- Twee - Culture Stelsel (Sistem Tanam Paksa)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

1830, Nusantara.

Karena ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dalam pemerintahannya, Gubernur Jenderal de Gisignies yang menjabat selama empat tahun itu mulai mengakibatkan munculnya perlawanan-perlawanan oleh pribumi. Seperti Perlawanan Sultan Palembang,  Perang Diponegoro, Perang Padri, dan perlawanan-perlawanan lainnya yang mengakibatkan terkurasnya kembali kas Belanda. Tidak tinggal diam, Belanda memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kas Belanda yang kosong. Akhirnya Belanda mengirim Johannes van Den Bosch.

Kemunculan Johannes van Den Bosch di Nusantara mulai memberlakukan kebijakan peningkatan produksi tanaman ekspor dengan sistem tanam paksa. Berikut adalah beberapa ketentuan pemberlakuan sistem tanam paksa:

1. Pribumi diwajibkan menyisihkan 1/5 tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor.

2. Untuk pribumi yang tidak memiliki tanah, maka diwajikan untuk bekerja kepada Belanda selama 66 hari.

3. Kelebihan hasil produksi Belanda dikembalikan kepada rakyat.

4. Kerusakan akibat gagal panen sepenuhnya dibebankan kepada rakyat.

5. Pengawasan dan penggarapan lahan dilakukan dan sampaikan melalui kepala desa.

Adanya kebijakan tersebut membuat warga desa diharuskan bekerja di bawah kaki tangan Belanda. Mereka begitu tersiksa hingga seringkali lupa terhadap kewajiban mereka sendiri untuk menjadi istri atau suami saat melupakan rumah untuk sekadar beristirahat. Tidak peduli jika sedang mengandung atau manula sekalipun, mereka dipekerjakan layaknya budak demi meraup penghasilan yang besar.

Nirmala merenung, memikirkan nasibnya jika dirinya masih hidup dan berada di dalam desa yang kini semua penduduknya terancam oleh kebiadaban bangsa Belanda. Ingatannya kembali pada saat eksekusi mati kedua orangtuanya tepat di dalam rumahnya. Aroma bau anyir darah membanjiri rumah tak gentar membawanya ke dalam gunung dendam pada pasukan Belanda saat itu. Ia tahu sekali, ayahnya melakukan kecurangan dalam berdagang karena ingin menghancurkan kejayaan bangsa Belanda. Ia ingin Nusantara merdeka. Meraih kejayaan dan bersatu bersama keberagaman. Namun, dirinya terpukul akan kesadaran, betapa bengisnya bangsa Belanda yang kini mempertaruhkan nasib Nusantara.

Udara gersang begitu menguar di luar sana. Kali ini gadis kecil bertubuh kisaran tujuh tahun itu duduk di atas dipan rumah miliknya. Dirinya tidak mungkin meninggalkan rumah yang selama ini menyimpan kenangan yang tak akan pernah dia lupakan. Termasuk kematian ayah dan ibunya. Ia menggeram tertahan, mengepalkan kedua tangan di atas paha. Menyedihkan sekali hidupku, batinnya terkuras amarah. Bahkan beberapa waktu lalu ia pernah dikejutkan dengan kehadiran seorang Jenderal besad Belanda yang akan merenggut kebebasan dan kebahagiaan warga kampungnya. Tentu saja, karena ulahnya pula Jenderal itu berhasil disingkirkan bersama ingatan-ingatan biadabnya terhadap pembunuhan yang mereka lakukan pada orangtuanya.

Pandangannya yang kosong tiba-tiba terhenti pada seorang anak kecil, tetangganya yang kini berusaha lari dari kejaran antek Belanda yang sedang memperkerjakan kedua orangtuanya. Keberadaan Nirmala tidak bisa dilihat seorang pria bertubuh jangkung dan berambut pirang, sedang menarik anak kecil itu yang kini meraung menangis meminta bertemu ibunya, dan hanya dalam satu kali letusan debuman menguar di udara, Nirmala menyaksikan peluru menembus dada sebelah kanan anak kecil tepat di depan matanya. Seketika anak itu melirik ke arahnya, menatap Nirmala seperti meminta pertolongan, detik berikutnya tatapan itu kosong beserta tubuhnya jatuh ditarik bumi. Tewas seketika.

"Dasar anak pribumi." pria itu meludah tepat ke arah anak kecil itu sebelum akhirnya pergi membiarkan mayat berlumuran darah kental itu tergeletak tak bernyawa. Matanya terpejam, dengan airmuka yang sangat menderita.

"Berengsek!" Nirmala merasakan darahnya mendidih tak kentara, mata seindah nirwana itu melirik sengit ke arah perginya pria Belanda itu. Pikirannya mulai mengingat kematian orangtuanya, kemudian anak kecil tetangganya yang menatapnya memohon pertolongan. Gejolak dendam mulai merongrong menyesakkan relung hatinya, dadanya terasa sakit. Sakit melihat penderitaan Nusantara saat ini. Benar-benar biadab, pikirnya bengis.

Ia pun bangkit dari duduk, berjalan ke arah bau anyir darah segar dari anak yang tidak berdosa di depannya. Darah perjuangan. Darah pemberontak. Darah ibu pertiwi yang kini menangis darah meminta kebebasan. Nirmala menyentuh pipi anak itu, yang dia tahu anak itu merupakan anak dari temannya di kampung ini. Tangannya beralih menyentuh dadanya yang terkena luka tembak. Nirmala memejamkan mata, tak kuasa melihat penderitaan Nusantara begitu jauh dari kata merdeka.

Tanpa membuang waktu, Nirmala berdiri meninggalkan mayat bersimbah darah itu. Bibirnya tersenyum sinis, menghilang kemudian lenyap dari pandangan.

*

Suara alunan melodi piano begitu menghiasi ruangan berornamen gaya khas eropa klasik saat seorang pria berumur dua puluh tiga itu memainkan tuts piano dengan lihai dan menjiwai. Rambutnya yang berwarna cokelat, mata kayunya yang terlihat teduh, tubuhnya yang tinggi, serta wajahnya yang tampan begitu menghipnotis siapapun kaum perempuan yang melihatnya. Termasuk para Nyai yang selalu silih berganti rela menawarkan diri padanya. Namun pria itu menolak semua tawaran Gundik-gundik itu dengan tegas. Sifatnya yang dingin membuat semua anggota keluarga termasuk para Gundik tertarik padanya. Keluarganya pun mengerti, pria lulusan  termuda di salah satu universitas di Belanda itu tidak mudah untuk diajak bicara. Ia lebih mementingkan sesuatu yang memang penting dan harus dipertanggungjawabkan daripada berfoya-foya membayar gundik hanya untuk memuaskan kenikmatan sementara.

Tidak berselang lama, seorang anak kecil berusia enam tahun berlari-lari kecil menuruni tangga, menghampirinya dan duduk di sebelah kursi panjang klasik di sampingnya. Berhadapan dengan tuts piano berwarna putih gading, anak kecil bermata biru itu mulai mengusik kegiatan kakaknya.

"Will, kau datang jauh-jauh dari Negeri Kincir Angin hanya untuk mengabaikanku bersama piano ini? Tanpa mengajakku? Tanpa mengajarkanku?"

Mendengar suara rengekan khas anak kecil di sampingnya, William, sang kakak tersenyum. "Sini kalau begitu," diraihnya kedua tangan anak kecil itu, menunjukkan kedua telunjuknya mengiringi menekan tuts piano dengan gerakan pelan. "Kau tahu, aku sungguh prihatin melihat dunia ini."

"Kenapa?"

Will tersenyum tipis, melanjutkan kembali permainan sederhana pianonya. "Aku tidak mau kau sampai sama sepertiku, Frans. Kau jangan sampai sepertiku. Dimana aku harus patuh pada Papa dan bekerja sama dengan beberapa Jenderal lain untuk terus melawan kemerdekaan Nusantara. Bedebahnya aku hanya bisa diam menerima semua."

Frans membulatkan mata, setengah mengerti dan setengah tidak. "Mungkin kau butuh hiburan, Will."

Mendengar jawaban polos dari Frans, sebelah tangan Will terangkat, mengacak rambut adiknya gemas. Mungkin bermain piano bisa sedikit melegakan hatinya terkait keputusannya beberapa hari lalu. Dan mulai besok, dirinya sendiri yang akan turun ke tanah pribumi, memimpin apa yang sebelumnya dilakukan sang Papa, menjatuhkan Nusantara, mengambil keuntungan, dan menjadikan rakyat sebagai wayang dengan dirinya sebagai sang dalang.

*

Kediaman tentara Belanda tentu menjadi salah satu sasaran Nirmala untuk melakukan sumpahnya terhadap dendam kesumat yang sudah melekat bak cairan karet yang menempel pada kain brukat khas jawa di pakaian mungilnya. Kebaya. Pakaian tradisional buatan ibunya saat berusia tujuh tahun. Kontras dengan warna merah darah mengalir di setiap corak bunga mawar bermekaran melekat di tubuh kecilnya. Jika saja Nirmala masih berada di usia ke duapuluh, dia sudah menjadi dara jelita yang sangat menawan siapapun melihatnya. Bahkan di balik bulu mata lentiknya tersimpan mata bak seindah swargaloka, mendamba seorang Wibisana untuk segera menuntaskan peperangan dan pertumpahan darah di tanah Nusantara. Gadis itu menghela napas berat, mengembuskannya perlahan saat dilihatnya seorang gadis kecil kira-kira berusia lima tahun berlarian di beranda rumah milik salah satu warga Belanda yang tinggal di sana. Wajahnya begitu cantik, lucu, dan menggemaskan. Siapa tahu, di balik menggemaskannya wajah lucunya, mereka tidak tahu sedang bahagia di atas penderitaan pribumi yang sepantasnya mengusir mereka dari wilayah sendiri.

Dengan langkah anggun, gadis kecil itu berjalan menghampiri anak kecil berambut kepang dengan jepit bunga tulip terselip di sebelah poninya. Nirmala memasang senyum semanis madu, berdiri tepat di hadapan anak itu. Merasa ada yang memperhatikan, gadis kecil itu melirik ke arah Nirmala. Menatapnya antusias.

"Kau siapa? Bajumu bagus sekali!"

Nirmala mengulurkan tangan, "Namaku Mala. Maukah kau bermain bersamaku?"

Gadis kecil itu mengalihkan pandangannya ke belakang pintu rumah, lantas kembali menatap Nirmala, "Bagaimana, ya?" diraihnya tangan Nirmala yang dingin seperti angin malam, menjabat tangannya dengan erat, "Baiklah. Kita bermain dimana?"

Nirmala tersenyum, menjatuhkan pandangannya ke arah kebun dekat dengan sumur yang tertutup dengan beberapa lapisan papan kayu di atasnya. "Di sana. Mungkin kita bisa menemukan kelinci melompat-lompat dan terjun ke dalam mulut sumur."

Gadis kecil itu tidak mengindahkan perkataan Nirmala. Sekali hentakan ia menarik Nirmala menjauhi rumah menuju tempat yang barusaja ditunjuk Nirmala. "Persetan Mama mencariku. Mereka terlalu sibuk bermain dengan kartu tarot dan mengabaikanku sendiri. Bermain di tempat asing, entah apa alasan mereka membawaku ke tempat ini."

"Oh, ya, siapa namamu, nona?" tanya Nirmala tersenyum ramah. Merasakan kehangatan tangan gadis kecil di genggamannya begitu hangat.

"Namaku Mariana Bregsma." Maria tersenyum hangat, layaknya seperti mendapat teman baru di tanah pribumi.

Nirmala balas tersenyum, senyuman semanis bunga anggrek ungu yang sangat mempesona, menjerat, dan meracuni mangsanya.

"Senang berteman denganmu, Maria."

-
Satu.. part.. buat.. kalian.. dari.. Mala.. 💐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro