- Één - Deschauw Van Her Verleden (Bayangan Masa Lalu)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

1830, Verlaten Eiland, Banten.

Sehari setelah Nirmala lenyap di tengah hutan, seluruh desa di kota Verlaten Eiland (Nama Pulau Sanghiang, Banten masa Hindia Belanda) gempar dengan kabar menghilangnya Nirmala setelah hampir dua puluh empat jam tidak kunjung kembali ke rumah. Nirmala yang selama ini dijaga ketat oleh warga desa merasa kehilangan dan takut jika gadis itu sampai diculik tentara Belanda apalagi diterkam hewan buas seperti beberapa gosip yang mulai menyebar di penjuru desa. Mereka berkumpul tepat di depan kediaman rumah Nirmala.

"Apa di antara kalian sudah mengecek ke dalam rumahnya?"

Seorang wanita yang sedang menggendong bayi mengangguk, "Aku tadi mengetuk rumahnya berkali-kali, dan pintunya tidak terkunci. Aku langsung masuk ke dalam rumah. Di sana tidak ada siapa-siapa. Tidak ada kepulan asap tungku, centir menyala, dan makanan di sana. Aku memanggil namanya berulang kali tapi tidak ada sahutan. Kucari di setiap sudut ruangan, dia benar-benar tidak ada. Dia pasti belum pulang."

"Aku menemukannya!" seorang veteran gerilya berseru. Semua warga antusias menoleh ke arah sumber suara dari kejauhan.

"Kau menemukan Nirmala, Sas?"

Sastro mengangguk, menampakkan wajah pias. "Ada genangan darah di dalam hutan. Banyak sekali. Dan satu lagi, ada keranjang buah ini berada dekat dengan darah itu!"

Warga berseru ketakutan, terkejut melihat keranjang buah yang sering Nirmala bawa ketika masuk ke dalam hutan kini berada di tangan Sastro penuh dengan noda darah yang mengering.

"Gadis malang, itu pasti Nirmala!"

"Astaga. Anakku Mala.. "

"Tidak mungkin. Selama ini dia baik-baik saja. Hanya dia yang berani masuk ke dalam hutan.. "

Semua warga terlihat cemas. Namun kecemasan mereka lenyap saat seorang warga kembali berseru mengatakan bahwa dikejauhan ia melihat tentara Belanda sedang  dalam perjalanan menuju tempat mereka. Sontak mereka berlarian menuju rumah masing-masing, mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka yang terbuat dari kayu. Perasaan mereka bercampur aduk, antara kehilangan Nirmala dan ketakutan mengahadapi pasukan Belanda yang selalu bertindak seenaknya kepada mereka.

Suara mesin mobil teng baja dengan mobil jeep lain mulai bersahutan memecah keheningan saat memasuki wilayah desa. Beberapa di antara mereka mengernyit kebingungan melihat suasana desa begitu sepi seperti tidak dihuni sama sekali. Satu per satu dari mereka turun dari mobil tepat di pekarangan rumah Nirmala. Hanya rumah inilah yang terlihat seperti tidak berpenghuni sama sekali.

"Semuanya diam. Jangan bertindak untuk melakukan penggerebekan paksa ke rumah warga." salah satu dari mereka berjalan mendekati rumah di hadapannya. Memberi intruksi dengan bahasa Belanda kepada prajuritnya. Spontan, semua pasukannya diam. Menunggu intruksi berikutnya dari atasan mereka. "Phillips?"

"Ya?" seseorang bernama Phillips menyahut tegas. Menghampiri atasannya.

"Menurut warga desa, ada seorang anak gadis yang masih belum menikah tinggal di tempat ini? Bukannya dulu aku pernah membunuh dua orang pengkhianat di tempat ini sebelumnya?" pria itu menatap setiap sudut rumah, mengingat-ngingat kejadian belasan tahun lalu. "Phillips!"

"Ya benar, Jenderal. Anda membunuh kedua pengkhianat asal pribumi itu di rumah ini. Namun aku baru tahu ada seorang gadis tinggal di tempat ini." jawab Phillips berusaha memastikan.

Pria yang disebut Jenderal itu menoleh, menampakkan wajah tampan dan bengisnya pada Phillips, "Pastikan seluruh pasukan untuk diam. Aku akan memasuki rumah ini--"

"Mohon izin Jenderal, aku menemukan ini tepat di sampingku berdiri."

Seorang anak buahnya berlari-lari kecil, menenteng sebuah keranjang buah berukuran sedang dan menyerahkannya pada Phillips. Terdapat bercak darah mengering di keranjang tersebut.

"Siapa pemilik keranjang buah ini?" tanya Phillips mengerutkan dahi, "Apa di sini telah terjadi penyerangan tanpa izin?"

Jenderal mengamati darah di permukaan keranjang, menyentuhnya, "Sepertinya bukan karena penyerangan. Dia mungkin diserang hewan buas dan tertatih-tatih hendak kembali ke rumahnya. Mungkin saja desa ini barusaja diserang binatang buas dan warga di sini ketakutan mengurung diri di dalam rumah."

"Jadi, bagaimana soal keranjang ini?"

"Buang saja. Aku akan memasuki rumah ini terlebih dulu," Jenderal melangkahkan kaki menuju pintu utama rumah, menoleh kembali pada Phillips, "Biarkan saja jika ada warga yang lewat. Jangan bergerak. Diam saja sebelum kuberi intruksi."

Phillips mengangguk, memberi hormat sebelum akhirnya menyerukan pasukannya untuk tetap diam.

Sementara Sang Jenderal sudah berdiri di depan pintu siap mendorong pintu sederhana berbahan kayu itu. Terkunci. Tangan Jenderal terus saja berusaha membuka pintu dengan paksa. Tanpa izin ia mulai mencoba mendobrak pintu rumah tersebut, dan akhirnya terbuka lebar untuknya. Pemandangan yang sangat menentramkan disuguhkan di dalam rumah ini. Aroma makanan begitu menguar lezat di penciuman. Sang Jenderal mulai memasuki ruangan, melihat beberapa piring berjajar berisikan ikan asin yang barusaja digoreng, ubi rebus yang masih mengepul hangat meminta sentuhan, satu boboko rasi, berbagai macam buah dan tiga gelas air teh hangat beralaskan tikar bekas seprai di antara satu centir menyala memberikan seberkas cahaya memancar ke seluruh ruangan yang hanya berukuran 4x4 m2. Di sudut ruangan, terlihat sebuah tungku menyala mengepulkan asap pekat berasal dari ruangan yang dia tahu adalah ruangan dapur.

Penasaran, pria bertubuh jangkung itu mengikuti arah kepulan asap itu berasal. Rumah ini tidaklah kosong, pikirnya. Matanya meneliti setiap inci ruangan dapur yang penuh dengan peralatan masak sederhana. Ternyata benar, asap itu berasal dari tungku yang di atasnya terdapat sebuah benda berbentuk kerucut untuk menanak nasi secata tradisional. Jenderal semakin bingung, matanya tak sengaja menangkap bayangan seorang anak kecil berlarian meninggalkan dapur hendak menuju kamar yang berada di samping ruangan dapur. Jenderal mengikuti bayangan itu, dan tibalah di satu ruangan kamar sederhana dengan satu lemari dan cermin berada di samping ranjang kecil di depannya.

Pintu lemari tiba-tiba berdecit, terbuka perlahan tepat di sampingnya. Sang Jenderal menatap lemari itu lekat, sebelum akhirnya pintu lemari itu tertutup kembali dengan keras. Jenderal kembali menemukan bayangan anak kecil berjalan menjauh mengitari ranjang dan berhenti tepat di hadapannya berdiri. Hanya dengan dibatasi oleh ranjang, Sang Jenderal menatap tidak percaya bayangan anak kecil di hadapannya.

"Kau?"

Sebelum Jenderal melanjutkan perkataannya, bayangan itu kembali berjalan menjauhi ranjang bersebrangan dengannya keluar dari kamar seperti menyuruhnya untuk terus mengikutinya. Sang Jenderal mengusap wajahnya kasar, mengikuti arah kemana bayangan anak kecil itu pergi.

Tepat di ruangan sebelumnya, Sang Jenderal melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang wanita cantik dan seorang pria berkumis tipis saling bercakap ria sambil memakan makanan yang menjadi suguhan rumah ini ketika ia memasuki rumah sebelumnya. Mereka begitu terlihat bahagia sebelum akhirya ia menyadari ada seorang anak perempuan cantik berusia tujuh tahun ikut bergabung bersama mereka. Dua orang pengkhianat bisnis Sang Jenderal kini tengah berada di depannya. Suasana hangat keluarga di depannya membuat dirinya semakin bingung dengan maksud dari penglihatannya saat ini.

Sedetik kemudian pasangan serta anak kecil itu melihat ke arahnya penuh peringatan. Menatapnya nanar seperti meminta pertanggung jawaban atas kematiannya selama ini. Bayangan dirinya menembak mati sepasang suami istri di depannya kembali terlihat di depan matanya. Begitu sadisnya sikap dan tindakannya selama kejadian itu terjadi. Terlihat anak perempuan itu berlari ke arah kamar, bersembunyi di bawah ranjang atas perintah ayahnya sebelumnya. Terdengarlah suara tembakan menggema di atmosfer rumah. Sang Jenderal menatap tidak percaya ke arah anak perempuan tersebut, meminta dirinya untuk berhenti memutar ingatannya kembali pada masa itu.

"Cukup! Aku tidak bersalah! Kalian seharusnya pantas mendapat hukuman yang setimpal. Kalian telah memasuki markas kami, berpura-pura bekerja sama mendapatkan ladang teh dan cengkeh, tapi kami ditipu habis-habisan! Enyahlah kau, pengkhianat!"

Setelah Jenderal berseru tidak tahan dengan bayang-bayang eksekusi yang dilakukannya, tiba-tiba semua centir di dalam rumah padam. Keadaan rumah gelap gulita. Hanya sedikit cahaya yang berusaha masuk melalui jendela. Namun kelambu di dalam rumah tertutup kembali dengan sendirinya. Tidak membiarkan sedikit cahaya pun masuk untuk menerangi ruangan utama rumah.

"Apa yang kau inginkan!"

Jenderal berseru gelisah, merasakan bulu kuduknya meremang tidak karuan. Telinganya kembali mendengar suara dentuman tembakan ke udara. Jeritan tangis seorang anak, dan tawa menggelegar dirinya saat berhasil menewaskan tawanan pengkhianatnya. Jenderal berjalan cepat menuju pintu utama rumah, berusaha membuka pintu yang kini kembali terkunci. Beberapa menit yang lalu ia bisa membuka paksa pintu dan mendobraknya. Tapi untuk saat ini, kepalanya terus dilanda rasa sakit dan takut saat suara-suara dan bayangan itu menyerangnya secara terus menerus tanpa henti.

Suara tawa anak kecil mulai menggema ke seluruh penjuru rumah, membuat dirinya semakin ingin keluar dari dalam rumah.

"Jenderal? Bangun. Jenderal?"

Sang Jenderal tersadar, merasakan tubuhnya mulai terasa begitu pegal dan sakit dimana-mana. Pikirannya masih tampak kacau saat matanya samar-samar melihat wajah Phillips di depannya. Cahaya dari luar rumah kayu itu begitu menyilaukan pandangannya. Cepat-cepat ia bangkit, membenarkan duduknya menatap awas sekeliling ruangan rumah kayu itu.

"Aku tidak bersalah, mereka yang bersalah, Phillips." Jenderal menatap Phillips berusaha meyakinkan. Tangannya begitu bergetar bersama wajah pias membuat Phillips berusaha menggotongnya keluar menjauhi rumah kayu itu.

"Kau tidak apa-apa, Jenderal? Sepertinya kau butuh istirahat. Kau pingsan di dalam sana."

Sang Jenderal tertegun. Menoleh kembali ke arah rumah kayu tersebut. Di sana, tepat di atas dipan rumah terdapat seorang anak kecil melambaikan tangan padanya. Jenderal menelan ludah, melihat anak itu tertawa hingga menggema di telinganya. Cepat-cepat tangannya menutup kedua telinga, berusaha menghindari suara tawa kesetanan anak kecil itu.

"Phillips. Aku tidak bersalah. Cepat bawa aku kembali ke Batavia. Aku tidak mau kembali ke desa ini. Bawa semua pasukan, aku akan memikirkannya setelah pergi dari rumah itu!"

Mendengar Sang Jenderal begitu ketakutan sekaligus frustrasi, Phillips segera membawanya menuju jeep dan menyerukan pasukannya untuk mundur kembali meninggalkan desa. Entah apa yang terjadi pada atasannya ini, Phillips hanya bisa menuruti perintah Sang Jenderal.

Setelah melihat pasukan tentara Belanda menjauh dari wilayah desa, sosok anak kecil itu kembali menutup pintu rumah kayu itu perlahan. Menimbulkan suara decitan engsel dengan kontras.

"Ayah, Ibu, bolehkah aku membalas dendamku pada mereka?"

__________________

Baru awal nih. Gimana? Feel nya dapet gak? Kalo gak dapet, ya sorry.. Hehe.. Masih amatir kalo urusan horror sama latar zaman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro