sebenarnya wajahnya cukup keren. Serius.

Dia kembali menatapku dan aku mendadak salah tingkah. Untuk menutupi kecanggunganku, aku melambaikan tangan memanggilnya mendekat.

"Ngapain lo di sana? Ayo duduk."

Dia menatapku seakan-akan menimbang ajakanku, lalu dia berjalan mendekatiku dan tiba-tiba duduk di sebelahku. Lalu hening lama sekali. Dia diam, aku juga diam. Bingung mau ngapain.

Kok tiba-tiba jadi panas ya?

Aku mencari kipas portable di ranselku dan mulai menyalakannya.

Kipas portable ada salah satu dari must have item ala Karenina Hanafi. Kenapa? Karena aku merokok dan aku jadi lebih sering menghabiskan waktu di luar ruangan. Dan aku benci berkeringat.

Lalu aku mendengar suara dengusan di sebelahku. Dia mendengus??

"Lo panas?"

Akhirnya dia bicara. Terimakasih Tuhan... Aku hampir mati kaku karena hening yang canggung tadi...

"Iya. Panas. Bisa duduknya geser jauhan nggak?"

Leon tidak bergerak, tapi tangannya mengangkat gelas kertas yang masih terisi separuh milikku dan menggoyangkannya lalu menatapku seolah-olah minuman itulah yang membuatku kepanasan.

Aku merebut kembali gelasku dari tangannya dengan kesal. Tapi dia malah melihat buku sketsaku.

"Lo designer?"

"Ya."

Aku mencoba menutup buku sketsaku, namun dia lebih cepat. Dia menyambar buku sketsaku dan membolak-baliknya. Dahinya mengernyit.

"Wedding gown?"

"Iya, sekarang balikin buku gue."

Aku menengadahkan tanganku di depannya seperti peminta-minta, walaupun tampangku kupasang sejutek mungkin.

Nggak, aku nggak akan merebutnya. Aku nggak mau bersentuhan dengannya. Panas panas.

Dia mengabaikanku dan terus melihat-lihat buku sketsaku.

"Design lo bagus."

"Thanks." Tanpa sadar aku merona. Untung saja dia tidak melihat ke arahku.

Terry bohongin gue ya?? Nggak biasa sama perempuan apanya?? Kok dia biasa aja di sebelah gue, malah gue yang salting begini?

"Lo freelance atau kerja sama orang?"

"Kerja sama orang."

"Di mana?"

"Samantha Bridal."

"Maria Samantha?"

"Lo kenal?"

"Teman nyokap."

"Oh."

Leon mengembalikan buku sketsaku.

"Penampilan lo nggak cocok sama karakter lo."

"Hah?"

Siapa dia? Men-judge aku di pertemuan kedua??

"Pertama gue liat lo, gue kira lo gadis yang manis, ternyata..."

Leon sengaja menggantung kalimatnya. Sialan.

"Ternyata apa hah??"

"Ternyata kayak gini. Ngokar, cuek, serampangan, dan bersuara keras."

Bukan salahku punya penampilan kayak begini. Kuakui, penampilanku seperti anak kecil. Rambut hitam sebahu berponi, tubuh pendek dan mungil, mata besar, kulit putih yang khas Asia Timur membuatku terlihat seperti anak SMP. Ditambah lagi aku paling malas pakai make up. Palingan hanya sunblock, bedak, dan lipgloss.

Aku pernah ditegur polisi saat merokok di taman karena dikira anak SMP. Err...

Bukan salah tampangku, tapi salah anak-anak zaman sekarang. Kenapa mereka kelihatan cepat dewasa sih?

"Makanya, Bapak Leon. Jangan menilai orang dari luarnya," kataku sok bijak. Dia menatap mataku. Tatapan matanya begitu intens, membuatku tak mampu berpaling. Warna matanya abu-abu dengan garis pinggir kuning, mengingatkanku dengan singa. Dan aku baru menyadari kalau bulu matanya begitu lentik.

"Lalu, apa lo menilai gue dari luarnya?"

"Ng.. Nggak.."

"Nggak salah lagi?"

"Nggak kok! Kalau liat penampilan lo, orang mana nyangka kalo lo ternyata senyebelin ini!"

Leon menarik sudut bibirnya ke atas dan aku tersihir melihat senyumnya. Dia memiliki lesung pipi di pipi kanannya. Hanya satu dan imut sekali.

Astaga Nina, kembalikan akal sehatmu!!

"Lo orang pertama yang bilang gue nyebelin. Bahkan kembaran lo nggak pernah bilang begitu."

"Mungkin lo cuma nyebelin ke gue, karena lo naksir kembaran gue."

Leon mengernyit.

"Gue bukan gay."

"Oh, baguslah kalau bukan. Soalnya Terry juga bukan."

Sumpah gue ngomong apa sihhh??

Kalau ada lobang di sini, aku bakal langsung masuk dan nggak keluar lagi.

Maluu!!!

Leon memilih mengabaikan omonganku yang terakhir, lalu dia menggulung lengan kemejanya sampai ke siku, dan dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat motif tribal mulai dari pergelangan tangannya dan memenuhi seluruh permukaan lengan kirinya.

"Lo suka tato?" tanyaku tanpa bisa kucegah.

"Ya."

"Tato ini ujungnya di mana?" tanyaku sambil menunjuk lengan kirinya.

"Sini," jawabnya sambil menunjuk bahunya.

"Full?"

"Yep."

Lalu aku tertawa geli.

"Kalo lo pakai jaket kulit dan bukan setelan kerja, orang pasti mengira lo preman atau pengendara moge dan bukan seorang CFO."

"Itu pujian?"

"Tentu saja bukan. Itu ejekan lah," kataku masih sambil tertawa.

Lalu Leon ikut tertawa, dan aku terdiam. Suara tawanya begitu dalam, begitu berat, begitu seksi.

Sial. Tampilan doang kayak penjahat. Tapi pesonanya...

Sumpah itu cewek-cewek yang menghindari dia bodoh banget!!

Aku sudah bilang dua kali ya? Oke, abaikan.

"Lo perempuan pertama yang berani ngatain gue terang-terangan di depan gue. Padahal tinggi lo bahkan nggak nyampe bahu gue."

Wah, bawa-bawa tinggi badan. Kampret.

"Te-tentu saja! Lo temannya Terry kan? Berarti lo teman gue juga."

Leon menghentikan tawanya dan matanya menatapku.

"Teman?"

Aku mengangguk dengan ragu.

Apa dia tidak menyukai ideku?

Apa dia tidak mau berteman denganku?

"Lo mau berteman dengan gue?"

Aku mengernyit.

"Mau lah. Kenapa? Lo keberatan?"

"Bukan gitu.. Tapi.."

Dia terdiam dan aku menunggu sampai akhirnya dia membuka mulutnya lagi.

"Ini pertama kalinya gue punya teman perempuan. It feels weird."

Aku nyengir.

"Biasa aja kali. Temen cewek sama aja sama cowok kok. Asal jangan diajak adu jotos aja. Sakit."

Leon menyunggingkan senyumnya padaku.

"Kalau begitu, ayo berteman."

Aku tersenyum senang. Teman baru. Oh, it's gonna be fun.

"Jadi bagaimana ceritanya lo bisa berada di sini di jam kerja, Teman?" tanyaku, mulai santai dengan keberadaannya.

Aku menyesap kopiku yang mulai dingin, lalu mencari kotak rokok dan pemantik.

"Kalau gue suntuk, biasanya gue ke sini."

Aku mengambil rokok dan bersiap menyalakannya saat dia merebut rokokku dan memasukkannya kembali ke kotaknya.

"Lo nggak merokok?" tanyaku bingung.

"Nope. Gue alergi bau rokok."

Aku langsung tertawa ngakak. Aku menemukan kondisi ini terlalu lucu. Dia mengernyit melihatku yang tertawa.

"Kenapa?"

"Look at us. Gue yang tampang begini ngerokok, dan lo yang tampangnya begitu malah nggak ngerokok."

Leon menunggu tawaku mereda sebelum berkata,"Kenapa lo merokok? Padahal Terry sudah berhenti?"

Aku kembali tertawa.

"Terry? Berhenti? Lo bercanda? Dia ngokarnya lebih parah dari gue. Tapi mungkin karena dia tau lo alergi, dia nggak ngerokok depan lo."

Aku berdeham pelan, menetralkan tawaku dan melanjutkan.

"Terry adalah orang paling gentleman yang gue kenal. He will make sure you are comfortable around him. Just because he thinks you are important to him."

"And how about you?"

"Me?"

"Will you make sure I'm comfortable around you?"

Aku menatap wajahnya yang serius, dan merasa ada sebuah tangan yang memaksaku menganggukkan kepalaku.

Tapi aku hanya mengangkat bahu.

"Gue fine-fine aja, asal bisa saling toleransi. Win win solution. Lo nyaman, gue nyaman. Selesai."

"Baiklah.. Jadi tidak ada rokok saat bersama gue?"

"Lalu apa keuntungannya buat gue?"

Leon mengambil jeda sesaat sebelum menjawab.

"Lo mau apa?"

"Hmm.." aku berpikir sejenak. Mencari ide supaya bisa lebih dekat dengannya. Sebagai teman, tentu saja. Jangan pikir yang nggak-nggak, Nina.

"Temenin gue kalo gue mau nyari inspirasi."

Dan gue menggali lubang kubur gue sendiri. Gimana gue nyari inspirasi kalau gue nggak bisa ngokar?? Goblok banget, Nin. Sumpah.

"Deal."

Sial. Diiyain lagi.

"Yakin lo? Bisa seharian lho."

"Asal nggak pas gue musti ngantor, I'm fine."

Ugh...

Tapi aku bukan tipe yang akan menarik kembali ucapanku. Jadi..

"Oke, deal."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro