lima belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun dengan penuh semangat sabtu ini. Karena setelah lebih dari sebulan jadian, akhirnya dia mengajakku nonton ke bioskop. Pacaran sama orang sibuk itu susah. Masih bagus aku bisa ketemu dia hampir tiap malam. Tapi ini akan jadi kali pertama aku menghabiskan waktu seharian dengannya. Aku tidak bisa lebih excited lagi dari saat ini.

Aku menyibakkan selimut dan bergegas bangun dari ranjang, namun gerakanku ternyata mengusik tidur Terry. Sambil meregangkan tubuh, dia membuka matanya dan menatapku sayu.

"Mau ke mana lo hari ini? Masih pagi banget..."

"Mau kencan dong," jawabku, tanpa bisa menyembunyikan nada gembira di suaraku.

Terry mengernyit. Matanya melihat ke tirai. Lalu kembali menatapku.

"Tapi masih gelap di luar. Jam berapa ini?" Terry membalik badannya dan melihat jam di dinding. Aku pun melakukan hal yang sama dan aku mengernyit.

"Jamnya rusak. Masa baru jam lima pagi?"

"Otak lo yang rusak. Dasar pasangan baru, masih hangat-hangat tai ayam."

Terry menarik tanganku sehingga aku jatuh ke ranjang, dan membekapku erat-erat.

"Tidur dulu. Tar pas kencan lo ngantuk, kan sayang banget," kata Terry sambil membekap wajahku di dadanya.

"Tapi udah nggak ngantuk..."

"Tidur, Monyet... Gue ngantuk. Jangan berisik."

Aku menghela nafas pelan. Mau berontak juga percuma, Terry lebih kuat dariku. Akhirnya aku memejamkan mata dan memaksakan diri untuk kembali tidur.

***

Terry kampret! Kunyuk! Sapi perah!!

Aku janjian dengan Leon jam 9 pagi karena kita rencananya mau makan bubur ayam dulu, namun semuanya berantakan karena si kunyuk itu matiin alarmku sebelum aku sempat mendengarnya, dan aku baru terbangun saat Leon sudah di depan rumah.

Sekarang aku terpaksa buru-buru, padahal ini kencan pertamaku. Aku bahkan nggak tau mau pakai baju apa. Astaganaga. Aku panik. AKU PANIK.

Ranjangku mendadak seperti kapal pecah, karena rasanya nggak ada yang cocok untuk kukenakan hari ini. Jeans dan blus, biasa banget. Dress kok kayaknya berlebihan. Ini terlalu terbuka. Itu keliatan norak. Argh!!

Dan tidak usah ditanya apakah aku sudah gambar alis atau belum.

GRRR...

***

Satu jam kemudian, aku keluar dari kamarku dan menghampiri dua pria penting di hidupku yang sedang mengobrol sambil makan bubur di meja makan tanpa mengajakku. Monyong emang.

Saat aku melangkah mendekati mereka berdua, keduanya menoleh dan melongo melihatku.

Kuakui, aku paling malas dandan. Biasanya aku hanya pakai sunblock, bedak, dan lipgloss kalau lagi rajin. Tapi hari ini aku pakai make up full. Aku sadar aku memiliki wajah seperti anak kecil, jadi supaya tidak kebanting dengan Leon, aku usaha dikit deh.

"Tumben lo dandan. Biasa juga kayak gelandangan," kata Terry. Aku mencebik. Enak aja gelandangan.

Leon bangkit dari kursinya dan menghampiriku. Matanya menatapku intens, membuatku bahkan sulit untuk menelan ludah. Lalu Leon berhenti tepat di hadapanku, membuatku tetap harus mendongak saat menatapnya, padahal aku sudah mengenakan heels setinggi 9cm.

"Jalan sekarang?" tanyanya, dan aku mengangguk seperti orang bodoh.

"Pas balik jangan lupa beliin gue makan malam ya!!" teriak Terry, yang mendapat lambaian tangan dari Leon sebagai jawaban.

Aku? Tidak usah ditanya. Aku sibuk menatap pacarku.

Aku tidak pernah melihatnya berpakaian selain setelan kerja, jadi saat ini, ketika dia hanya mengenakan kaos lengan panjang yang ditarik sampai ke siku dan jeans, aku malah terpesona. Rambutnya juga agak berantakan karena tidak diberi gel, namun aku menyukainya. Rasanya ingin menyusupkan jariku di dalam rambutnya dan mengacaknya.

Aku terlalu asik menatapnya sampai aku tidak sadar kalau aku sudah duduk di dalam mobil, sementara dia masih berdiri di sampingku dengan pintu terbuka. Aku baru sadar saat dia menunduk dan mengecup bibirku.

"Jangan bengong," ucapnya tanpa bisa menyembunyikan nada geli dalam suaranya.

Aku mengerjabkan mataku, dan tanganku secara spontan malah menarik leher bajunya dan kembali mencium bibir itu.

"Nina.." geram Leon di bibirku, dan dia menekan tengkukku untuk memperdalam ciuman kami. Namun tiba-tiba dia menjauh dan mendorong bahuku pelan.

"Kita di depan rumahmu," jelas Leon dengan nafas terengah.

"Aku nggak peduli."

"Tapi aku peduli. Siapapun bisa melihat kita, termasuk Terry."

Aku merengut, namun kepalaku mengangguk.

"Baiklah."

Aku mengusap bibirnya yang terkena lipgloss yang kugunakan.

"Padahal kamu yang menciumku duluan."

"Karena kamu bengong."

"Jadi gara-gara aku."

"Iya dong." Leon mengusap wajahku dengan telapak tangannya, dan jemarinya menyentuh bibirku. "Gimana aku bisa tahan melihatmu menatapku seperti ini?"

"Woi!! Jangan pacaran di depan rumah jomblo!! Pergi sana!! Merusak pemandangan aja."

Aku dan Leon serentak menoleh dan melihat Terry di depan pintu sambil menyilangkan tangannya.

"Berisik banget ya, Sap. Makanya cari pacar sana!!" balasku sambil meleletkan lidah. Leon tertawa.

Leon menutup pintu mobil dan memutar ke arah pintu pengemudi setelah mengangkat tangannya kepada Terry.

Aku membuka jendela dan melambaikan tangan kepada Terry, yang menatap kepergian kami sampai kami berbelok dan rumahku tidak kelihatan lagi.

Leon mengulurkan tangannya padaku dan aku secara otomatis menyambutnya, seperti biasa.

"Jadi kata Terry kamu bangun jam lima pagi."

"Iya," jawabku lalu aku merengut kesal. "Gara-gara si kunyuk itu suruh aku tidur lagi, aku jadi kesiangan."

Leon terkekeh.

"Kamu cantik. Biasanya juga cantik, tapi hari ini kamu keliatan beda."

Aku tersipu malu. Rasanya effortku menggambar alis dengan susah payah langsung terbayar.

"Thank you, Le. Aku juga suka penampilan kamu hari ini. Kamu cocok berpenampilan kasual kayak gini."

"Baguslah kalau kamu suka."

Aku langsung cengar-cengir tidak jelas. Untuk mengganti topik pembicaraan, aku merogoh ponselku dan membukanya.

"Kita mau nonton apa?"

"Terserah kamu. Setahuku ada film rom-com baru tayang."

"Kamu mau nonton film begitu? Nggak mau action aja?"

"Nggak usah. Kamu pilih aja."

"Kita mau nonton di mana? PP?"

"Boleh. Lebih sepi."

"Oke. Aku cek jamnya dulu ya."

Lalu aku melihat sms dari operator yang mengatakan paket internetku habis dan pulsaku tidak mencukupi untuk perpanjangan paket. Sial, aku lupa isi pulsa.

"Ah, paket internetnya abis. Nggak bisa browsing. Tar mampir ATM ya. Mau isi pulsa."

Leon langsung menyodorkan ponselnya padaku.

"Pake punyaku aja dulu. Tar kita ke ATM dalam mall aja."

Aku mengambil ponselnya dan membuka safari, lalu aku terpana melihat halaman web terakhir yang Leon buka.

"'Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat kencan pertama.' Apaan nih?"

Leon langsung menyambar ponselnya dari tanganku dan menyimpannya. Aku melihat telinganya memerah, lucu sekali.

"Kamu baca artikel itu?"

"Ng-nggak. Itu bekas dipinjam Oliv."

"Oliv kan nggak punya pacar. Ngapain dia baca artikel tentang kencan pertama?"

Leon diam.

"Jadi kamu baca artikel begitu? Aku kira kamu cuma baca berita atau yang berhubungan dengan bisnis."

Leon menghela nafas pelan.

"Iya, aku yang baca. Ketawa aja kalau mau ketawa."

Aku menggeleng.

"Kenapa aku harus ketawa? Kamu membacanya untuk kencan kita hari ini kan?"

Leon melirikku sekilas, dan pelan-pelan mengangguk.

"Aku- nggak tau harus gimana ke kamu setelah kita pacaran. Aku nggak mau kamu kecewa sama aku. Tapi aku membacanya hanya sebagai referensi saja, kok."

Aku menjulurkan tubuhku dan mengecup pipinya. Aku bisa merasakan Leon terkejut merespon tindakanku.

"Aku nggak keberatan kamu berusaha seperti ini. Aku senang kamu mau berusaha demi aku. Tapi aku mau kenal kamu apa adanya. Kalau apa yang kamu lakukan itu bukan kamu yang sebenarnya, nggak usah. Oke?"

"Iya."

"Dan aku nggak keberatan nonton action sama sekali. Asal jangan horror."

"Aku suka horror."

"Aku suka drama korea."

Leon berjengit, dan aku tertawa melihat reaksinya.

"O-oke... Kamu mau aku temenin nonton drama ko-korea?"

"Boleh, nanti aku temenin kamu nonton horror juga. Tapi after-effectnya panjang ya. Kamu musti sabar sama aku."

"Kamu takut?"

"Banget."

"Kamu boleh peluk aku kalau kamu takut."

Aku memukul lengannya pelan karena malu.

"Itu sih maunya kamu."

Dia tertawa.

***

Sepanjang jalan di mall, Leon tidak pernah melepaskan tanganku. Bukan karena dia so sweet, karena dia memang selalu sweet, tapi karena kakiku pegal gara-gara heels 9cm sialan ini.

"Kenapa kamu harus pakai sepatu yang menyiksamu begini?"

"Karena untuk hari ini, aku nggak mau keliatan mungil di sebelahmu."

Leon menatapku tidak mengerti, namun dia tidak bertanya lagi.

Walaupun setelah mengenakan heels ini, aku tetap hanya setinggi bahunya, tapi lumayanlah. Sepertinya dandananku dan sepatu ini cukup membantu. Frekuensi manusia yang menatap kami dengan pandangan aneh cukup berkurang hari ini.

Kami membeli tiket - akhirnya kami memilih nonton film Marvel yang terbaru dan bukannya film rom-com - dan makanan ringan, lalu kami masuk ke dalam studio. Sepertinya, setelah pembicaraan tadi, Leon sedikit lebih rileks denganku.

Satu hal yang baru kuketahui saat kami menonton adalah ternyata dia sangat diam saat menonton. Benar-benar diam. Mau adegan lucu, adegan seram, adegan bunuh-bunuhan, adegan romantis, atau adegan sedih, dia tetap diam. Aku sampai beberapa kali menoleh ke arahnya untuk mengecek apakah dia ketiduran atau masih menonton. Sesekali dia menyorongkan popcorn dan minuman ke mulutku, namun tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya, sampai lampu studio dinyalakan kembali. Itupun kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah, "tunggu, aku mau lihat creditnya."

Selesai menonton, Leon mengajakku turun ke lantai di bawah bioskop, ke salah satu restoran. Namun sebelum kami sempat masuk, tiba-tiba ada suara yang memanggil Leon.

"Leonardo?"

Aku dan Leon serentak menoleh, dan aku melihat seorang gadis cantik dengan dandanan full dan gaya berpakaian yang sebenarnya fashionable, tapi nggak cocok untuk wanita seusianya sehingga membuatnya terlihat lebih tua dariku, dan dia tersenyum tipis melihat Leon. Kelihatan banget kalau dia menyukai Leon, dan aku nggak suka.

"Aku nggak nyangka bisa melihat kamu di luar rumah dan kantormu."

"Melanie," sapa Leon datar, dan aku otomatis menaikkan alisku. Oh, jadi ini mantan tunangan Leon.

Lalu wanita itu melihatku. Reaksi pertamanya persis seperti sekretaris Leon.

"Aku nggak tahu kamu punya sepupu yang masih SMA."

SMA?? Kampret!! Gue udah dandan susah-susah masih kayak anak SMA?? Penghinaan.

"Dia pacarku, bukan sepupuku."

Aku tidak bisa menyembunyikan senyum bangga saat Leon mengatakan sebaris kalimat itu, walaupun dengan suara datar. Aku pacarnya lho, pacarnya. Hah!

Senyum di wajah Melanie langsung memudar, berganti dengan pandangan meremehkan yang terang-terangan ditujukan padaku.

"Aku nggak nyangka kamu bisa bercanda. Anak SMA begini pacarmu? Yang benar saja."

"Dia lebih tua darimu."

Kali ini aku ikutan membelalak kaget. Tante menor ini lebih muda dariku??

"Melanie seumuran Oliv, Nin. Mereka dulu barengan saat jadi model majalah remaja."

"Oh..."

Lalu Melanie mendengus.

"Aku nggak nyangka seleramu ternyata yang seperti ini. Kayak hfftt... Kurcaci."

Kurcaci?? Wah, mulut kampret.

"Aku ngerti sekarang kenapa pertunangan kalian batal. Kamu pasti nggak mau punya tunangan model tante-tante begini kan, Sayang?" kataku bermanis-manis pada Leon, dan wajah Melanie langsung memerah.

"Lo ngatain gue tante-tante??"

"Ayolah, dandanan lo nggak kayak anak 19 taon. Lo lebih mirip emak-emak sosialita yang udah punya anak dan hidupnya kurang kerjaan."

Aku bisa mendengar suara tawa tertahan dari sekitarku, namun aku tidak peduli. Dia menghinaku. Menghinaku berarti menghina pilihan Leon kan? Aku nggak suka.

Aku yakin dia marah, namun kelihatan dia berusaha menahan diri. Lalu dia kembali bicara dengan Leon.

"Gimana bisa kamu punya pacar yang mulutnya kasar begini? Dia nggak cocok denganmu."

Dan aku melihat Leon tersenyum. Dan kata-katanya selanjutnya membuatku terdiam dan hatiku membuncah dengan bunga sakura.

"Bukan masalah cocok atau tidak. Tapi karena aku memilihnya, dan itu cukup."

Tbc

Selamat liburan!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro