satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku udah pernah post cerita ini, tapi entah gimana di sana urutannya kacau balau, jadi aku post ulang, dari story baru.

Enjoy

--------------------------------------------

"Halo?"

"Nin, masih jauh gak? Gue ngantuk nih..."

"Rese ya lo. Udah nggak mau ikut, sekarang malah bawel bilang ngantuk. Nggak cukup tidur seharian lo??"

"Tapi kan ini udah malem.. Gue tidur ya, lo kan bawa kunci. Yah? Yah?"

"Nggak! Lo tidur, pisang molen lo gue abisin!!"

"Seriusan, Nyet? Tar tambah gendut lho..."

"Sapi!!"

"Nina.." Papi menegurku dengan nada memperingatkan, karena mendengarku memaki saudara kembarku yang sedang meneleponku saat ini.

"Habisnya Terry udah nggak mau ikut terus nggak mau tungguin kita nyampe rumah. Pake acara ngatain aku gendut pula. Kan nyebelin..." sahutku membela diri. Mami hanya tersenyum simpul.

"Terry kan capek habis tanding basket kemaren. Suruh tidur aja, udah jam 11 malem juga.."

Aku mendengus. Kemarin si Mami mendadak ngidam pisang molen. Dan nggak tanggung-tanggung ngidamnya, harus merk tertentu yang hanya dijual di Bandung. Jadinya Papi mengajak Mami ke Bandung pagi-pagi sekali. Dan sebagai putri yang baik aku ikut untuk menemani mereka, sementara saudara kembarku yang kayak sapi itu memilih menunggu di rumah saja dengan alasan capek. Dasar sapi!

"Mami baik tuh, bilang lo boleh-"

Kejadiannya begitu cepat. Aku hanya sempat melihat mobil depan yang yang tiba-tiba berhenti. Mami berteriak keras, dan mobil berguncang hebat. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, kepalaku terbentur keras. Seketika semuanya menjadi gelap..

***

Aku terbangun dengan nafas terengah-engah dan air mata mengalir di pipiku. Shit. Mimpi itu lagi. Mimpi tentang kejadian saat kedua orangtuaku direnggut paksa dariku karena terjadi tabrakan beruntun di tol arah dari Bandung menuju Jakarta.

Aku duduk dan menghapus air mataku. Sudah 5 tahun berlalu, tapi masih terbayang jelas setiap adegannya di ingatanku.

Aku ingat saat itu aku terbangun dari koma dan mendapati hanya Terry yang ada bersamaku. Sementara jasad Mami dan Papi sudah dimakamkan. Aku bahkan tidak bisa melihat mereka untuk yang terakhir kali.

Aku melirik jam di dinding. Setengah empat pagi. Masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas apapun.

Aku bangkit dari ranjang dan minum air dari nakas, lalu meraih ponselku.

Ada pesan dari Terry, yang dikirimnya semalam setelah aku tertidur.

Terry : Nin, gue besok balik. Nyampe Jakarta jam 8malem. Jmpt ya. Sopir gak bs jmpt. Terminal 3. Good night, Monyet.

Aku tersenyum dan mengetik kata 'ok' sebagai balasan.

Terry, kembaranku tercinta, sedang berada di negeri orang dalam rangka bekerja. Aku bangga padanya. Dua tahun bekerja, dia sudah dipercaya menjadi wakil CFO. Tapi dia memang berotak cemerlang sih, tidak seperti aku.

Aku kembali membaringkan diri di ranjang dan membuka iPodku.

Aku memilih playlist 'tidur' dan membiarkan alunan instrumen lagu Disney mengantarku kembali terlelap.

***

"Karenina!"

Aku menoleh dan melihat Puji menghampiriku. Puji adalah rekan kerjaku, kami interview di hari yang sama dan diterima bareng di sini sebagai junior designer satu tahun yang lalu.

Aku bekerja pada salah satu bridal designer terkenal di Indonesia, Maria Samantha. Impianku adalah suatu saat nanti aku akan memiliki bridal-ku sendiri.

Saat ini aku dan Puji berada di atap rumah tiga lantai ini, satu-satunya tempat di sini yang tidak ber-AC dan yang memungkinkan untuk merokok.

Puji merebut rokok yang baru saja kusulut dan mematikan apinya di atas tempat sampah.

"Woii!!"

Aku memelototi Puji yang balas melotot padaku sambil berkacak pinggang.

"Lo tuh imut, Neng. Rusak image lo kalo lo ngokar terus."

Aku mencebik kesal. Tapi aku tetap mengambil satu batang dan menyalakannya kembali.

"Bodo amat orang mau mikir apa."

Aku merokok? Ya.

Sejak kapan? Sejak sebulan setelah aku sadar dari koma sekitar lima tahun yang lalu.

Beban yang kutanggung membuatku memerlukan pengalih perhatian. Dan aku memilih rokok.

Yah, tidak banyak orang yang mendapat paket komplit sepertiku. Ditinggal orangtua secara bersamaan, koma hampir lima bulan dan terpaksa mengejar paket C dengan otak pas-pasan demi lulus SMA bareng kembaran tercinta, terpaksa masuk ke Universitas pilihan pertama karena terlanjur sudah bayar uang pendaftaran dan sudah terlambat untuk mendaftar ke universitas lain, dan banting tulang demi membayar semua keperluan dan biaya hidup di negeri orang.

Yah, Papi dan Mami meninggal setelah aku dan Terry mendaftar masuk kuliah dan membayar uang satu tahun. Aku di Melbourne, Terry di Singapura. Masih bagus ternyata Papi dan Mami punya asuransi jiwa yang cukup untuk membayar biaya semester. Tapi yang lain-lain? Kami harus kerja.

Hidup itu berat coy. Berbahagialah kalian yang orang tuanya masih lengkap.

Puji mendesah pelan dan duduk di sampingku.

"Padahal gue dateng mau gosip sama lo. Tapi lo malah ngokar di sini."

Aku terkekeh sambil menghembuskan asap dari mulutku ke arahnya. Puji berjengit dan mengibas asap rokok sambil mengomel.

"Ninaa!! Tar cowok gue ngamuk-ngamuk kalo nyium bau rokok di baju gue!!"

"Iya, iya. Bentar yaa, gue abisin ini dulu."

Aku menyingkir sambil tertawa pelan. Menghisap canduku dan menikmatinya sampai habis, lalu aku kembali ke sebelah Puji.

"Mau gosip apa lo?"

"Lo tau nggak kalo Jeremy Barata mau mantu?"

"Hah?"

Jeremy Barata? Sepertinya pernah dengar..

"Yaelah si lemot. Hellowww... Jeremy Barata? Pemilik Barata Group? Top ten orang kaya di Indo?"

Oh, dia.

Pantas rasanya pernah dengar. Jeremy Barata adalah pemilik perusahaan tempat Terry bekerja. Terry pasti pernah menyebut namanya di depanku.

"Oh.. Terus kenapa kalo dia mau mantu?"

"Idih, anak sama calon mantunya bakal bikin baju di bridal kita, Sayang.. Tadi si Ita bilang, Anastasya Barata bikin janji temu sama Bu Maria hari ini."

"Siapa pula itu Anastasya Barata?"

"Bininya Jeremy Barata, Begokkk..."

"Ya mana gue tau? Kayak gue peduli aja."

Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Aline berjalan riang menghampiri kami.

"Hai, Hai. Udah denger belom? Hari Barata udah mau nikah ternyata ya.."

Siapa pula itu Hari Barata?

Mengabaikan aku yang bengong dan nggak nyambung, mereka berdua asik bercerita.

"Iya, nggak nyangka si sulung Barata udah mau nikah ya. Lo udah liat foto calon bininya?"

"Udah. Cakep sih, tapi untuk ukuran taipan mustinya Hari bisa dapet yang lebih wah deh."

"Tapi kalo yang kaya cari yang wah semua, apa nasib yang pas-pasan kayak kita? Ini justru memacu kita untuk berharap bisa dapet taipan juga."

Aku mendengus. Yah, met mimpi deh.

Dapet yang berkecukupan aja udah cukup kok. Yang penting masih bisa hidup mapan dan punya kerjaan yang mencukupi seluruh kebutuhan hidup, udah lebih dari cukup. Punya rumah sendiri, mobil pribadi, dan syukur-syukur masih bisa beli barang branded. Aku bukan matre, aku realistis.

Jadi orang kaya, bergaul sama kaum sosialita yang hobi majang foto arisan dan jalan-jalan di instagram dan punya ribuan followers? Nggak deh, makasih. Walaupun aku nggak bakal nolak punya ribuan followers sih.

"Oh ya, Hari Barata punya adek cowok kan?" tanya Puji.

Aline bergidik ngeri.

"Ada sih, tapi-" Aline mengecilkan suaranya, seakan-akan pembicaraan ini top secret dan Aline bakal ditembak mati kalau ketahuan membicarakan ini, "-beda banget sama Hari, Jeng. Orangnya nyeremin banget.."

Nyeremin? Senyeremin apa sih? Apa tampangnya kayak preman pasar atau yakuza?

Tanpa sadar aku menyuarakan pemikiranku karena Aline menjawab pertanyaanku dengan antusias.

"Nah, itu!! Kayak gitu, Nin!!"

"Seriusan?" tanya Puji kaget. "Bapaknya ganteng begitu, Hari juga ganteng begitu, adeknya kayak preman pasar??"

Aline mengangguk antusias.

"Desas desusnya dia itu karate sabuk hitam. Dan gosipnya pertunangan si putra kedua dibatalkan gara-gara pihak perempuan takut sama dia."

"Sumpahh???" Kali ini tidak hanya Puji yang kaget. Aku juga.

Kalau takut, kenapa dari awal tunangan dahh??

Aline mengangguk dengan penuh semangat lagi. Patung hokben aja kalah. Aku jadi khawatir bentar lagi kepalanya copot.

"Sayang banget padahal kan dia kaya..."

"Emang kaya aja cukup? Lo mau hidup sama pria yang bikin lo ketakutan tiap hari?? Bayangin kalo lo dibanting tiap dia jengkel sama lo. Hiiiii.."

Puji mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik sesuatu.

"Lo ngapain?"

"Mau googling si putra kedua. Namanya siapa, Line?"

Belum sempat Aline menjawab, Ita asisten Bu Maria membuka pintu dengan suara ngos-ngosan.

"Mbak Karen, dipanggil Bu Maria."

Deg.

Dipanggil Bos Besar pagi-pagi begini, aku tidak tahu akan jadi hal baik atau buruk.

Tbc

Sorry kalo ada typo.
Thank you

Di sini Leonardo belum muncul. Bab dua baru muncul yaa. Sampe ketemu di bab dua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro