Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"YUDI GAVRIEL, SIALAN! BANGUNLAH KAU! CEPAT HABISI MUSUHMU DAN MENANGKAN PERTARUNGAN INI!"

Beuh, dasar bedebah gila! Uang melulu yang ada di dalam kepalanya. Aku hanya mengumpat dalam hati, merespons teriakan Bos padaku.

Aku terkapar telentang di tengah lapangan Arena Brufe. Napasku tersendat-sendat. Mungkinkah ajal segera menjemputku? Mengingat sekujur tubuh sudah dipenuhi luka babak belur dan beberapa tulang-tulangku sudah diremukkan.

Aku menerawang ke atas dengan sebelah mata karena mata yang satu lagi lebam besar akibat kena tonjok keras dari musuh. Benar-benar hari apes. Tidak seperti biasanya aku kalah dari musuh. Baru kali pertamanya.

Suara gemuruh para penonton Arena Brufe makin kencang saja. Sayup-sayup aku mendengar nama musuh dielu-elukan. Tak bisa aku bayangkan bagaimana ekspresi wajah Bos.

Ingin aku mencobanya sekali, tapi tak jadi dilakukan karena aku mendadak terbatuk hingga meludahkan cairan kental merah segar. Hitungan mundur dari angka sepuluh pun dimulai. Ah, tidak!

Sangat mustahil aku bisa pulih dalam hitungan waktu singkat ketika kondisi tubuh telah remuk luar dalam. Mendekati akhir, aku masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk bangkit. Sudahlah! Aku menyerah saja. Andai dipaksa pun, aku pasti makin hancur dan tetap menelan kekalahan.

Persetan dengan Bos. Urusan pikir belakangan. Akhirnya hitungan mundur selesai dan sorak sorai para penonton Arena Brufe makin kencang membahana, menyambut petarung pendatang baru yang sekaligus menjadi pemenang.

Sambil menahan sakit, aku mengubah posisi tubuh menjadi duduk. Sesaat berselang, aku tertatih-tatih berdiri. Aku nyaris terhuyung jatuh kembali ke belakang, jika kakiku yang tulangnya sudah mengeluarkan bunyi 'krak' tidak kupaksa untuk membantu menopang beban tubuh.

"Sialan. Sakit sekali ternyata," raungku frustrasi sambil membungkuk pelan untuk menyentuh dan memegangi bagian kaki yang sakit. Aku terpaksa berdiri dengan satu kaki saja.

"Dasar rapuh payah! Bisa-bisanya kau kalah dari pecundang macam dia. Kau tahu, 'kan, konsekuensi apa yang harus ditanggung saat kalah dalam bertarung?" kata Bos usai berdiri tepat di hadapanku.

Ggrrr ....

Tanpa ada yang mengomando, aku refleks menggertakkan gigi. Bos benar-benar keterlaluan. Bukan maksudku ingin minta dikasihani. Tidak. Namun, setidaknya Bos punya sedikit rasa perhatian pada kondisi budak sepertiku yang benar-benar sedang rapuh payah menurutnya.

Sepertinya keinginanku terlalu muluk-muluk. Tak ada muncul tanda-tanda Bos akan menanyakan perihal kondisi tubuhku. Aku kembali mengangkat wajah yang sempat tertunduk sesaat. Aku menghunuskan tatapan tajam bak seekor elang ke arah Bos.

"Apa yang ingin kau lakukan dengan menatapku dengan tajam begitu, huh?" Bos sama sekali tidak merasa terintimidasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro