- Drie - Het Eerste Slachtoffer, Juffrouw Mariana Bregsma (Korban Pertama)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau tahu, Mala, rasanya aneh jika aku terus melihat pribumi melayani keluargaku. Tapi, menurutku tidak ada salahnya dengan pribumi. Aku menyukai mereka, juga menyukai pakaian adat kebaya yang selalu dipakai mereka. Sama sepertimu."

Nirmala tersenyum ramah menanggapi seluruh perkataan Maria. Kini mereka sedang menikmati ilalang dan perkebunan tepat di atas papan kayu untuk menutupi sumur.

"Apa yang kamu tahu soal Nusantara, Maria?" tanya Nirmala melirik jepit bunga tulip yang terselip di rambut pirang Maria. Bunga yang menjadi icon dari tanah Nederland.

Maria mengembungkan pipi, melirik ke arah perkebunan kopi dan gunung yang menjadi objek penglihatannya saat ini.

"Nusantara itu asik. Aku menyukai banyak gunung, matahari, hujan, dan tidak ada musim dingin. Kau tahu, Mala, setiap perayaan Natal aku selalu memilih diam menikmati cokelat panas daripada main salju di luar rumah. Di sana jarang sekali aku melihat matahari secerah di sini."

Nirmala tersentuh. Mungkin ia juga baru menyadari betapa besar keagungan mahakarya Tuhan yang dilimpahkan kepada tanah Nusantara. Mengapa ia justru tidak sadar, begitu banyak kekayaan ibu pertiwi yang kini malah dieksploitasi bangsa asing. Bangsa Maria. Gadis berambut pirang itu meraih tangan Nirmala. Nirmala yang masih berkutat dengan pikirannya menyentakkan tangan Maria kasar, membuat tubuh Maria terperosok papan kayu yang sudah lupuk menutupi sumur. Nirmala terkejut, bahkan ia tak sempat mengulurkan tangan saat Maria sudah tertelan mulut sumur.

"Maria!"

Gadis itu segera melihat ke dalam mulut sumur, dan naasnya, Maria sudah tidak tertolong dan tewas mengambang di atas air sumur. Nirmala menutup mulut menjauh, merasa tidak percaya dengan apa barusaja ia lakukan. Membunuh. Dia seorang pembunuh. Nirmala menggeleng keberatan, ia terus membela diri bahwa itu adalah sebuah ketidaksengajaan.

"Mariana! Maria kau dimana!"

Tak berselang lama seorang wanita memanggil nama Maria dari arah rumah di dekatnya. Nirmala menoleh, itu Ibu Maria. Wanita dengan pakaian ala negara Nederland itu berlarian memanggil dan mencari Mariana Bregsma. Ia terus mencari kesana kemari hingga akhirnya matanya tertuju pada sebuah sumur yang semula tertutup kini terbuka dengan kayu berserakan dimana-mana. Jantung wanita itu berdebaran keras, ia berlari menuju sumur dan menemukan gadis kecilnya sudah mengambang dengan posisi telungkup.

"Mariaaa...!!!"

Mendengar jeritan disertai tangisan wanita Belanda di hadapannya, Nirmala membekap mulut tidak percaya. Ia berjalan mundur, kemudian berlari tunggang langgang ikut menangis tersedu dengan apa yang dilakukannya barusaja. Tak henti-hentinya Nirmala menutup telinga dan menggeleng ketakutan saat Ibu Maria berteriak meminta pertolongan dengan berurai airmata. Tidak la kemudian datanglah beberapa pria bisa bertubuh tinggi berkulit putih kemerah-merahan untuk membantu Ibu Maria mengangkat anaknya yang sudah terbujur kaku di dalam sumur.

Di kejauhan Nirmala terus saja menjerit tidak terima. Penglihatannya mulai terbayang wajah ceria Mariana Bregsma, kemudian jeritan kesakitan Ibu dan Ayahnya dulu.

"Bu-bukan aku yang membunuh Maria. Bukan, bukan aku. Siapapun, tolong, jangan biarkan aku menjadi seorang pembunuh! Aku menyesal! Bukan aku, Maria!"

"Bagaimana mungkin kau merasa tidak bersalah, Nirmala. Kau lah pembunuh sesungguhnya."

Nirmala tersentak, gadis itu kembali dikejutkan dengan suara iblis mengerikan yang kini melayang mendekat ke arahnya. Nirmala menyeka mata, melirik tajam kedatangan mahluk tak diundang itu.

"Tinggal sembilan belas nyawa lagi, Mala. Ingat, bukankah kau dulu menyimpan dendam kesumat pada Belanda? Selamat. Kau barusaja membuka gerbang pembalasan."

"Diamlah, Iblis!" Nirmala menatap nanar Iblis di hadapannya, "Puas? Sekarang kau puas?"

Iblis tertawa, "Seharusnya aku yang bertanya itu, anak kecil! Apa kau puas membunuh anak Belanda? Ingat Ayah dan Ibumu dulu!"

Nirmala terdiam. Pikirannya kembali ditarik ke masa dimana debuman pistol itu terjadi di depan matanya. Ayah dan Ibunya, serta jeritan tangis para pribumi di tanahnya sendiri. Tanah Nusantara, Hindia Belanda seharusnya jatuh ke tangan pribumi. Bukan ke tangan pendatang.

"Pikirkanlah matang-matang, Mala. Kau itu seharusnya sadar, Nusantara terlalu ramah dan baik menerima kedatangan mereka. Itu sebabnya kau dan keluargamu menderita akibat keserakahan monopoli mereka sekarang. Nusantara sudah menjadi layaknya bidak catur. Ibarat pribumi menjadi pemain, serta Belanda menjadi dalang pengendali. Sekali lagi, aku tanya padamu, apa artinya menjadi orang baik? Di tanah sendiri? Pada tamu yang jelas-jelas membawa bom penderitaan sebagai buah tangan pada pribumi."

"Aku tahu, Iblis." Nirmala memalingkan mata ke arah Maria yang telah berhasil diangkat dan sudah tidak bernyawa, kemudian ke arah Ibu Maria yang pingsan tak sadarkan diri. Pikirannya menerawang, membiarkan segala asumsi yang terus menghujami pemikirannya. "Kami para pribumi berusaha menjadi pribadi yang baik dan ramah. Bukan untuk tertindas dan dijajah. Seperti leluhur kami. Nusantara bobrok bukan karena kebaikan, justru karena kelemahan. Dan kelemahan itulah, pribumi yang senang hati menerima orang asing menjajaki tanah Hindia Belanda ini."

"Jadi? Apa yang selama ini kau rasakan, kau lihat, dan kau lakukan pembunuhan ini bisa kau simpulkan? Hei, anak Adam," Sang Iblis berdecak panjang, mengelilingi tubuh kecil Nirmala, "di dunia ini hanya ada dua pilihan bertolak belakang. Baik atau buruk. Takut atau berani. Mengalah atau bertarung. Dan," Iblis berbisik tepat di telinga gadis itu, "disakiti atau menyakiti. Ditindas atau menindas. Mana yang seharusnya kau pilih."

"Menyakiti." jawab Nirmala gemetar, berusaha menahan airmatanya yang terus merembes.

"Tapi sayang, bangsamu malah memilih menjadi orang baik, yang takut, dan mengalah, berakhir disakiti kemudian ditindas habis-habisan oleh bangsa kelas satu di tanahmu sendiri. Bangsa Belanda."

"Tidak." Nirmala menggeleng, hati dan pikirannya mulai diselimuti emosi yang meluap-luap.

"Bagaimana dengan para pendatang yang tentu saja lebih cerdas, memilih untuk bersikap buruk, berani, bertarung demi kekuasaan dunia dan menyakiti serta menindas pribumi. Apalagi yang kau pikirkan, Nirmala? Rasa kasihan, rasa bersalah, atau penyesalan?"

"Aku mengerti, Iblis. Aku mengerti." gadis itu tersenyum ironi, "mengapa aku tidak menyadari sedari dulu. Menunggu pembalasan Tuhan sama saja menunggu kau mati terlebih dulu. Hei, Iblis, kau mengajakku berkompromi apa kau tidak akan rugi?"

"Tidak, gadis kecil."

"Lantas?"

"Aku memiliki keuntungan darimu." Sang Iblis tertawa terbahak, melayang jauh hilang tertelan awan hitam.

Nirmala menunduk, matanya kembali melirik kerumunan orang Belanda yang sibuk melihat tempat kejadian Mariana Bregsma tewas. Sudut bibirnya tertarik pelan, mengindahkan raungan tangisan batinnya yang terkalahkan karena nafsu dendam pembalasannya pada Belanda. Gadis kecil itu berjalan angkuh, meninggalkan kenangan sesaat bersama Mariana Bregsma.

"Menyakiti atau disakiti. Bedebahnya aku memilih untuk menyakiti. Selamat tinggal, Juffrouw Mariana Bregsma."

*

Suburnya tanah Hindia Belanda menjadikan para petinggi kolonial Belanda berinisiatif untuk melakukan sistem tanam paksa di setiap wilayah yang sudah mereka anggap pantas dijadikan patokan menanam semua jenis tumbuhan, seperti teh, kopi, dan rempah-rempah lain. Mereka menggunakan media pribumi sebagai alat produksi yang akan mereka gaji jika tanaman tersebut berhasil panen dan unggul. Begitu banyak lansia, wanita, bahkan remaja dan anak-anak mereka pekerjakan dengan paksa. Tidak sedikit suara debuman pistol terdengar di setiap ladang yang ketat diawasi oleh beberapa tentara Belanda di setiap harinya.

Pagi ini, semua pekerja baik para kuli dan pengawas menyambut kedatangan Jenderal besar baru mereka, yaitu Sir William Van Johan. Anak dari Jenderal besar Sir Torres Van Johan. Jenderal termuda yang pernah menjabat di tanah Verlaten Eiland, Hindia Belanda. Sosoknya begitu terlihat angkuh dan berkarisma saat dirinya turun dari pacuan kuda hitamnya. Pakaian militer begitu melekat di tubuhnya. Gagah dan tampan. Sempat beberapa wanita dan anak perempuan di sana berbisik ria saat menyambut kedatangan anak si Tuan Besar itu. Bahkan tak sedikit dari mereka menyayangkan diri jika saja Nirmala, gadis kembang desa yang dikabarkan tewas itu tidak sampai melihat pria berwajah malaikat yang kini berjalan tegap wibawa lalu berhenti di hadapan mereka.

"Selamat pagi, Sir." seorang pria berambut blonde berpakaian militer itu menyambut, memberi hormat kepada Tuan Besar itu.

Tuan Besar membalas hormat, "Selamat pagi, Mr. Phillips."

Phillips tersenyum, "Anda sudah siap mendapat mandat dari Ayahanda, Tuan Johan?"

"Sudah. Aku mengerti apa yang harus aku lakukan."

"Anda yakin, Sir? Yang saya tahu, anda sedikit memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi." Phillips mengernyit ragu.

"Saya tidak pernah menyepelekan sesuatu usaha yang dilakukan Tuan Johan, Phillips. Dia hanya sedikit trauma dengan desa ini." Pemuda tampan itu menyapu pandangan ke sekeliling pekerja tanam paksa di hadapannya. Matanya yang tajam melirik sengit ke arah salah satu wanita yang terus saja berbisik dan mengobrolkan dirinya. Walaupun pemuda itu tidak fasih berbahasa tanah pribumi, tapi dia bisa sedikit-sedikit mengerti apa yang dibicarakan sekumpulan wanita-wanita itu.

Melihat Sang Tuan Besar sudah sangat tidak sabar untuk menyelesaikan pekerjaannya, Phillips bergegas menyerukan para pekerja untuk memulai pekerjaannya. Semua pekerja merasa terkejut dan kaget, mereka membubarkan diri dengan sesekali melirik si Tuan Besar yang sedang berjalan-jalan melihat kinerja mereka yang tiba-tiba begitu bersemangat. Menyadari itu, Phillips menyayangkan pergantian Jenderal Torres yang sebelumnya memimpin daerah A Verlaten Eiland. Jenderal Torres memang sangat tidak berperikemanusiaan dalam mengawasi para pekerja yang lalai dan lemah. Tidak seperti anaknya, William.

*

Debuman pistol seakan lenyap di telinga para pekerja setelah tidak terasa bekerja begitu mereka merasakan matahari sudah berada di atas kepala. Rasa takut akan peluru yang bisa saja menembus bagian tubuh mereka ketika lengah dalam bekerja seolah sirna. Wajah-wajah letih dan lelah terganti dengan senyuman penuh semangat. Kadang mereka bersorak tertahan dalam hati menyadari Tuan Besar pengganti Jenderal Torres benar-benar bijaksana dalam memperlakukan pekerjanya.
Phillips yang selama ini melihat kinerja Jenderal William hanya bisa mengegeleng jengah. Kadang ia tidak tahan untuk membentak bahkan menewaskan salah satu di antara ratusan pekerja yang tidak becus dalam bekerja. Ia berpikir bahwa anak Jenderal Torres ini benar-benar tidak tegas dalam memimpin tanggung jawab sistem tanam paksa.

Phillips lebih memilih untuk diam dan terus mengawasi pekerja daripada mencampuri urusan si Tuan Besar yang kini berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sesekali ia melirik si Tuan Besar, yang ia tahu hanya tatapan tajam yang dilayangkan pada seluruh pekerja, mungkin itu cara mengintimidasi yang lebih dingin dan merupakan ciri khas dari seorang Jenderal William.

"Phillips."

Mendengar namanya dipanggil, lantas Phillips menoleh. "Ada apa, Neville."

Neville, pria bertubuh kekar dengan seragam tentara Belanda itu memberi hormat, lantas dibalas oleh Phillips. "Ada berita duka. Sepupumu, Mariana Bregsma ditemukan tewas sore lalu di dalam sumur tua."

Phillips dengan wajah tampan dan bengisnya semakin mengeraskan ekspresi wajahnya marah. "Apa maksudmu?"

"Sepupumu, tewas di dalam sumur dekat rumah."

"Siapa pelakunya? Apa pribumi?" matanya mulai mengedarkan pandangan ke seluruh pekerja tanam paksa di hadapannya.

"Aku tidak tahu. Mungkin, dia terperosok ke dalam sumur saat bermain." Neville mencoba untuk menenangkan amarah Phillips. Namun sepertinya gagal, Phillips terlebih dulu berjalan menuju Jenderal William meninggalkannya yang kini bingung mencari cara untuk meredakan amarah Phillips.

Jenderal William yang sedang sibuk dengan memperhatikan kesalahan-kesalahan pekerjanya mulai merasakan kedatangan seseorang dari arah belakang. Ternyata Phillips dengan gerakan cepat memberi hormat padanya.

"Lapor, Jenderal, sepertinya anda belum mendengar berita soal Mariana Bregsma yang ditemukan tewas di dalam sumur kemarin sore."

Jenderal William menatapnya tajam, "Lantas?"

"Saya benar-benar tidak bisa menerimanya. Dia, dia sepupu saya, Jenderal. Dia masih kecil." Phillips menatap Jenderal William kosong, "dan saya asumsikan bahwa pelaku dari tewasnya Mariana Bregsma adalah pribumi yang selama ini mengincarnya dan melenyapkannya. Jika bukan karena kecelakaan, lantas siapa lagi kalau bukan bangsa kelas kambing yang selama ini menyimpan dendam dan terus berusaha membalasnya dengan menjadikan anak-anak kompeni Belanda yang dijadikan media."

Mendengar penuturan Phillips, Jenderal William menatapnya tajam. "Bukan serta merta bangsa pribumi tidak melakukan kejahatan terhadap bangsa kita tanpa alasan jelas, Phillips. Bukannya Jenderal Torres sendiri yang sebelumnya sering melayangkan nyawa pribumi demi mendapat keuntungan tersendiri dari pribumi. Aku tidak ada urusan dengan meninggalnya sepupumu, Juffrouw Mariana Bregsma. Aku turut berduka cita."

Phillips menggeleng tidak mengerti, "Jenderal, maaf jika saya lancang, anda terlalu memikirkan rasionalisme dalam berperikemanusiaan di tanah pribumi. Apa anda tidak mengerti soal politik di atas bidak catur yang kita injak saat ini? Belanda, bangsamu, salah satunya tewas akibat serangan pribumi. Apa anda akan tetap bersikap biasa saja dan menanggapinya bukan masalah besar? Mereka, bangsa tingkat kambing itu sudah memberontak lewat caranya membunuh anak-anak Belanda."

"Dengarkan aku, Mr. Phillips," Jenderal William berusaha memelankan suaranya, "Selama kasus Mariana Bregsma masih bisa kita sebut dengan sebuah kecelakaan, dan kecerobohan orang dewasa dalam pengawasan terhadap anak-anak di linkungan pribumi, maka yang patut kita salahkan adalah tanggung jawab orangtuanya sendiri. Kau tidak perlu mengajarkanku soal rasionalisme, kemanusiaan, dan soal serangan pribumi pada bangsamu. Semuanya akan terlihat impas jika si pemilik jagat raya sudah berpihak memilih pribumi untuk menang."

Mendengar penuturan Sang Jenderal, Phillips semakin dibuat tidak mengerti dan hampir saja mengeluarkan kata-kata kasar sebelum dirinya berpikir ulang atau tidak, nyawanya bisa melayang karena telah memprovokasi si Tuan Besar di depannya.

"Jenderal, setidaknya, aku menginginkan keadilan mengenai meninggalnya sepupuku. Aku masih tidak terima."

"Apa keadilan yang kau inginkan, Mr. Phillips? Jika nyawa, sudah puaskah selama ini kau melayangkan ratusan nyawa hanya demi keuntungan dan meluapkan amarah tanpa alasan jelas? Apa pribumi memberontak lantas membuatmu terluka barang segores pisau? Tidak. Mereka menangis, meronta meminta kebebasan, merdeka di atas tanah sendiri, mereka juga menginginkan keadilan. Mereka tidak butuh nyawa darimu jika imbalan yang menjadi sebab maksud mereka. Mereka hanya ingin bebas, merdeka."

"Jenderal William bebas ingin berpendapat soal kemerdekaan mereka atau tidak. Itu hak dari seorang pemimpin. Tapi, aku tidak mau tewasnya sepupuku, Mariana Bregsmae menjadi awal dari sebuah akar permasalahan yang menimpa masa kepemimpinanmu saat menjadi Jenderal." Phillips menunduk, "Aku tidak bermaksud untuk berdebat dengan anda. Tapi, aku tidak akan segan-segan membela atas keadilan jika menyangkut masalah orang-orang yang saya cintai. Terima kasih sudah memberi ucapan bela sungkawa."

"Apa kau baru mengetahui kematian sepupumu itu, Phillips?" tanya Jenderal William kembali pada ekpresi biasanya, dingin dan datar.

"Ya. Saya sungguh terpukul. Semoga dia berpulang dengan damai dan di tempatkan di surga."

"Doa yang tulus." Jenderal William berdeham, "Kau boleh pergi melihat pemakaman Mariana Bregsma. Untuk pekerjaanmu, aku akan menyuruh Neville dan pasukanmu untuk mengawasi para pekerja. Pergilah. Aku turut berduka cita."

Phillips tertegun, mendongak setengah percaya mendengar izin kepergiannya melihat pemakaman Mariana Bregsma tanpa ia minta. "Anda yakin, Jenderal?"

Jenderal William mendengus, "Aku izinkan."

Seperti mimpi, kebaikan hati Jenderal William benar-benar membuat Phillips dilanda rasa tidak percaya. Mungkin saja, dia akan merasa kesulitan jika Jenderal Torres masih menjabat dulu saat berusaha meminta izin dari tugasnya. "Terima kasih, Jenderal."

Jenderal William mengangguk samar sebelum membalas hormat dari Phillips yang sudah siap pergi melihat jasad Mariana Bregsma dikebumikan.

Melihat kepergian Phillips, Jenderal William mulai berpikir untuk menguak siapa yang telah berani menyerang bahkan menewaskan sepupu dari keluarga militer kompeni Belanda. Tak sadar, ia melirik ke arah dimana rumahnya berada. Memikirkan Frans yang juga merupakan anak kecil yang bisa saja mendapat serangan dari serdadu pribumi secara diam-diam.

"Tidak bisa dibiarkan." ia bergumam tidak jelas sebelum akhirnya menyuruh salah satu pasukannya untuk memanggil Neville untuk menggantikan posisi Phillips dalam tugas pengawasan.

*

Sudah lama gadis berkebaya merah darah itu duduk di atas dipan rumah kayu miliknya. Sesekali ia mengayun-ayun kaki kecilnya yang tak sampai di atas tanah. Tujuh tahun. Usia dini yang dirasakannya dulu bersama mendiang kedua orangtuanya. Kehebatan ayahnya dalam berbisnis dan dagang telak membuat orang-orang Belanda percaya padanya. Tapi, ayahnya berkhianat. Pria itu sudah tidak kuat lagi jika membiarkan tanaman milik Nusantara dimonopolikan hanya demi menguntungkan bangsa kompeni. Dengan rencana yang dipikirkan secara matang, ayahnya sukses memanipulasi dan membohongi bangsa Belanda.

Bosan dengan memikirkan masa lalu mengenai ayahnya, Nirmala meloncat turun ke atas tanah memilih berjalan-jalan mencari keberadaan pribumi yang semakin sulit ia temukan setelah adanya kebijakan tanam paksa di desanya. Berjalan setapak, gadis kecil itu melewati beberapa rumah kayu reot yang sudah tidak bisa ditempati karena dihancurkan beberapa tentara Belanda setelah penyerangan akhir-akhir ini. Bukan Belanda, jika tidak bangsa eropa lain. Inggris yang berusaha mengambil alih tanah pribumi, karena batas waktunya habis, Belanda sigap menempati diri di atas tanah Nusantara.

Nirmala mendengus, matanya tak sengaja melihat beberapa pria berbalut seragam militer Belanda berjalan berlawanan arah dengannya. Lima orang. Mereka saling mengobrol ria membicarakan soal gundik-gundik sewaan mereka dalam bahasa Belanda. Nirmala yang sedikit tahu kosakata Belanda ikut mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.

"Tidak lama, Nyai Sri itu jatuh dan kusergap dia saat dia lengah." seru seorang tentara kompeni berambut cokelat, tertawa puas.

Sementara teman-temannya hanya berdecak kesal. "Dasar amatir."

"Semalam aku berplesir, biasa saja. Bahkan dia malah meminta bayaran lebih mahal dari biasanya. Menyebalkan." tentara kompeni berambut blonde mencebik kesal.

"Kasihan sekali." mereka semua tertawa pelan menanggapi ungkapan si tentara berambut blonde.

"Hai kau tahu. Seandainya nona Mariana Bregsma yang akan dikebumikan itu masih hidup sampai dewasa, pasti kecantikannya mengalahkan Ratu Wilhelmina." ujar seorang tentara berambut cokelat.

Tentara berambut merah menjentikkan jari, "Ah benar juga. Tapi, aku benar-benar bingung dengan kronologi kematian anak itu. Yang kupikirkan hanyalah sebuah kecelakaan, bukan serangan pribumi."

Mendengar soal kematian Mariana Bregsma, Nirmala semakin mempertajam pendengarannya.

"Aku yakin, Jenderal baru anak dari Jenderal Torres pasti segera melakukan pengamanan warga Belanda di tanah pribumi. Kau tahu, William itu lulusan akademi terbaik di Nederland. Pasti setiap keputusann yang diambilnya sangatlah akurat dan tidak main-main." tambah si rambut blonde.

"Benar juga."

"Tidak usah dipikirkan. Biarkan Jenderal William bertindak. Hari ini baru debut pertamanya bekerja sebagai Tuan Besar."

Lima tentara kompeni Belanda itu semakin berjalan menjauhi Nirmala menuju tempat Nona Mariana Bregsma dikebumikan. Mereka bertugas untuk menjaga keamanan selama pemakaman berlangsung.

Nirmala mendengus kasar, mengepalkan tangan kecilnya kuat hingga buku kukunya memutih pucat. Selintas, ia merasa menyesal telah membunuh Mariana Bregsma. Ia tidak berpikir bahwa dampak dari membunuh seorang anak kecil saja sudah menggemborkan hampir semua bangsa pendatang itu, termasuk pihak militer yang menganggap pribumi sudah menyerang mereka secara diam-diam dan sepihak. Terkadang di sisi lain, Nirmala ingin sekali melenyapkan kebahagiaan bangsa Belanda dan menghancurkan mereka dengan mengambil beberapa nyawa anak mereka.

"Apa salah aku membunuh anak mereka yang tidak berdosa, di saat mereka membabibuta membunuh ratusan rakyat pribumi yang sama tidak berdosa."

Nirmala terduduk lemas. Darah penuh dendam begitu berdesir keras hingga membuatnya sulit untuk berpikir jernih.

"Apa lagi yang kau pikirkan, Mala? Mereka sebenarnya hanya mengincar kejayaan lewat jalan pintas. Apa sebenarnya mereka kalah dengan negara tetangganya sendiri. Itu sebabnya mereka datang menyerang wilayah Nusantara? Mala, ayo berpikir!"

Ketika gadis itu berusaha berpikir keras, tak sengaja sebuah bola menggelinding tepat di tempatnya duduk. Merasakan sesuatu yang menyentuh kakinya, Nirmala mendongak. Seorang anak berkulit putih kemerahan berusia kisaran empat tahun berjalan ke arahnya.

"Hei, pribumi! Kembalikan bola miliku!"

Nirmala mengernyit, lantas berdiri menatap tajam anak kecil berambut cokelat kemerahan itu. Tidak lupa bintik-bintik hitam di kedua wajah lucunya. Anak Belanda.

Nirmala tersenyum sengit, "Kau siapa?"

"Aku Ronald Martinet." anak kecil itu membalas menatap remeh Nirmala, "Hei, pribumi kelas kambing, kembalikan bola ku bodoh! Aku ingin bermain sekarang!"

Nirmala berdecih, "Senang bertemu denganmu. Kau ingin bola ini, Mr. Martinet?"

"Jangan main-main denganku, pribumi!"

"Kalau begitu, ikuti aku."

Nirmala tersenyum bengis, berjalan meninggalkan Ronald yang masih tidak percaya bola miliknya diambil oleh pribumi. Dengan geraman marah anak itu mengikuti kepergian Nirmala, mengerjarnya sampai memasuki hutan tempat Nirmala bertemu Sang Iblis.

______

MALA BERAKSI!

VOTE+KOMENTAR?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro