tujuh belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini adalah bulan paling gila yang pernah aku alami - kedua setelah satu bulan sebelum pagelaran akhir yang kulakukan untuk mendapat gelar sarjanaku. Waktu itu aku bahkan tidak ingat apakah aku makan atau belum. Tapi kalau tidur, ya tetap tidur, karena kalau tidak, jahitanku ngawur semua. Tapi ya, nggak bisa tidur sebanyak hari normal. Paling dua-tiga jam, itupun udah mewah banget.

Kali ini, paling tidak ada Leon yang selalu mengingatkanku untuk makan, dan Terry yang selalu memaksaku tidur tepat waktu. Tapi tetap saja, sadar tidak sadar, berat badanku menyusut banyak. Terry sampai mengomel setiap dia memelukku saat tidur. Katanya seperti memeluk gelondongan kayu. Keras semua. Kurang ajar memang mulut sapi itu. Masa kembarannya yang cantik ini disamakan dengan kayu.

Saat akhirnya tiga minggu berlalu dan hari fitting pun tiba, aku baru bisa menghembuskan nafas lega, karena dua gaun pengantin dan satu gaun bridesmaid sudah beres. Aku tidak membuat gaun bridesmaid, tapi aku didaulat untuk menyesuaikan ukurannya dengan Oliv. Tambahan pekerjaan, tapi nggak susah sama sekali, jadi ya sudahlah.

Saat ini aku berada di studio, menunggu Kak Mitha dan Oliv datang ke studio, sambil ngemil kacang atom dan minum kopi. Tak lama kemudian, Oliv dan Kak Mitha datang berdua.

"Hai, Kak Nina," sapa Oliv penuh semangat. "Aku duluan yang fitting ya, soalnya aku ada pemotretan habis ini di Kemang."

"Lho? Kak Mitha gimana? Kamu tinggal?" tanyaku.

"Iya. Nanti Bang Hari jemput ke sini. Dia lagi otw, abis meeting."

"Oh. Ya udah, langsung deh. Kak, duduk dulu aja. Bentar ya," kataku sambil beranjak dari bangkuku, lalu mengajak Oliv ke ruang ganti. Tidak ada perubahan berarti pada tubuh Oliv, dan gaunnya jatuh dengan sempurna di tubuhnya yang memang terlihat bagus dengan pakaian apapun. Oliv berputar di depan cermin dengan senyum puas.

"Udah pas ya, nggak ada masalah," kataku, dan Oliv mengangguk. Setelah aku membantunya mengganti kembali pakaiannya, kami kembali kepada Kak Mitha, dan aku menemani kak Mitha untuk mencoba gaun pengantinnya, sementara Oliv sudah pamit pulang duluan, setelah memberi pesan kalau Tante Anas melarang Bang Hari dan kak Mitha berduaan saja di satu ruangan tertutup. Walaupun aku bingung dengan pesannya, toh udah telat banget. Kan udah jadi anak, ngapain dilarang-larang lagi. Tapi ya sudahlah, emak-emak nggak usah dilawan.

Tiga minggu dan perut kak Mitha sudah mulai sedikit membuncit. Dan anehnya tubuh kak Mitha malah mengurus. Aku mengusap daguku sambil melihat kak Mitha. Bagian bahunya longgar, bagian dadanya longgar. Kurusan dikit lagi, gaunnya langsung melorot. Nyangkutnya cuma di perut doang.

"Kayaknya h-1 kak Mitha harus datang lagi. Kak Mitha nggak bisa makan ya? Kok kurusan begini? Longgar semua ini, Kak."

Kak Mitha meringis penuh rasa bersalah.

"Morning sickness-ku parah. Waktu masih tinggal bareng Hari, biasanya dipelukin jadi enak. Tapi sekarang susah. Nggak mungkin juga minta Hari tiap hari pagi-pagi ke rumah pelukin aku kan?"

"Kak Mitha sekarang tinggal di rumah kan ya? Kenapa Bang Hari nggak ikut tinggal di rumah?"

"Nggak diizinin sama Mami. Katanya nanti malem-malem Hari bakal nyelinap ke kamarku."

Aku tertawa dan kak Mitha ikut tertawa. Aku membayangkan Bang Hari mengendap-endap ke kamar kak Mitha, lalu dijewer tante Anas pas ketahuan. Pasti lucu.

"Ya udah, sekarang kita coba gaun untuk resepsinya ya. Kemaren belum coba kan?" Kak Mitha mengangguk, lalu aku membantunya mencoba gaun untuk resepsi. Tadinya aku membuat gaun ini seperti gaun disney princess yang berlapis-lapis dan cukup berat, tapi sekarang kukurangi agar tidak terlalu berat karena akan dipakai untuk mingle juga.

Begitu kak Mitha sudah mengenakan gaunnya, aku mendengar suara pintu studio terbuka dan Bang Hari memanggil kak Mitha. Aku membuka tirai dan menemukan Bang Hari serta Leon dalam setelan kerja mereka. Bang Hari terperangah melihat calon istrinya, bahkan matanya tidak berkedip sekalipun saat dirinya berjalan menghampiri Kak Mitha.

Aku berjalan mendekati Leon dan mengaitkan tanganku di tangannya.

"Kok kamu ikut?"

"Tadi aku meeting bareng Bang Hari. Sekalian."

"Bisa tolong tinggalin kami berdua?" pinta Bang Hari tiba-tiba, tanpa melepaskan pandangan dari kak Mitha yang sudah menunduk malu-malu.

"Nggak bisa. Tante Anas udah pesan kalo Bang Hari dan Kak Mitha nggak boleh ditinggalin berduaan aja."

Bang Hari mengalihkan pandangan kepadaku dan sorot matanya sangat galak dan penuh intimidasi.

"Keluar."

Tapi bukan Nina namanya kalau takut cuma gara-gara dipelototin. Pacar gue lebih serem, Jir. Masa gini aja takut.

"Nggak. Bang Hari mau peluk-peluk ya silakan, aku nggak ganggu. Tapi aku sama Leon nggak akan keluar dari ruangan ini."

Bang Hari mebgalihkan pandangannya dariku kepada Leon.

"Pacar kamu rese banget sih, Le."

"Memang," jawab Leon pendek, lalu Bang Hari dan Kak Mitha malah tertawa sementara aku manyun.

"Oh, jadi aku rese?"

Tapi tiba-tiba dia memelukku erat, sehingga wajahku menempel pada jasnya dan aku bisa mencium wanginya yang sumpah enak banget.

"Iya, rese," katanya pelan, tapi kata-katanya berkebalikan dengan tangannya yang mengusap kepalaku dengan sayang.

"Get a room, you guys!"

"Bang Hari berisik!!" teriakku dari balik jas Leon. Lagi asik begini, berisik banget sih dia. Dada Leon berguncang karena tawa, namun tangannya tidak melepaskan pelukannya.

"Bang, itu tirainya ditutup aja. Asal jangan kenceng-kenceng ya," kata Leon sambil menarikku duduk di sofa. Bang Hari langsung menarik tirai yang membatasi area ganti pakaian dengan tempatku.

"Kok kamu malah nyaranin gitu sih?" omelku setelah tirai ditutup. Aku memutar tubuhku menghadap ke Leon, karena kami duduk bersebelahan di sofa.

"Ya nggak apa-apalah. Mereka mau ngapa-ngapain juga biarin aja. Udah jadi baby toh? Dan kamu nggak melanggar pesan Mamiku."

Leon menatap wajahku dengan lembut, selembut belaiannya di puncak kepalaku.

"Udah makan?"

"Udah. Kamu?"

"Udah, tadi sambil meeting."

"Trus habis ini balik kantor?"

Leon mengangguk. Tangannya membelai wajahku lembut, dan menyelipkan rambutku yang keluar dari jepit ke belakang telinga.

"Apa kamu beneran makan teratur?"

"Beneran teratur lah. Kamu sama Terry kan bawel banget ngingetin aku makan."

"Tapi kok kamu kurusan?"

"Namanya juga sibuk. Malah bagus kurusan, lebih gampang cari ukuran baju."

"Jangan kurusan. Keras."

"Maksudnya?"

"Kayak peluk tulang."

"Nggak usah peluk-peluk kalo gitu." Dengan bete aku bergeser menjauh dari Leon, tapi Leon menarikku mendekat dan memelukku erat.

"Kamu sensitif hari ini."

"Biasa aja. Lepasin aku." Permintaan yang sia-sia, karena Leon justru mengeratkan pelukannya.

"Biasanya suka aku peluk."

"Hari ini kamu rese."

"Oh, jadi aku yang rese?"

"Iya, kamu rese. Nggak usah peluk-peluk deh. Dasar nyebelin." Leon tergelak, dan melepaskan pelukannya. Tapi baru saja aku mau menjauh, dia mengecup bibirku dengan cepat.

Sejak kami pertama kali berciuman, Leon mulai suka mencuri kecupan kecil dariku. Tapi tetap saja aku selalu berdebar-debar tiap dia melakukannya, karena dia selalu melakukannya dengan tiba-tiba, seperti sekarang ini.

"Kamu genit," kataku sambil menangkup bibirku dengan kaget dan tersipu-sipu. Bisa batal ngambek ini sih.

"Kok jadi aku yang genit? Biasanya kan kamu yang genit."

"Oh, jadi aku yang genit?" 

Leon tersenyum geli melihatku.

"Kamu bener-bener lagi sensitif hari ini."

Leon kembali menarikku dalam pelukannya, dan aku tidak menolak, walaupun mulutku terus menggerutu.

"Jangan bete lama-lama, aku nggak tahan."

"Siapa juga yang bete," gerutuku. Leon tergelak.

"Iya deh, nggak bete..."

***

Setengah jam kemudian, dengan berat hati aku melepas Leon pulang bersama Bang Hari dan kak Mitha, dan aku bergerak untuk membereskan studio begitu mereka meninggalkan studioku. Karena perubahan yang harus kubereskan tidak banyak, sementara aku masih punya waktu 4-5hari, aku memilih untuk berberes dan pulang. Aku merasa begitu lelah.

Namun baru saja aku melangkah keluar dari studio, Puji berteriak memanggilku.

"Kenapa, Ji?"

"Kita dipanggil Bu Maria!"

"Kenapa?"

"Nggak tau. Yuk!"

Aku mengekori Puji menuju ruang Bu Maria. Di dalam ruangan Bu Maria yang sedang duduk di kursinya di balik meja memanggil kami mendekat.

"Puji, kamu dua minggu lagi selesai kan?" Puji mengangguk.

"Dan kamu, Karen, kamu minggu ini selesai, betul?" Aku juga ikut mengangguk.

"Baiklah. Dua bulan lagi akan ada wedding fair. Untuk shownya nanti, kalian masing-masing buat dua gaun ya. Kita akan kerjasama dengan Belle Jewelry untuk perhiasannya. Dua minggu lagi deadline desainnya, sekalian kita meeting dengan pihak Belle Jewelry. Kalian siap?"

Aku dan Puji saling berpandangan, aku yakin dia sama kagetnya denganku. Tapi menolak kesempatan ini? Nggak mungkin.

Sebagai desainer gaun pengantin yang masih baru, ikut dalam event adalah salah satu cara kami melepas kebosanan. Memang biasanya melelahkan, tapi sangat menyenangkan.

Apalagi, wedding fair adalah salah satu event terbesar untuk bidang kami. Mewakili Samantha Bridal akan jadi satu kebanggaan untuk kami para desainer baru.

"Siap, Bu!"

"Bagus. Saya tunggu hasilnya. Kalau ada yang ingin kalian diskusikan nanti, kalian tau di mana harus mencari saya."

"Iya, terima kasih, Bu."

"Kalian boleh pergi."

Aku dan Puji mengangguk dan undur diri. Begitu aku menutup pintu ruangan Bu Maria, Puji langsung menjerit.

"Anjir!!! Wedding fair!!!" Aku tertawa dan kami melompat-lompat kegirangan, sampai-sampai Aline, yang berada di studio sebelah ruangan Bu Maria, keluar dan menatap kami bingung. Akhirnya aku dan Puji masuk ke studio bersama Aline.

"Eh, iya, kok Aline nggak diikutin ya?" tanyaku.

"Mana bisa gue," kata Aline pelan. "Kemaren gue dibaru disuruh ngurusin gaun pengantin anak pejabat." Aline menyebutkan nama pejabatnya, lalu aku dan Puji mengernyit dalam.

"Bininya pejabat itu yang rambutnya selalu disasak kan? Yang suka nyinyir di sosmed kalau dikomentarin?"

"Iya. Bayangin gue kemaren dengerin dia ngoceh selama hampir empat jam ngomongin gaun. Anaknya aja diem aja dengerin dia. Sinting. Teganya Bu Maria ngasih gue mereka."

Puji nyengir.

"Pantesan lo yang dapet proyek ini. Selain karena kita berdua belom kelar, lo juga yang paling sopan diantara kita bertiga. Bayangin kalau gue atau Nina yang dapet. Bisa nggak jadi bikin gaun di sini dia." Aku tertawa, dan Aline ikut tertawa.

"Ya udah, daripada lo bete, kita keluar makan es dulu yuk. Lo sibuk nggak, Ji?"

Puji menggeleng.

"Masih bisa gue beresin besok kok. Eh, ada kafe baru di simpang depan, cobain yuk."

"Yuk."

Tbc

Sorry baru update. Kemarenan udah ngetik, trus hasil ketikanku ilang, kayaknya karena error deh. Ini tiba-tiba muncul lagi secara ajaib, aku nggak ngertilah. Wkwkwk. Jadi akhirnya aku update deh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro