Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ita membuka pintu ruangan Bu Maria dan aku melangkah masuk. Di dalam ruangan sudah ada Bu Maria dan tiga orang lain yang kutebak adalah klien. Mereka berempat duduk di sofa yang biasa digunakan Bu Maria untuk menerima tamu.

Bu Maria mengisyaratkanku untuk mendekatinya.

"Ini dia designernya, An."

Wanita yang lebih tua bangkit berdiri. Sekali lihat, aku tahu dia orang kaya. Gayanya berkelas namun tidak berlebihan. Tipikal orang kaya lama. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya kepadaku.

"Saya Anastasya Barata."

Aku menyambut uluran tangannya dan tersenyum juga.

"Karenina."

"Ini anak saya, Hari, dan calon istrinya, Paramitha," kata Bu Anas sambil menunjuk pasangan muda di sampingnya. Mereka tersenyum dan menyalamiku.

Oke, aku harus setuju dengan Puji dan Aline kalau Hari Barata memang sangat tampan, dan calon istrinya terlihat sederhana. Tapi gestur tubuh mereka memperlihatkan betapa besar cinta si pria kepada wanitanya. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum. Aku menyukai pasangan ini. Mereka terlihat cocok.

Mereka kembali duduk dan Bu Maria mengisyaratkanku untuk duduk di sebelahnya.

"Jadi begini, Karen. Kamu ingat gaun pengantin yang kamu buat bulan lalu?" Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat. Itu gaun pengantin pertama buatanku yang dipajang di bridal ini.

"Bu Anas menyukainya dan ingin agar kamu yang membuat gaun pengantin khusus untuk Paramitha."

Aku membelalak kaget. Apa? Aku?

Aku menatap wajah Bu Maria dan Bu Anas bergantian.

"Pernikahannya akan diadakan setengah tahun lagi. Kamu siap?"

"Ya!" Aku mengangguk. Aku tidak mungkin melepaskan kesempatan seperti ini. Proyek pertamaku!

***

Aku menghabiskan jam makan siangku dengan berdiskusi bersama Bu Maria, Bu Anas, Mbak Mitha, dan Pak Hari. Dan semakin lama, aku semakin mengagumi mereka berdua.

Serius, Mbak Mitha itu sederhana sekali. Untuk standar tunangan seorang Barata, pemikirannya itu begitu polos dan sederhana. Dia tidak menginginkan pesta yang besar, prewedding ke luar negeri, atau gaun yang mewah. For God's Sake, ini keluarga Barata yang dia nikahi!! Mau minta prewed di Saturnus juga mampu kali mereka. Oke aku lebay, tapi kamu ngerti maksudku kan? Mereka itu orang kaya. Pake banget.

Dan yang buat aku salut, camernya super sabar menghadapi kepolosan calon mantunya ini. Dan aku yakin senyumnya itu tulus. Terlihat sekali betapa sayangnya si camer sama calon mantunya.

Kalo aku yang jadi camernya, mungkin sudah aku bawa ke ruangan tertutup terus aku kasih pelatihan khusus untuk berlagak seperti orang kaya.

Apa sih Nina? Oke, abaikan.

"Jadi satu gaun untuk pemberkatan, satu untuk resepsi, dan kebaya untuk mingle?" aku mengulang permintaan mereka. Bu Anas mengangguk.

"Baiklah. Saya akan buatkan pilihan designnya dulu dan kita akan menentukan designnya minggu depan?"

"Ya. Mungkin saya tidak akan sempat ke sini. Bagaimana kalau Mbak Karen datang ke rumah Saya?"

Aku menoleh kepada Bu Maria meminta persetujuan dan dia mengangguk.

"Mm.. Baiklah."

Dan aku bertukar nomor telepon dengan Anastasya Barata. Wow. Aku tukaran nomor telepon dengan istri taipan.

Berisik, Nina. Sampai beberapa jam yang lalu lo bahkan nggak tau Anastasya Barata itu siapa.

***

Karena proyek baruku, aku baru jalan dari tempat kerjaku menuju bandara pukul 7 malam. Dan untungnya, tumben-tumbenan tol ke bandara tidak macet.

Aku melajukan CRV milik Terry secepat yang aku bisa menuju bandara. Aku bisa nyetir dan punya SIM, walaupun belum mampu beli mobil sendiri. Terry saja baru berhasil DP mobil setahun setelah bekerja.

Aku tiba di bandara lima menit sebelum jam 8. Aku memarkir mobil dan bergegas turun. Udara malam ini sedikit dingin, jadi aku merapatkan sweater kedodoranku, membungkus tubuhku yang hanya dibalut kemeja kotak-kotak dan skinny jeans agar sedikit lebih hangat.

Tak perlu menunggu lama, aku melihat sosok Terry keluar sambil menarik koper kabin dan menenteng tas laptopnya bersebelahan dengan seorang pria yang luar biasa tingginya.

Aku tidak berlebihan. Terry memiliki tinggi badan 185cm, sementara pria di sebelahnya lebih tinggi darinya.

Jangan bandingkan denganku.

Biar kami kembar, Terry itu seperti sapi. Tinggi putih besar. Sementara aku? Semampai. Semeter enam puluh tak sampai.

Terry melihatku dan melambai, lalu dia dan orang di sebelahnya menghampiriku.

"Udah lama?" tanyanya. Aku menggeleng.

"Baru sampe kok."

"Oh ya, kenalin ini Leon. Leon, ini Nina."

Aku mendongak menatap pria di sebelah Terry dan aku terbengong.

Dari jauh mungkin aku nggak ngeh, tapi begitu berhadapan begini, aku baru melihat dengan jelas orang seperti apa Leon itu.

Satu kata untuknya : menyeramkan.

Kulitnya kecoklatan, kontras sekali dengan Terry yang putih. Rambutnya pendek hitam dipotong cepak, dengan jambang yang dipotong rapi membingkai rahangnya. Tubuhnya tinggi besar dan terlihat cukup kekar walaupun tertutup setelan kerja. Sepertinya dia cukup rajin olahraga.

Tapi yang paling menyeramkan adalah matanya. Sorot matanya begitu tajam dan mengintimidasi. Seakan-akan dia adalah penguasa dan aku pelayannya.

Aku merinding seketika.

Sumpah, dia cocok banget jadi perampok. Cukup melotot aja, nggak usah bawa senapan, pasti korbannya sukarela ngasih semua barang berharga ke dia. Dan kayaknya anak kecil kalau liat tampangnya langsung nggak jadi nangis karena ketakutan.

Oke, Nina. Imajinasi kamu kelewatan.

Dia mengulurkan tangan padaku dan aku langsung tersadar dan menyambut tangannya. Genggaman tangannya begitu hangat dan tegas, dan entah mengapa aku merasakan aliran listrik menyengatku saat bersentuhan dengannya.

"Leon.."

Aduh, bahkan suaranya begitu berat dan dalam. Cocok sekali dengan perawakannya yang kayak binatang buas, seandainya saja dia tidak mengenakan setelan kerja.

"Nina.."

Tbc

Thanks sudah menyempatkan untuk membaca ceritaku yang aneh ini.. Aku menerima kritik dan saran yang membangun, juga vomment..

Sorry for typos.
Thank you :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro