sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dan di sinilah aku, memasuki lobby dengan pelototan penuh tanda tanya oleh semua orang. Ini semua gara-gara Leon menghentikan mobilnya tepat di depan lobby. Dia langsung menyerahkan kunci mobilnya ke salah satu satpam. Setelah itu, dia melakukan kebiasaannya.

Dia membukakan pintu untukku dan menggandengku turun. Dan dia tidak melepaskan tangannya. Tidak melepaskan, saudara-saudara sekalian!! Jantungku udah jumpalitan nggak jelas sekarang. Jantung pengkhianat.

Semua orang di lobby, termasuk satpamnya, bengong melihat Leon menggandengku masuk. Bukannya gimana, tapi aku risih dilihatin kayak gitu. Apa segitu anehnya ya?

Ah, aku lupa. Leon kan ansos. Menggandeng perempuan ke kantor? Pasti pemandangan langka.

Dan penampilan kami agak timpang. Serius. Leon itu mengenakan pakaian kerja lengkap plus jas. Aku? Skinny jeans, kemeja kebesaran, sneakers, dan kacamata bundar. Agak timpang doang kan?

Dia tidak melepaskan tanganku bahkan sampai kami turun dari lift di lantai 25.

Seorang wanita cantik dengan pakaian kantor yang superketat tergopoh-gopoh menghampiri kami- lebih tepatnya menghampiri Leon.

"Ini berkasnya, Pak. Pak Mulya dan anak keuangan yang lain sudah menunggu di ruang rapat."

"Kilian?"

"Dalam perjalanan."

Aku mengerjab pelan, mendengar nama kembaranku disebut. Seperti namaku yang panjang, nama Terry juga panjang. Kilian Akira Terry Hanafi. Nama panggilannya Terry, tapi nama formalnya Kilian.

"Tidak ada kesalahan lagi lain kali, Marsha."

Suara Leon benar-benar dingin dan kaku. Seram sekali. Untung saja bukan bicara denganku. Wanita itu menunduk takut dan menjawab Leon dengan suara lirih.

"Ya, Pak."

Lalu Leon menoleh padaku, yang membuat wanita cantik itu, yang kuduga sekretarisnya, ikut menatapku. Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu mendengus pelan.

Kurang ajar.

Mentang-mentang aku cuma pakai skinny jeans dan kemeja kebesaran.

"Nin, yuk."

Leon kembali menggandengku dan membuka salah satu pintu di depan kami.

"Ini ruangan gue. Lo tunggu di sini ya. Kalau perlu apa-apa, minta sama Marsha."

Aku menggumam mengiyakan, sementara mataku sibuk mengamati ruangan Leon.

Leon melepaskanku dan keluar dari ruangannya. Begitu pintu tertutup, aku mulai berjalan mengelilingi ruangan ini.

Ruangan ini cukup besar, dengan didominasi warna kayu yang hangat. Pasti sangat nyaman bekerja di ruangan ini. Dindingnya dilapisi karpet yang cukup tebal, dengan jendela besar di salah satu sisinya. Persis di depan jendela terdapat meja kayu besar dan kursi yang kutebak sebagai meja kerja Leon. Aku menyusuri pinggiran meja itu dan menyentuh plakat nama Leon.

Leonardo Putra Barata
Chief Financial Officer

Dia benar-benar CFO. Aku mendesah pelan, lalu menyadari betapa rapinya mejanya. Lalu aku mencoba mengingat-ingat, kondisi mobilnya juga bersih dan rapi. Aku jadi penasaran, kira-kira kamarnya rapi tidak ya? Memikirkannya saja membuatku terkekeh geli.

Nina, mikir deh. Dalam kondisi apa lo bisa masuk ke kamarnya? Lo kan cuma temen, batinku mengingatkan. Sial.

Aku duduk di salah satu sofa yang biasanya dipergunakan untuk menerima tamu, lalu mengeluarkan buku sketsa dan pensil. Untung saja aku membawanya, kalau tidak, aku pasti mati bosan.

Aku tidak sadar berapa lama aku tenggelam dalam sketsaku, dan begitu sadar, aku terhenyak.

Setelah sebulan yang lalu aku menggambar tato wajah singanya, sekarang aku menggambar wajah pemiliknya. Dan setelah kupikir-pikir, kok hasilnya bagus ya?

"Itu gue?"

Aku terlonjak kaget saat mendengar suara Leon tepat di sebelah telingaku dan dengan mendekap buku sketsaku, aku menoleh. Leon menegakkan tubuhnya dan menatapku tajam. Seketika aku merinding ngeri.

"Lo- lo udah kelar?"

"Udah. Itu gambar gue?"

"I- eh bukan!!" Aku menggeleng panik. Malu gila.

Leon menengadahkan tangannya padaku dengan gaya meminta.

"Biar gue yang pastiin sendiri."

Aku melangkah mundur dan membekap bukuku erat-erat di dada.

"Nggak."

Leon terus bergerak maju mendekatiku dan aku makin mundur. Jujur saja aku merasa begitu terintimidasi olehnya. Rasanya aku seperti mangsa yang berhadapan dengan predatornya.

Aku nggak tau ke mana aku melangkah, saat tiba-tiba kakiku sudah terantuk meja kerja Leon. Sial.

Leon memerangkapku di antara tubuhnya dan meja. Matanya menatapku tajam, sorot matanya begitu menuntut.

Kenapa dia segitunya sih?

"Kenapa lo gambar gue?"

"Gue- bukan gambar lo."

"Look at my eyes and say that again."

Sialan.

Aku melotot saat menatap matanya yang berwarna gelap itu.

"Iya, gue gambar lo. Gue nggak tau kenapa gue gambar lo. Tiba-tiba udah jadi."

Aku pikir, setelah aku menjawabnya, dia akan melepaskanku. Ternyata tidak. Leon semakin merapatkan tubuhnya denganku, sehingga lengan yang memeluk bukuku bersentuhan dengan dadanya.

Jantungnya berdebar sangat kencang, sampai rasanya dadaku sakit sekali. Aku berusaha mendorongnya menggunakan lenganku, tapi dia bergeming.

Perlu dicatat, Leon itu lebih besar dan berotot daripada Terry. Sama Terry aja aku kalah, apalagi sama Leon. Kurasa, kalau dia berniat menjadikanku rempeyek goreng, bisa banget.

Oke, aku salah fokus.

Aku mendongakkan wajahku dan menatap matanya. Keputusan yang sangat salah. Ternyata wajahnya begitu dekat dengan wajahku, sampai-sampai aku bisa merasakan nafasnya yang wangi mint menerpa wajahku.

Namun tiba-tiba dia tersentak dan menjauhiku. Tak bisa kupungkiri, aku kecewa. Sesaat tadi kukira dia akan menciumku. Dan sekarang aku merasa dadaku sakit. Entah kenapa, rasanya seperti ditolak.

Leon kan memang bukan suka sama lo. Masa lo ngarep dia cium lo?

"Apa-" Leon berdeham pelan sebelum melanjutkan kata-katanya, gestur tubuhnya terlihat agak salah tingkah.

"-lo suka sama gue?"

Hah?!

Aku mengerjabkan mataku bingung mendengar pertanyaan paling aneh hari ini.

Dia nanya aku, apa aku suka sama dia? Seriusan???

"Lo yang bener aja. Di mana-mana itu cowok yang bilang suka, bukan cewek. Lo nanya kayak gitu, bikin gue tersinggung tau nggak? Lo mau merendahkan gue? Kalo gue jawab gue suka, tapi lo malah suka sama cewek lain, terus gimana? Hah?"

Leon ternganga mendengarku nyerocos.

"Tunggu dulu. Lo bilang apa tadi? Gue suka sama cewek lain?"

"Iya!!" Entah kenapa aku jadi pengen marah. "Lo kan lagi suka sama cewek entah siapa gitu! Kalo lo beneran suka sama dia, kejar aja sana! Lo keren kok, dan lo oke. Nggak usah khawatir dia bakal nolak lo. You are irresistible." Aku merasa sedang menyayat hatiku sendiri, tapi aku senang karena berhasil menumpahkannya.

Leon menatapku seakan aku adalah alien.

"Lo nggak tau kalau cewek yang gue suka itu lo?"

"Iya, gue nggak tau siapa cewek itu! Siapapun cewek itu, dia bakal sangat beruntung dapetin- tunggu dulu, lo ngomong apa barusan?"

"Gue suka sama lo. Cewek itu lo."

Aku mengorek telingaku, mengira aku salah dengar, tapi begitu dia mengulanginya sekali lagi dengan jelas, aku ternganga. Aku? Aku? AKU???

Besok gue potong tumpeng.

"Gue???"

"Iya, lo."

"Bohong."

"Gue nggak mungkin bohong. Nggak untuk hal sepenting ini."

Leon mendekatiku lagi, dan jantungku langsung deg-degan. Beneran aku?

"Boleh gue peluk lo?"

Tanpa sadar aku mengangguk, otakku seperti belum mampu memproses informasi ini. Seriusan aku??

"Iya, kamu, Nina."

Leon menyentuh lenganku, dan membimbingnya ke pinggangnya yang ramping. Buku sketsaku ditaruhnya di atas meja kerjanya. Lalu dia meraih bahuku, dan merangkulku lembut. Dengan canggung aku melingkarkan lenganku di pinggangnya dan menempelkan kepalaku di dadanya. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungnya yang kencang, seirama dengan jantungku.

Leon mengusap punggung dan belakang kepalaku dengan lembut.

"Aku suka denganmu sejak pertama kali mendengar tentangmu dari Terry. Saat itu aku belum tau aku menyukaimu, aku hanya merasa tertarik dengan kembaran Terry yang serampangan. Bagaimana kelakuan absurdmu saat SMP, bagaimana kalian menghadapi kehilangan orang tua berdua, bagaimana mandirinya kamu saat sendirian di Melbourne. Tanpa sadar aku selalu menunggu cerita tentangmu. Dan saat pertama kali melihat fotomu dari Terry, aku tahu, aku jatuh hati."

Jantungku berdegup semakin kencang. Ini beneran kan? Bukan mimpi kan??

"Satu-satunya yang kutakutkan hanyalah kamu menolakku, pria yang menyukaimu tanpa bertemu terlebih dahulu, dan suka men-stalk media sosialmu. Sounds creepy, right? So, I hide that for myself. Dan seperti yang kamu pasti tahu, aku ketahuan."

"Ya."

"Terry pasti cerita kan, kalau Oliv menemukan fotomu di ponselku."

"Foto cewek, iya. Aku tidak tahu itu aku."

Leon terus mengusap punggungku, membuatku begitu nyaman. Aku merasa seperti bermimpi. Mimpi indah.

"Lalu, mereka bersekongkol, dan kita dikenalkan. Terry selalu bilang denganku, berteman dulu aja. Tidak ada ruginya. Dan dia benar. Aku merasa beruntung berteman denganmu. Kamu asyik dan sangat cerewet."

"Maaf deh kalo aku cerewet," sahutku sewot. Sebel aja tiba-tiba dibilang cerewet. Buyar sudah mimpi indahnya.

Aku merasakan dada Leon berguncang karena tawa.

"Nggak apa-apa kok. Aku suka kamu yang cerewet. Aku suka kamu satu paket, kecuali kebiasaan merokokmu itu."

"Katanya satu paket."

"Merokok itu nggak sehat, Nina."

"Mm..."

"Semakin berteman denganmu, aku semakin suka denganmu. Kamu nggak sebanding dengan semua cerita Terry. Sampai aku takut, kamu menjauh kalau tahu aku suka denganmu. Tapi hari ini, kamu membuatku berani mengatakan ini semua."

"Kenapa begitu?"

"Karena ada kemungkinan kamu juga suka denganku."

Aku mengangkat kepalaku dan menatap matanya, jelas sekali aku mencoba menantangnya.

"Jadi kalau aku tidak keliatan mungkin punya rasa ke kamu juga, kamu nggak bakal ngaku?"

"Mungkin."

"Coward."

Aku tahu aku kasar, tapi aku tidak bisa menahan diriku untuk mengatakannya. Yang tidak kusangka, dia mengiyakan.

"Yes, I am."

Lalu Leon menangkup wajahku, membuatku tetap menatap wajahnya yang menatapku lekat-lekat.

"Aku lebih memilih membohongi perasaanku daripada harus menjauh darimu. Kamu bersikap begitu baik padaku, dan itu membuatku ingin selamanya begitu. Aku tidak akan tahan jika kamu tiba-tiba menjauh karena mengetahui perasaanku."

"Tapi sekarang kamu mengakui perasaanmu."

"Karena sikap kamu membuatku menginginkan lebih. Aku nggak puas. Aku serakah. Aku ingin kamu untukku sendiri."

Seharusnya itu kata-kata yang menyeramkan, karena begitu posesif, diucapkan dengan nada yang posesif juga. Tapi aku malah merona. Sial.

"Bagaimana kalau aku menginginkan hal yang sama?"

"Maksudmu?"

"Aku mau kamu untukku sendiri. Bagaimana?"

Tak kuduga, Leon malah tersenyum.

"Aku milikmu, Nina Hanafi. Sejak pertama kalinya aku mengenalmu, aku sudah milikmu."

Oh, shit. Aku nggak tahu gimana caranya menanggapi ini.

Saat aku kebingungan, Leon mendekatkan wajahnya dan mengecup dahiku lembut.

"Jadi, apakah kamu mau pacaran denganku?"

Aku mengangguk.

"Masih nanya lagi."

Aku menyurukkan wajahku kembali ke dadanya, sementara Leon mengeratkan pelukannya.

"Apa kamu suka sama aku?"

"Suka!! Ah, berisik ah."

Leon kembali terkekeh dan mengusap punggungku lembut. Kami berpelukan lama sekali. Dan aku sangat menyukainya. Campuran wangi sabun dan wangi khasnya sudah membuatku ketagihan.

Dia pacarku. Milikku. Sungguhan.

Tbc

Sorry for typos. Kali ini nggak ngecek lagi soalnya kelamaan nggak update.

Sekian dan terima kasih. Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro