13 November, 14:10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika Agnes kembali ke ruang tengah setelah menghabiskan waktu yang dirasa cukup lama untuk mandi dan berdiam diri, dia sudah kembali menatap meja ruang tengah yang berisi makanan.

Roti isi untuk dua orang yang isinya telur dan mayones, juga ada salad buah untuk dibagi berdua, berikut juga jus jeruk kemasan menemani kudapan sederhana itu.

Grace telah berganti pakaian ke blus kasual dan menata rambutnya dengan satu ikat seperti biasa, dan dia seperti telah menunggu Agnes turut bersamanya untuk makan.

"Mungkin kamu bilang belum lapar tapi ... paling nggak sedikit aja untuk ganjal perut." ucap Grace yang sudah mengambil roti bagiannya. "Atau kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, jangan dipaksa."

Lagi, Bu Grace selalu memberi jeda dan menyuarakan pengingat. Ekspresinya yang lembut dan terbuka juga membuat Agnes merasa tidak terpaksa. Dia bebas saja ingin makan atau tidak, dan dia tidak perlu memaksakan dirinya. Grace pun tidak langsung memintanya untuk mengobrol, kembali menjaga sunyi yang tenang di antara mereka, dengan Grace selalu ada untuknya kalau dia butuh sesuatu.

Agnes menginderai rumah itu lagi, seperti ingin mengingat-ingat segala yang ada di sana, lalu pandangannya tertumbuk ke pintu yang tidak pernah terbuka.

"Itu ... kamar siapa, Bu?"

Grace mengikuti arah pandang Agnes dan sejenak tertegun. Agnes menyadari dia sudah lancang mencoba untuk bertanya karena penasaran, dia hendak mengubah topik. Namun, Bu Grace seperti tampak santai saja, senyumnya kalis seperti biasa saat dia membalas tatapan Agnes.

"Sebenarnya, kalau kamu merasa lebih enakan, saya mau ajak kamu ke suatu tempat," ucapnya. "Mungkin bukan cari udara segar juga sih, istilahnya. Kita akan ketemu sama dia, sama Harald."

Agnes mengulum bibir, menyadari implikasi dari ucapan Grace, juga dia bisa menebak sekarang kenapa ruangan itu tetap tertutup dan Grace tidak menggunakan ruangan itu untuk tidur, memilih untuk tidur saja di sofa.

"Hitung-hitung kamu juga sering cerita ke saya, saya anggap ini impas saja, sebagai teman atau tidak," ungkap Grace santai. "Kalau kamu nggak tertarik untuk ikut, kamu bisa stay aja di sini dulu sampai kamu mau kembali ke rumah. Sabtu ini soalnya saya sudah janji ketemu Harald."

Grace memberikan ruang untuk Agnes lagi, itu yang bisa disimpulkannya, walau mungkin Grace sudah berencana untuk 'bertemu' Harald Sabtu itu, dan kebetulan saja ada Agnes di sana karena situasi mendadak. Grace tidak tampak keberatan, dan seperti sebelumnya, dia memberikan Agnes pilihan, tidak memaksakan kehendak.

Diam kembali mengisi di antara mereka, sejenak Agnes menimbang-nimbang. Dia mengambil jus dari meja, mulai meminum, lalu dia mengisi sedikit piringnya dengan salad buah. Sesaat dia mencoba menatap Grace, wanita itu akan membalasnya dengan senyum.

Salad yang isinya tidak terlalu banyak. Roti yang juga sekedar telur dan mudah dicerna. Segalanya seperti Grace berusaha keras untuk membuat Agnes nyaman, dan itu adalah utang budi yang tidak bisa Agnes segera bayar. Mereka memang teman sekarang, dan Agnes mungkin tidak akan berhenti berucap terima kasih karena Grace membantunya tanpa terlampau kepo. Agnes hanya bisa merasakan perilaku Grace yang tulus, dan bagaimana dia benar-benar ingin membantu Agnes.

Jujur, Agnes bingung bagaimana dia harus bersikap, terutama dengan dirinya yang sudah jauh lebih tenang. Ingin rasanya dia mulai bercerita saja, menumpahkan segalanya, lagi ingin juga dia tetap diam, menyimpan segalanya pada dirinya karena dia sudah banyak mengganggu Grace.

Akan tetapi, di saat yang sama, Grace berhak tahu, karena dia sudah dengan murah hati menolong Agnes dan memberikannya ruang dan kesempatan untuk menenangkan diri.

"Kita ... ketemu Harald dulu saja, Bu." jawab Agnes setelah beberapa saat. Grace tampak terkejut, namun dengan cepat beliau kembali mengungkapkan rasa terima kasihnya.

Saya yang harusnya banyak berterima kasih, Bu Grace.

Agnes sudah lumayan ingat tentang kejadian malam itu, tapi dia masih terkagum-kagum melihat motor yang digunakan Bu Grace.

Motor sport 125cc itu memang terlihat ramping dengan bodi yang tinggi dan kursi penumpang yang lebih mumpuni ketimbang model-model sejenis, tapi imej motor sport yang gahar tidak bisa meninggalkan benak Agnes. Pantas saja Bu Melissa kerap mengajak Bu Grace untuk touring, batinnya.

"Ini juga bukan kayak punya Melissa, kok. Ini dulu punyanya Harald." ucap beliau saat mengencangkan helm dan mengenakan sarung tangan. Dia memerhatikan Agnes yang sudah memasang helm dan siap berkendara beberapa kali sebelum dia naik di atas motor dan mulai menyalakan mesin. "Saya cuma sekedar pakai karena sayang kalau dibiarkan saja di garasi."

Grace memastikan lagi Agnes sudah naik dan duduk dengan benar di jok penumpang sebelum dia mulai memutar gas.

"Pegangan ya, Nes."

Tangan Agnes semula diam di sisi tubuhnya saat motor itu mulai meluncur dengan kecepatan sedang. Aman-aman saja bila dia tidak berpegangan, tapi Agnes menuruti anjuran Grace, terutama saat mereka naik menanjak ke arah perbukitan yang berada di daerah lingkar luar kota.

Agnes mulai familier dengan wilayah itu, yang ternyata memang tidak terlalu jauh dari apartemen tinggalnya. Dia mengingat saat Bu Grace menawarkan diri untuk mengantar Agnes pulang saat mereka bertemu di kencan buta gubahan kakaknya, lalu saat Bu Grace membawanya pulang saat terlalu mabuk. Mengejutkan untuk tahu ternyata mereka tinggal di daerah yang sama.

Sekitar lima belas menit meniti jalur utama, mereka sampai ke daerah terbuka yang berpalang Taman Makam Pahlawan, dan mereka berhenti di lahan parkir yang dekat dengan wilayah pemakaman umum. Banyak peziarah yang tampaknya bertandang ke makam-makam pahlawan karena Hari Pahlawan belum lama lewat, sehingga makam itu tidak tampak sepi di penghujung sore itu.

Ada lapak-lapak pedagang tepat di dekat lahan parkir yang menjual tabur bunga, buket, juga air mawar untuk keperluan ziarah. Grace membeli seperlunya, dan Agnes pun turut untuk membeli sebuah buket. Grace sempat bilang untuk Agnes tidak usah repot-repot, Agnes segera menyanggah kalau dia ingin membelikan bunga itu untuk Harald.

Mereka lalu menuju pelataran makam, dengan Grace mengarahkan jalan hingga mereka sampai ke sisi sebelah barat, sampai ke sebuah makam yang terawat dengan batu nisan hitam yang memuat nama Harald.

Bersemayam di sini adik yang baik, seorang periang dan pejuang yang hebat.

"Lima tahun lalu, Harald akhirnya beristirahat," ucap Grace setelah dia menabur bunga dan air mawar. Dia berjongkok tepat di sebelah batu nisan itu, membelai nama Harald lembut. "Dia sudah gigih sekali melawan penyakitnya."

Agnes menatap pusara itu, melihat tahun lahir Harald. Bila Harald masih hidup, dia mungkin akan seumuran Agnes. Sekarang jelas di benak Agnes mungkin Grace menganggap dia sebagai sosok adik.

Walau demikian, dia bukan seorang yang mirip Harald.

Grace menaruh buket bunga itu di tengah pusara, ia diam memerhatikan nisan itu, memberi jeda untuk Grace yang tampak tengah berbicara dengan Harald.

"... Harald itu biasanya memarahi saya, bilang harusnya saya banyak jalan-jalan dan ngumpul sama teman, dibanding ngurusin dia yang sakit-sakitan," wanita berambut hitam itu terkekeh. "Bisa dibilang, mungkin dia ada benarnya, karena kakaknya sampai sekarang masih seperti terkurung di masa lalu."

Agnes tidak menatap wajah Grace yang memandang makam adiknya itu dengan saksama. Grace seperti menceritakan sosok yang bukan dirinya, tapi seorang kakak yang kehilangan adik semata wayangnya. Bukan Grace yang tegas. Bukan Grace yang selalu lurus dan sistematis. Grace yang Agnes lihat kini terlihat begitu dekat, begitu penuh kasih, juga begitu rapuh.

"Terkurung?" Agnes pun bertanya, walau dia ada sedikit bayangan apa yang dimaksudkan Grace—karena dia pun masih saja selalu berandai, selalu ingin kembali ke hari yang sama.

Lagi, Agnes tahu dia bukan Grace dan dia tidak akan bisa tahu apa yang Grace rasakan. Permasalahan yang mereka hadapi tidak bisa disama ratakan.

"Saya selalu berpikiran untuk hidup demi Harald. Asal dia sehat. Asal dia bisa beraktivitas kayak dulu lagi," Grace menerawang. "Tapi apa daya, mungkin Tuhan lebih sayang dengan Harald."

Tergambar di benak Agnes seorang kakak yang akan melakukan segalanya demi adiknya, layaknya orang tua yang berjuang demi anaknya. Tidak semua keluarga bersikap demikian, dan ketika kamu melihat mereka yang benar-benar ikhlas, tidak sebatas karena hubungan darah dan kewajiban, kamu bisa melihat bagaimana mereka berbeda.

Bu Grace yang terlihat tegar dan sudah move on kini juga terlihat lebih 'tua', tua dalam artian bijak, dan dewasa sebelum waktunya.

Grace berdiri tegak sekarang, menepuk-nepuk tangannya yang kotor karena tanah. Dia mengerling memandang Agnes. "Maaf kamu jadi ngelihat saya begini. Beginilah saya kalau sudah sama Harald."

"Tapi Ibu juga pastinya sudah lebih paham kalau Harald sudah pergi." sahut Agnes gamblang. Grace tampak tidak merasa tersinggung dengan ucapan itu, beliau sekedar mengangguk.

"Benar, walau kadang saya cuma akan kembali berpikir kalau saya hidup untuk Harald—ketika Harald sendiri selalu bilang di saat-saat itu untuk saya lebih melihat diri saya sendiri," tukasnya. "Maka dari itu saya mencoba berteman, lalu coba-coba ketemu orang lewat aplikasi itu. Bisa dibilang saya mungkin canggung untuk mencari orang baru, apalagi di luar urusan pekerjaan."

Sejenak, Agnes melihat Grace sebagai sosok yang sederhana. Dekat. Bukan seorang patuh nan tekun. Memisahkannya dari sosok profesional Grace dengan pribadi Grace. Seorang yang sangat mencintai keluarganya. Adalah sebuah kebetulan saja kakak Agnes menemui Grace dari sekian banyak akun dan mereka bisa berbicara di luar konteks kerja. Juga tak disangka Agnes dia akan cukup penasaran dan menemukan kenyamanan di hubungan mereka berdua.

Sebagai teman. Sebagai panutan. Sebagai—

"Apa Ibu—" Agnes tidak mengerti kenapa dia bisa berkata demikian secara langsung, tanpa banyak pikir panjang. "Apa Ibu melihat saya seperti sosok adik, seperti Harald?"

Grace tersenyum tipis, jawaban yang datang dari beliau seperti memang sudah selalu ada, "Saya melihat kamu sebagai sesama wanita, Nes."

Agnes mengerjap, tertegun agak lama. Bu Grace sudah kembali mengobrol dengan Harald ketika Agnes tertunduk diam, menyayangkan pertanyaan yang meluncur begitu saja tanpa permisi.

"Harald, lihat. Hari ini kakak punya teman untuk diajak ketemu sama kamu," sahutnya sambil tertawa kecil. "Kakak nggak sepayah itu ternyata."

Agnes tak pelak turut tersenyum, walau hatinya terasa pilu.

"Sekali lagi maaf malah jadi murung begini," beliau terkekeh puas. "Kamu ada mau mampir ke suatu tempat habis ini buat ngaso? Atau kalau mau langsung pulang juga nggak apa-apa."

Agnes segera angkat bicara. "Saya sudah terlalu banyak ngerepotin Ibu, saya nanti makin nggak bisa balas kebaikan Ibu."

Grace menggelengkan kepala, "Apa sih, Nes. Nggak usah mikirin itu segala. Tahu kalau kamu baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup, kok."

Agnes merasa lidahnya kelu. Wanita berambut coklat itu terdiam saja memandang Grace yang seperti biasa dengan mudah beralasan, alasan yang masuk akal dan pantas.

Semilir angin sore itu menemani mereka kembali ke pelataran parkir, dengan Agnes memilih untuk diantarkan pulang ke apartemennya saja. Selain karena dia tidak mau menumpuk utang (terserah Bu Grace mau bilang apa, dia akan tetap menganggapnya utang), dia tidak ingin terus mengganggu penghujung minggu wanita itu.

Dia masih butuh menjelaskan beberapa hal pada Bu Grace seputar malam kemarin, atau apa yang sudah terjadi di masa lalu yang membuatnya tidak karuan, tapi itu tidak untuk hari ini.

Agnes tidak ingin menghancurkan suasana yang mereka buat hari itu, tenang dan damai, juga bagaimana mereka bisa saling mengerti tanpa banyak berkata-kata.

Grace bagi Agnes tetap adalah sosok yang jauh, tapi kini, Agnes bisa melihat Grace dengan lebih dekat, lebih akrab.

"Misalkan kamu butuh apa-apa, panggil saja saya lagi, ya. Nggak usah sungkan." ucap beliau lagi.

Ketika motor itu meluncur menjauh, jauh dari sisi pandang Agnes yang melihat Grace berlalu, sekujur tubuhnya tetap terasa hangat. Hangat karena mentari sore hari. Hangat karena angin penghujung petang. Hangat karena ia merasa sudah menyaksikan sesuatu yang luar biasa. Hangat karena Agnes menyadari sesuatu setelah mengenal seseorang lebih dalam.

Mereka tidak sama. Grace lebih tegar. Sementara dia terkurung di masa lalu untuk sebuah kenangan yang terlampau naif. Lagi, mereka sama-sama kehilangan. Kehilangan salah satu bagian dari kehidupan tidaklah mudah, mau seberapa besar atau kecil bagian tersebut. Juga, tidak ada yang bisa menakar dan menimbang penderitaan dan perasaan orang lain dengan ilmu perbandingan.

Agnes menatap lembayung senja dengan lara, lara yang kemudian menjelma menjadi lega, sebelum rasa berat yang selalu ada hadir di hatinya.

Namun hari itu, segalanya terasa ringan sekarang.

Luka lamanya mungkin akan terbuka kapan saja, lagi dia tahu kemana dia bisa berpaling sekarang. Kemana dia bisa memulai untuk mencoba percaya.

Agnes menutup matanya, menarik napas dalam, membuangnya teratur, merasakan hangat yang tidak kunjung hilang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro