enam belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku nggak nyangka, mantan tunangan kamu mulutnya rese," kataku akhirnya, saat kami sudah berada di mobil.

Leon menyetir mobilnya meninggalkan pelataran parkir mall dan membawanya melintasi jalan raya.

"Itu bukannya karena kamu  yang pancing?"

"Heh!!" Leon tertawa sementara aku menggerutu. Tangannya meremas tanganku pelan dan mengecupnya. Aku langsung tidak jadi bete.

"Dia perempuan baik. Ibunya teman ibuku, dan dia teman Oliv."

"Dia suka sama kamu."

Leon diam, membuatku menatapnya penuh rasa selidik.

"Kamu udah tau kalo dia suka sama kamu?"

"Oliv yang bilang."

"Kirain kamu peka."

"Aku nggak peduli. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama dia."

"Aku nggak suka."

"Nggak suka apa?"

"Aku nggak suka ada perempuan yang suka sama kamu."

Aku melihat seulas senyum tipis menghiasi wajah Leon.

"Aku milikmu, Nina."

Dia sukses membungkamku. Aku langsung diam, tanpa tau harus bicara apa.

Rasanya saat ini aku ingin membawanya pulang dan menyekapnya di kamarku selama-lamanya. Oke, aku lebay.

Dia menghentikan mobilnya di depan pagar rumahku, namun dia belum membuka kunci mobil. Leon membuka seatbeltnya dan seatbeltku, lalu tangannya mengusap wajahku.

"Satu ciuman untuk mengakhiri kencan hari ini?"

"Oke," jawabku dengan wajah sumringah, dan tanpa menunggunya, aku maju dan menempelkan bibirku di bibirnya. Aku selalu menyukai aroma mint dari nafasnya, dan gesekan rambut halus di wajahnya memberikan sensasi geli untukku. Bibirnya yang lembut membuka dan mengulum bibirku perlahan, dan kami menikmati setiap momennya.

Saat kami menjauh dengan nafas agak terengah, Leon mengecup keningku dengan lembut.

"Yuk turun."

Leon membuka pintu, dan memutari mobilnya untuk membukakan pintu bagiku. Dia membantuku turun, tanpa segan-segan memeluk pinggangku dan mengirimkan gelenyar ke seluruh tubuhku. Dengan hati-hati dia menuntunku ke depan pintu rumahku, lalu sebelum membuka pintu rumah, dia mengusap rambutku dengan lembut.

"Good night, Nina."

"Good night, Leon."

***

Aku melepas kacamata bundarku dan memijat keningku perlahan. Baru tadi pagi aku diberi tahu oleh Bu Maria kalau ada perubahan rencana. Pernikahan yang seharusnya akan diadakan sekitar empat bulan lagi, akan dimajukan jadi bulan depan. Coba tebak apa alasannya? Serius, itu satu-satunya yang terlintas di pikiranku saat diberi tahu pernikahannya akan dipercepat. Apa lagi kalau bukan keburu bunting? Bang Hari tuh ya, bener-bener deh.

Masalahnya, semua desain gaunnya menyempit di bagian pinggang, dan pagi ini, tante Anas dan Mitha akan datang ke sini untuk diskusi lagi.

Jadi, saat ini aku sedang memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa kulakukan untuk gaun pengantin dan kebayanya sambil merokok di taman, ditemani Aline yang sedang menyantap gorengan sambil minum kopi. Aline tidak seperti Puji yang anti-rokok, tapi dia tetap saja mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung jika asap rokokku tanpa sengaja mengenainya.

"Lo beneran nggak mau ubi goreng ini?" tawar Aline, dan aku menggeleng.

"Nggak. Kenyang gue."

"Eh, kata Ita, lo sekarang punya cowok. Beneran?"

"Iya."

"Siapa? Kok Ita tau duluan?"

"Lo sama Puji kan sibuk melulu. Kalo Ita kan di depan terus. Taulah dia."

"Siapa sih pacar lo?"

"Rahasia."

"Najis lo, main rahasia-rahasiaan segala." Aku tertawa.

"Tar lo kaget lagi, pas tau siapa."

"Kenapa gue musti kaget? Emang pacar lo bukan manusia?"

"Ngaco banget mulut lo, sumpah. Kalo bukan manusia, apaan coba?"

"Makhluk astral? Vampir gitu? Manusia serigala?" Aku menoyor kepalanya.

"Lo kebanyakan nonton yang nggak-nggak nih. Lo sadar nggak, kalo itu mengerikan banget? Bayangin kalo pacar lo vampir yang suka hisap darah? Lo yakin dia nggak bakal ngisap darah lo? Atau kalau dia manusia serigala, ada kemungkinan dia bakal cakar lo pake kukunya yang tajam, atau lo digigit pake giginya yang tajam? Serem tau."

"Lo pasti bukan penggemar Edward Cullen." Aku tertawa dan menggeleng.

"Gue lebih suka Cedric Diggory."

"Kan yang main sama."

"Tapi dia nggak sparkling pas jadi Cedric."

Aku dan Aline tertawa.

Tawa kami berhenti saat Ita menghampiri kami.

"Mbak Karen, ditunggu di studio. Kliennya udah dateng."

"Oke. Thanks, Ta."

Aku bangkit dan mematikan rokokku di tempat sampah.

"Klien siapa lagi? Lo bukannya nggak dikasih terima klien selama gaun Barata belom kelar?"

"Masih si Barata. Ada perubahan dikit. Biasa," jawabku.

"Oh. Good luck deh," kata Aline lalu kembali mengunyah ubi gorengnya. Aku mengacungkan jempol yang dibalasnya dengan mengacungkan ubi goreng, lalu aku kembali ke dalam, menuju studioku. Di dalam studio sudah ada Tante Anas, kak Mitha, Oliv, dan Bu Maria. Aku menhampiri mereka dan menyalami mereka satu per satu.

"Jadi, Maria sudah memberitahumu tentang perubahan rencananya?" tanya tante Anas, yang kujawab dengan anggukan.

"Sudah. Kalau boleh tahu, sudah berapa minggu ya?"

"Lima minggu. Telat sekali mereka memberitahu kami, makanya ini harus segera dilakukan sebelum perutnya semakin besar," omel Tante Anas sementara kak Mitha sudah menunduk di sebelahnya.

"Hmm, let's see..." Aku bergumam, lalu memutar gaun yang sudah kelar, yang rencananya akan digunakan saat pemberkatan nanti. "Gimana kalau kita coba gaun ini dulu? Nanti akan aku perbaiki sedikit di bagian perutnya supaya tidak kentara jika nanti perut kak Mitha membesar."

"Boleh juga. Ya sudah, kamu coba dulu gaunnya, Mit," kata tante Anas, lalu Kak Mitha berdiri dan aku membawanya ke balik tirai untuk mencoba gaunnya.

Gaun itu jatuh dengan indah di tubuh kak Mitha, namun untuk pernikahan satu bulan lagi, aku nggak yakin ini akan muat.

"Gimana, Kak?"

"Agak sesak di bagian dada, Nin."

Aku tertawa.

"Siapa suruh tekdung duluan."

Kak Mitha ikut tertawa.

"Iya nih."

Aku membuka tirai pembatas agar yang lain bisa melihatnya juga, lalu menjelaskan perubahan apa yang akan aku lakukan dengan gaunnya. Lalu setelah membantu Kak Mitha mengganti pakaian, aku kembali duduk bersama mereka dan mendiskusikan perubahan apa yang harus aku lakukan untuk gaun resepsi, dan perombakan besar-besaran untuk kebaya saat mingle. Hampir dua jam kami mendiskusikan masalah kebaya, dan akhirnya diputuskan kebaya tidak jadi digunakan. Dua jam yang sia-sia banget.

"Oke, berarti nanti tolong satu minggu dan dua hari sebelum hari-h kak Mitha datang untuk fitting lagi ya."

"Oke, thank you, Nina," kata tante Anas, dan Bu Maria mengerutkan keningnya.

"Kamu panggil Karen apa, Nas?"

"Aku panggil dia Nina, jeung. Panggilan kecilnya, soalnya dia sekarang pacaran sama si Leon."

"Leon adeknya Hari?" tanya Bu Maria terkejut, dan tante Anas mengangguk.

"Oalah, pantesan kemarenan itu si Leon dateng jemput Karen."

"Bang Leon jemput kak Nina ke sini??" seru Oliv terkejut, lalu cekikikan dengan Kak Mitha.

"Kenapa emangnya?"

"Ah, nggak apa-apa," kata Oliv mencoba mengelak, namun kak Mitha yang baik hati itu menjawabku.

"Jarak kantor Leon ke sini kan lumayan jauh dan macet banget. Leon niat banget jemput kamu ke sini, Nin. Biasanya kalo Oliv minta tolong jemput jauhan dikit, dia bakal nolak, atau dia kirim sopir doang."

"Namanya juga pacarnya. Laut diseberangi, gunung pun didaki," sahut Tante Anas, lalu mereka semua tertawa, termasuk Bu Maria. Aku hanya bisa meringis. Seniat itukah Leon?

Iya juga sih, tempat kerja Leon dan bridal ini lumayan jauh. Pantesan Terry jarang banget mau jemput aku di sini.

"Udah jam makan siang. Ayo kita makan siang," kata Tante Anas. "Jeung, ayo makan bareng. Nin, ayo ikut."

"Sorry, Tan. Aku makan siang di sini aja. Biar cepet. Mau langsung lanjutin gaunnya," tolakku halus. Tante Anas sepertinya akan memaksaku, namun Bu Maria menggelengkan kepalanya. Bu Maria jelas tahu kalau pekerjaanku masih jauh dari selesai.

Begitu mereka semua meninggalkan ruangan, aku langsung mencari Aline dan Puji untuk titip makan siang, apapun yang mereka beli.

Saat aku kembali ke studioku untuk kembali berkutat dengan si panjang warna putih itu, ponselku berdering nyaring. Begitu melihat nama Leon yang tertera di layar, aku langsung menggeser tombol hijau dan mendekatkannya ke telinga.

"Udah break?"

"Udah. Baru kelar meeting. Kamu udah makan?"

"Baru pesen. Kamu?"

"Belum. Ini mau makan sekalian meeting lagi di Sudirman. Makan apa?"

"Nasi pecel, titip Aline sih."

"Kamu sibuk?"

"Lumayan. Ada perubahan mendadak, jadinya sebulanan ini bakal sibuk."

"Masalah Kak Mitha ya?"

"Iya. Kamu udah tau?"

"Udah. Oke, aku turun dulu. Nanti kutelepon lagi."

"Oke, met meeting, Leon."

"Iya. Bye."

***

Malamnya, aku menunggu Leon menjemputku seperti biasa. Begitu mobilnya masuk ke parkiran, aku langsung membuka pintu dan dengan susah payah aku naik ke mobilnya. Leon langsung buru-buru memegangi kepalaku karena takut aku terantuk.

"Kamu semangat banget."

"Mau cepat-cepat pulang. Aku ngantuk."

"Nggak mau makan dulu?"

Oh, betul juga.

"Kamu mau nggak kalo makan di rumahku? Aku pingin masak."

"Boleh..."

"Oke," jawabku dengan wajah sumringah, lalu aku memperbaiki posisi dudukku supaya lebih nyaman. Dengan jemari Leon yang menggenggam erat jemariku, aku terlelap.

Aku baru terbangun saat aku merasakan tangan Leon mengusap kepalaku dan suaranya memanggilku dengan lembut. Saat aku membuka mata, aku menyadari mobil Leon sudah berhenti di depan rumahku, namun mesin mobil masih menyala.

"Yuk turun," ajaknya, dan aku perlahan mengangguk. Leon mematikan mesin mobil, dan seperti biasa dia memutar mobil dan membantuku turun.

Saat kami masuk ke rumah, ternyata Terry sedang duduk di depan televisi sambil ngemil kacang goreng.

"Tumben kalian balik cepat," katanya dengan mulut penuh.

"Nina pingin masak," jawab Leon. Terry langsung bertepuk tangan dengan gaya lebay.

"Untung gue belom delivery!! Masakin buat gue juga ya, Nyet!!"

"Iya, iya, bawel," kataku sambil berjalan ke arah dapur. Leon berjalan membuntutiku.

"Kamu sama Terry dulu aja, aku masak dulu," kataku. Tapi Leon menggeleng.

"Aku mau liat kamu masak." Aku berdecak.

"Tar aku grogi."

"Kalau gitu, aku bantuin aja gimana?"

"Kamu mau bantuin aku?" ulangku tidak percaya. Leon mengangguk, lalu mulai menggulung lengan kemejanya.

"Potong bawang bisa?" Leon mengangguk, lalu aku menyiapkan talenan dan pisau, serta beberapa siung bawang merah dan putih, dan meletakkannya di depan Leon. Aku sendiri mencuci beras dan sawi, setelah sebelumnya merendam sebungkus cumi yang masih beku ke dalam baskom berisi air hangat.

Kami berdua bekerja dalam diam, walaupun aku tidak bisa menahan diri untuk melirik ke arahnya setiap beberapa menit sekali. Melihat Leon dengan tubuh besar dan tatoan itu di dapur mengupas bawang putih sungguh menarik. Aku tidak bisa berhenti mengagumi sosoknya, dan aku selalu bersyukur pria ini adalah pacarku.

Saat semuanya selesai, aku menyusun makanan di atas meja lalu meminta Leon memanggil Terry sementara aku mengambilkan nasi.

Ketika kami bertiga sudah duduk mengitari meja makan dan mulai makan, pembicaraan pun mengalir begitu saja.

"Tumben lo berdua pulang makan," kata Terry sambil mengunyah cumi goreng mentega.

"Gue pingin masak. Tar lo yang cuci ya Ter. Capek gue."

"Oke. Capek kenapa lo? Bukannya kata lo, sekarang cuma pegang gaunnya kak Mitha? Masih empat bulan lagi kan?"

Aku dan Leon berpandangan. Lalu Leon yang akhirnya menjawab pertanyaan Terry.

"Dimajuin jadi bulan depan. Kak Mitha keburu hamil."

Terry melotot kaget.

"Pantesan hari ini Om Jimmy jadi galak banget."

"Kemarin di rumah aja udah kayak arena perang."

"Tante gimana?"

"Ngamuk."

"Bang Hari gimana?"

"Bonyoklah. Lo kan tau bokap gue mantan karateka."

Lalu yang aku tidak mengerti, mereka berdua tertawa.

"Anjir bokap lo serem banget."

"Iyalah. Gue jadi dia juga bakal ngamuk. Kak Mitha udah dianggep kayak anak sendiri."

"Kak Mitha nggak ada orang tua juga kan ya?" Leon menggeleng.

"Kak Mitha juga yatim piatu?" tanyaku penasaran. Leon menatapku dan mengangguk.

"Kak Mitha lahir dan besar di panti asuhan milik mamiku. Ibu panti bilang, ibunya kak Mitha meninggal setelah melahirkan kak Mitha."

Aku terdiam. Di saat aku merasa hidupku sudah cukup malang, ternyata masih banyak orang di luar sana yang hidupnya jauh lebih malang. Setidaknya aku masih punya Terry, sahabat-sahabatku, rumah untuk berlindung, dan pekerjaan tetap. Apalagi sekarang aku punya Leon.

"Jangan mengasihani kak Mitha. Dia punya keluarga sekarang. Kita semua adalah keluarganya," kata Leon. Aku mengangguk.

"Le," panggil Terry tiba-tiba.

"Kalo sampai Nina hamil sebelum kalian menikah-"

"Gue tidak akan menyentuh Nina seperti itu sebelum kami menikah," jawab Leon tegas.

"Gue pegang kata-kata lo."

"Lo bisa pegang kata-kata gue."

Tbc

Happy new year!!

Terima kasih buat kalian yang sudah membaca cerita ini, terutama untuk kalian yang mencet-mencet vote dan ngetik-ngetik komen. Ai lop yu... 😘😘

Mungkin aku memang menulis karena aku perlu pelampiasan imajinasi yang berlebihan, tapi apalah arti penulis tanpa pembaca, ya nggak?

Semoga di tahun yang baru ini kita semua menjadi lebih baik lagi dari tahun sebelumnya.

Sampai ketemu di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro