Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana menurut lo teman gue tadi?"

Aku menatap Terry yang sedang fokus menyetir dengan wajah bingung.

"Apanya yang gimana?"

"Kesan lo sama dia."

"Well," aku berdeham pelan, "dia terlihat menyeramkan."

Terry mengangkat alisnya, sedikit terkejut mendengar pendapatku.

"Oh ya?"

Aku mengangkat bahu.

"Mungkin karena tubuhnya tinggi besar kali ya. Tapi kesan pertama biasanya salah kan ya? Gue nggak yakin dia semenyeramkan kelihatannya."

"Lo takut sama dia?"

"Nggak." Sedikit. Tapi mengakui ketakutanku di depan Terry? Nggak bakalan.

"Kok bisa?"

"Karena dia teman lo. Dia nggak mungkin semenyeramkan itu."

"Hmm.. Begitu..."

Aku merasakan kejanggalan saat Terry tampak berpikir keras. Dia seperti memikirkan cara memberitahuku sesuatu tapi sedang menyusun kata-katanya supaya aku tidak tahu terlalu banyak. Kalau beneran begitu, kampret banget kembaranku ini.

"Gue mau minta tolong sama lo."

"Minta tolong apa?"

"Jadi begini. Lo tau kan gue temenan sama dia selama gue kuliah di SG?"

"Ya."

Terry bukan aku yang serampangan dan cuek ini. Terry adalah pria gentleman yang ramah dan mudah memikat siapapun. Tapi Terry cenderung pemilih untuk orang yang benar-benar dekat dengannya. Salah satunya, Leon ini. Satu-satunya nama yang pernah gue denger dia sebut selama kuliah di SG hanya Leon. Artinya, Leon penting dan sisanya tidak.

Dan aku nggak pernah habis pikir mereka bisa melamar kerja di perusahaan yang sama dan sekarang jadi CFO dan wakil CFO. Aku yakin kalau mereka homo, mereka pasti sudah jadian sejak kapan taun.

Dari mana aku tahu? Terry sering menyebut tentang Leon, tapi baru hari ini aku bertemu dengan orangnya.

"Dia orangnya kaku. Banget. Nggak bisa berteman. Sebenarnya he's a nice person. Tapi ya itu, penampilannya membuat orang tidak bisa melihat hal itu. Semua orang melihatnya seperti kesan pertama lo tadi : menyeramkan."

"Oke..." Aku masih belum menangkap maksud Terry.

"Dia bahkan nggak pernah berhubungan dengan wanita. Semua cewek takut sama dia."

Gimana dia kerja kalau kayak gitu ya? Aku jadi penasaran. Masa di kantornya nggak ada cewek?

"Terus?"

"Lo tolong temenan sama dia ya."

Hah?

"Heh?"

"Jadi temennya, deketin dia, bikin dia terbiasa sama perempuan."

"Why should I?"

"Lo bisa bayangin nggak, dia udah pernah coba dijodohin oleh orangtuanya?"

Aku meringis geli.

"I guess it didn't end up well.."

"Yup. Perempuannya ngeri sama dia, tapi keluarganya memaksa. Pada akhirnya pertunangannya dibatalkan, padahal belum ada dua bulan berjalan."

"Ckckck.."

"Lo pasti berpikir kalau pihak perempuan yang membatalkan pertunangan."

"Emangnya bukan?"

"Bukan. Gue akan cerita ini ke lo, tapi jangan disebar ke mana-mana."

"O-oke?"

"Leon yang membatalkan pertunangan itu, walaupun berita yang tersebar adalah kebalikannya."

Oke, aku mulai nggak ngerti.

"Tidak ada yang tahu alasan Leon, sampai adiknya menemukan foto perempuan di ponselnya."

"Jadi Leon suka perempuan lain? Bukan perempuan yang dijodohkan dengannya?"

Terry mengangguk.

"Lalu apa hubungannya dengan permintaan lo?"

"Karena Leon tidak mau mengakui perasaannya sendiri. Dia tidak tahu cara berinteraksi dengan manusia lain selain masalah pekerjaan, dan tidak ada satu wanitapun yang berani mendekatinya."

"Why me?"

"Karena lo bilang lo nggak takut sama dia. I know you can do it. Lakukan aja sama seperti ke gue, ke Hendra, atau ke Felix. Anggap dia teman lo," pinta Terry, menyebut nama sahabat kami pas SMA.

Saat aku tidak menjawab, Terry kembali berkata, "Please, Nin.."

"Ugh.."

Akhirnya aku menyerah. Lagipula aku memang penasaran dengan pria itu.

Lo pernah berada di persimpangan jalan, dan salah satu jalan itu nggak dikenal dan agak gelap, dan lo belom pernah ke sana, tapi lo penasaran banget dan ujung-ujungnya memilih jalan itu? Atau lo sendirian di rumah lalu mendengar suara aneh di lantai bawah dan lo takut tapi penasaran, sehingga memutuskan untuk turun dan melihat ada apa di bawah? Kira-kira begitulah.

Wajah Terry langsung sumringah.

"Thanks, Nina. You're the best."

"Clutch Ysl," todongku. Terry langsung menggetok kepalaku.

"Matre!!"

"Bodo amat.."

Lalu aku dan Terry tertawa.

"So, how's the day?"

Lalu aku menceritakan tentang proyek baruku. Dan dalam sekejap, aku melihat binar di mata Terry.

"Oh, jadi lo membuat gaun untuk pernikahan Hari Barata."

"Ya. Oh ya. Bukannya Jeremy Barata bos lo? Lo diundang dong?"

"Entahlah. Mungkin saja.."

Aku menatap Terry curiga. Dia bersikap tenang. Aneh.

***

Tak perlu ditanya bagaimana hebohnya Puji dan Aline mengetahui kalau aku akan mengurus gaun pengantin calon istri Hari Barata.

"Sumpah lo beruntung banget.. proyek pertama lo ngurusin gaun pengantennya putra mahkota kerajaan Barata!!"

"Berharap gue nggak bikin kacau aja."

"Nggak mungkin lah. Nilai tertinggi di pagelaran penutup Academy of Arts Melbourne bakal mengacau di proyek pertamanya? Nonsense."

"Jadi lo lebih percaya sama gue dibanding gue sendiri? Thanks, Line."

"Jadi ada satu hal yang mau gue pastikan," Aline berbisik dan Puji ikut mendekatkan telinganya. "Hari Barata beneran ganteng banget kan?"

Aku mengangguk. Lalu kedua perempuan ini berteriak heboh.

Dan teriakan mereka terhenti saat Yang Mulia Ibu Maria melewati kami.

Bu Maria menatap mereka dengan tatapan memperingatkan, dan baik Puji maupun Aline hanya berani tersenyum salah tingkah.

"Karenina, ikut saya."

"Ya, Bu."

Mengabaikan kedua temanku yang cekikikan nggak jelas, aku berjalan mengikuti Bu Maria ke ruangannya.

***

Bu Maria duduk di balik mejanya dan membaca berkas.

"Tutup pintunya dan kemarilah."

Aku menutup pintu ruangannya dan berdiri di hadapan Bu Maria.

Bu Maria melepas kacamatanya dan menatapku dengan pandangan yang lembut dan keibuan. Inilah hal yang kusuka dari Bu Maria. Dia memperlakukan setiap kami seperti kepada putra-putrinya. Menegur kami keras saat kami berbuat salah, tapi tak pelit pujian jika kami melakukan sesuatu yang sesuai ekspektasinya.

"Karenina.. Anastasya Barata adalah teman lama saya. Saya tahu kamu berbakat, tapi saya minta sebelum kamu mengajukan design kamu kepada Anastasya, biarkan saya melihatnya terlebih dulu."

"Ya, Bu."

"Lalu bagaimana perkembangan designmu?"

"Belum ada, Bu."

"Baiklah. Karen, saya membebaskan kamu selama seminggu ini. Kamu tidak perlu datang sebelum kamu menyerahkan designmu untuk saya lihat. Keluarlah, cari inspirasi. Oke?"

Aku menatap Bu Maria tidak percaya.

"Sungguh?"

"Ya, Karenina."

"Thanks, Bu." Yes!!

"Saya tunggu hasilnya, Karen."

"Ya, Bu. Saya janji tidak akan mengecewakan Ibu."

Yes!! Tidak usah datang kerja!!

***

Aku adalah designer yang senang mencari inspirasi di tempat terbuka, salah satunya atap gedung. Dan hari ini, gedung yang kutuju adalah gedung letak kantor Terry, karena atap gedungnya sangat keren. Mereka menghiasinya sehingga seperti sebuah taman. Setelah percakapan alot dengan Terry supaya dia mau mengatur izin untukku - baca : bye2 clutch - akhirnya dia mau melakukannya. Yey!!

Sekarang aku duduk menyender pada dinding di atap gedung sambil menyesap hot caramel macchiato. Aku meletakkan minumanku di sebelahku, meraih pensil, dan mulai mencoret-coret. Sesekali aku menghisap candu yang berada di tangan kiriku.

Aku tidak tahu berapa lama aku di sini, sampai satu suara menyapa indera pendengaranku.

"Nina?"

Aku mendongakkan kepalaku dan mataku bertemu dengan mata tajam dan menyeramkan itu.

"Hai, Leon."


Tbc

Gimana? Thanks uda mampir dan baca ceritaku yang aneh ini.
Kalau berkenan, aku mau minta vommentnya... Aku sangat senang kalau kalian mau meninggalkan kritik dan saran yang membangun.

Sorry for typos
Thanks :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro