sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak terasa sudah hampir sebulan aku berteman dengan Leon.

Berteman dengannya sangat menyenangkan. Serius. Dia mulai bisa bicara banyak denganku, tidak seirit dulu. Dia juga sangat sweet. Sejak malam nasi goreng gila itu, dia jadi rutin mengajakku makan malam dan mengantarku pulang. Saat dia tidak menjemputku, malamnya dia akan meneleponku hanya untuk memastikan aku sampai di rumah dengan selamat. Terry sampai terbahak-bahak saat aku cerita padanya. Katanya aku dan Leon kayak pacaran. Tapi pelototanku selalu berhasil membuat Terry diam.

Teman rasa pacar. Hah!!

Kalau tidak ingat si Leon ini cinta sama seorang cewek yang sampai sekarang aku nggak mau tahu siapa orangnya, mungkin aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri. Seriusan.

Sekarang saja rasanya tidak rela kalau nantinya dia punya pacar, terus dia sibuk sama pacarnya. Nanti aku gimana?

Lho, kenapa aku jadi kedengaran kayak istri tua yang nggak rela dimadu? Grr.

Aku meregangkan badanku dan berniat ke taman tempat nongkrongku di bridal ini. Aku mengambil ponsel, rokok, dan pemantik dari tas dan berjalan menuju taman.

Aku baru sadar, satu kotak rokok ini tidak habis-habis sejak dua minggu yang lalu, padahal biasanya aku menghabiskan satu kotak seminggu. Aku bukan perokok berat, tapi tetap saja, ini pencapaian besar. Semua gara-gara pria itu.

Aku duduk dengan santai menikmati semilir angin, berdua dengan rokokku, dan ponselku memutarkan lagu random dari playlistku.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak melakukan ini. Merokok sendirian, menikmati hijaunya daun dan angin yang berhembus.

"Karenina?"

Sial. Baru juga mulai menikmati, Ibu Bos nongol.

Bu Maria mendekatiku, dan aku buru-buru mematikan rokokku yang masih separuh. Separuh!! Aku nangis.

Tapi mau tidak mau, soalnya Bu Maria kan tidak muda lagi. Nanti kalau dia jadi perokok pasif terus mati gara-gara aku, gimana?

"Lagi jenuh?"

"Sedikit, Bu. Cari angin bentar," jawabku sambil nyengir. Bu Maria manggut-manggut.

"Iya, jangan dipaksakan kalau lagi suntuk. Nanti hasilnya malah tidak maksimal," kata Bu Maria. Aku mengangguk setuju.

"Perkembangannya sudah sampai mana?"

Aku menjelaskan perkembangan pembuatan gaunku, yang didengarkan dengan seksama oleh Bu Maria dan sesekali beliau memberikan tanggapan dan masukan untukku.

Cukup lama kami mengobrol di sana, dan Bu Maria menyelesaikan obrolan kami begitu melihat jam tangannya.

"Sudah jam makan siang. Ibu pergi dulu, sudah janji makan siang dengan suami."

"Iya, Bu. Salam untuk Pak Arya."

"Terimakasih. Kamu juga makan siang sana."

Bu Maria berdiri dan berjalan ke arah pintu, namun di pintu dia berhenti.

"Lho? Leon kan? Ada apa ke sini?"

Aku mengejang kaget, berharap aku salah dengar, tapi sayangnya harapanku tidak terkabul. Suara itu, suaranya Leon.

"Tante Maria. Aku mau bertemu Nina."

"Nina? Oh, Karen? Silakan," kata Bu Maria. Raut wajahnya terlihat terkejut, namun beliau menyingkir dari pintu, memberi jalan kepada Leon. Begitu Leon melangkah keluar, Bu Maria tersenyum dan masuk kembali ke bridal, meninggalkan kami berdua.

"Kok lo nongol siang-siang? Biasanya kan malem."

"Gue habis ketemu klien deket sini. Sekalian."

"Kok lo masuk? Tumben? Apa lo chat gue?" Aku mengecek ponselku, dan tidak ada pesan dari Leon.

"Gue disuruh turun aja sama satpam. Katanya lo biasanya nggak liat hp kalo kerja."

Dasar Mang Jul, keluhku dalam hati. Mamang Satpam satu itu pasti sudah hapal mobil Leon yang biasa menjemputku.

"Lo kok tau gue di sini?"

"Dikasih tau. Katanya kalau lo nggak di studio atau pantry, pasti di taman."

"Siapa yang kasih tau?"

Aku tinggal berharap kalau itu bukan Puji atau Aline. Kalau iya, pasti mereka heboh.

"Perempuan. Rambutnya warna abu-abu."

Ah, Ita. Aman.

"Jadi, lo mau ngajak gue makan siang?" Leon mengangguk.

"Oke, bentar gue ambil tas dulu."

Aku menyambar ponsel, bungkus rokok, dan pemantikku dari kursi, dan memasukkannya ke saku. Aku bisa merasakan tatapan Leon pada kotak rokokku, tapi ya sudahlah. Yang penting aku tidak merokok di depannya kan?

"Lo habis ngokar?" Aku mengangguk.

Lalu tiba-tiba dia bergerak mendekatiku, membuat jantungku langsung berdetak tak karuan. Wanginya, aduh. Padahal hanya wangi sabun, tapi entah kenapa jadinya begitu menggoda- Nina, stop!!

Dia mendekatkan wajahnya dengan wajahku, membuatku otomatis memundurkan wajahku. Aku yakin wajahku pasti sudah semerah tomat busuk, soalnya panas banget.

"Tapi nggak bau-bau amat. Berapa banyak?"

"Se-" aku berdeham pelan untuk mengembalikan suaraku yang tercekat. "Separuh batang doang."

"Kenapa separuh?" Leon menjauhkan tubuhnya dariku dan aku langsung menghirup nafas banyak-banyak. Ternyata tanpa sadar aku menahan nafas tadi.

"Soalnya Bu Maria tadi tiba-tiba datang pas gue ngokar. Jadi gue matiin."

"Oh.."

"Gue- gue ambil tas dulu. Tunggu di mobil."

Tanpa menunggu jawabannya, aku segera berlari menuju studioku. Begitu pintu studio kututup, aku duduk merosot sambil mengatur nafasku yang terengah-engah.

Gimana caranya aku bisa bertahan temenan sama Leon kalau begini melulu?

Ditambah lagi, dia cuma nganggep aku teman. Aku nggak boleh baper. Aduh.

Jantungku nggak kuat.

***

Aku duduk manis di mobil Leon, dengan usaha keras untuk mengabaikan apa yang terjadi sebelumnya.

Tapi sulit.

Kenapa dia musti wangi banget sih??

Sepertinya hanya aku yang jadi salah tingkah, sementara dia biasa-biasa aja tuh. Sial. Aku nggak boleh nyerah.

"Makan apa kita?"

"Sate ayam. Doyan kan?"

Aku mengangguk. Namun begitu dia membawa mobilnya memutari bundaran HI, aku terbengong.

"Kok ke arah kantor lo?"

"Satenya di dekat kantor gue."

"Ngapain lo ajak gue kalo gitu? Kan lo bisa sekalian balik kantor abis makan."

"Kerjaan gue udah kelar hari ini. Abis makan gue anter lo terus pulang."

Aku mengernyit. Enak banget dia.

Leon memarkir mobilnya, dan membukakan pintu untukku turun. Seperti sebuah kebiasaan, aku selalu menunggunya membuka pintu untukku. Aku jadi manja banget gara-gara dia. Gawat.

Aku berjalan di depannya memasuki area rumah makan yang cukup ramai itu dan duduk di salah satu bangku kosong di sana, tepat di sebelah segerombolan anak kuliahan.

Begitu Leon duduk di depanku, aku bisa langsung merasakan tatapan segerombolan cewek kuliahan itu. Dengan perlahan mereka melirik ke arahku dan Leon bergantian. Seriusan, bukannya aku kegeeran, tapi itu kentara sekali.

Aku menoleh dan mataku bertemu pandang dengan salah satunya, lalu aku melotot dengan isyarat, apa lo liat-liat?

Dia tersentak kaget, mungkin tidak menyangka aku akan membalas tatapannya dengan galak begini, tidak sesuai dengan wajahku yang imut-imut. Dia langsung menundukkan wajahnya, sementara teman-temannya menatapku dengan senyum canggung dan wajah segan.

"Kenapa?" tanya Leon tiba-tiba, lalu aku kembali menoleh padanya dan nyengir lebar.

"Nggak apa-apa."

Leon tidak bertanya lagi, dan menyodorkan lembar menu.

"Sate ayam?"

"Oke."

"Sop buntut?"

"Pesen aja. Tar gue makan dikit, sisanya lo abisin ya."

"Nasi satu?"

"Ya."

"Es jeruk?"

"Nggak. Teh aja."

"Ok."

Leon menyerahkan kertas pesanan kepada pelayan, lalu kami mengobrol sambil menunggu pesanan. Lebih tepatnya, aku bercerita sementara dia mendengarkan. Selalu seperti itu. Setidaknya, dia mau menanggapiku, dan kadang-kadang, kalau lagi berdua, dia bisa bercerita sedikit.

Kami bahkan terus mengobrol selama makan, dan aku menyelesaikan makanku lebih dulu. Bukan karena aku makannya cepat, tapi dia menungguku menyelesaikan sop buntutnya dulu, baru dia makan. Alasannya simpel, aku nggak suka pedas, tapi dia cinta berat sama cabai. Jadi dia membiarkanku makan dulu, lalu setelah aku berhenti makan dan menyorongkan mangkuk ke arahnya, dia mencampur tiga sendok cabai ke dalam sop buntut yang sudah sisa separuh itu.

Orang gila.

Aku memperhatikannya yang sedang asik dengan sop buntutnya tanpa terlihat kepedasan sama sekali.

Apa saat ini aku sama dia keliatan kayak orang pacaran?

Pasti nggak. Leon kelihatan sekali seperti orang kantoran, dan aku kayak anak kuliahan semester awal. Mana aku pakai kacamata bundarku pula. Cih.

Udah ah, ngelantur melulu daritadi.

Saat Leon akhirnya menyelesaikan sopnya, ponselnya berdering nyaring.

Leon melirik ponselnya dan mengangkatnya.

"Ya?"

Aku mengernyit mendengar nadanya. Tidak ada basa-basi, serius, dan tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Dingin banget. Aku bergidik sendiri mendengarnya.

"Bagaimana bisa tiba-tiba begini?"

"Siapkan berkasnya. Lima menit lagi saya sampai. Lain kali tidak ada kesalahan seperti ini lagi, Marsha."

Aku bergidik. Untung saja bukan aku yang di seberang teleponnya. Dia tidak kelihatan marah tapi nadanya menusuk sekali.

Leon menutup teleponnya dan menatapku dengan tatapan minta maaf.

"Sorry, gue harus balik bentar ke kantor."

Leon melirik jam di tangannya, lalu kembali melihatku.

"Lo ikut gue ke kantor bentar ya. Nanti gue anterin balik."

Aku buru-buru menggeleng.

"Nggak usah, ribetin lo. Mending gue balik sendiri aja. Lo kerja aja."

"Nggak. Lo balik bareng gue. Gue yang mintain izin ke tante Maria."

Apa?? Tidak!!

Leon meraih ponselnya kembali dan aku buru-buru mengambil ponselnya.

"Nggak!! Gue aja yang minta izin."

"Oke, beres kalau gitu. Yuk."

Leon pergi membayar makan siang kami dan aku baru sadar, aku kena jebakan.

Sekarang aku terpaksa ikut dia balik ke kantornya. Sial.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro