Kala dan Ketika

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agnes tidak tinggal diam setelah mendengar desas-desus yang dia dengar dan saksikan dengan mata dan kepalanya sendiri mengenai motivasi Riena. Mendengar hal tersebut, dia pun menanam benih rasa curiga pada kekasihnya itu, mengamati lebih dekat dan lebih jauh ketika mereka bersama. Agnes juga berusaha lebih mengenal teman-teman tongkrongan Riena dan memerhatikan gerak-gerik mereka terutama ketika mereka ada di dekat fakultas Riena.

Riena tidak berbeda dengan sosok yang selalu dikenalnya: humoris, sangat ingin tahu, dan mudah diajak bicara. Agnes merasa aman, nyaman, walau kini karena mengingat apa yang sudah didengarnya, Agnes menjadi waspada.

Mereka tetap berkencan, bercinta, melakukan segala hal seperti biasa, dan Agnes belum menemukan celah tertentu yang membuktikan keraguannya. Riena mencintainya. Dia pun senang dengan keberadaan Riena—apakah itu sudah lebih dari cukup? Memang, Agnes belum bisa membuktikan loyalitas Riena dan tidak mungkin dia segera bertanya, tapi apa yang mereka punya saat ini sudah lebih dari cukup, 'kan?

Ya, mungkin di kala itu, Agnes ada pada level-level bucin akut, dan naif, karena dia tidak bisa melihat Riena lebih dalam—lebih dari sekedar 'wanita' yang diidamkannya.

Lalu, apa Agnes menyesal? Tidak juga. Agnes tidak bisa sempurna mengatakan dia menyesal sudah memercayai Riena karena dia menyayangi wanita itu. Riena datang laksana angin segar baginya yang telah lama mencari, dan melihat hubungan mereka yang akur dan chemistry mereka sebagai pasangan, Agnes tidak lagi bertanya dua kali.

Lagi, tampak dunia seperti menjawab segera keluh-kesahnya dan tidak membiarkannya terlalu lama merasa bahagia, bahagia dengan sebuah harapan palsu.

. . .

Siang itu, Agnes kebetulan tidak ada kelas karena mendadak jadwalnya berubah. Biasanya, dia tahu Riena akan berada di dekat fakultasnya karena dia suka sekali makan nasi campur di kantin sini ketika jam-jam istirahat. Terkadang dia akan mengajak beberapa anak tongkrongannya, dan misal kebetulan dia bertemu dengan Agnes, dia pasti akan menghampiri Agnes, mengecup pipi Agnes tanpa basa-basi layaknya itu salam jumpa. Agnes pun hanya akan tersipu saya melihat gelagat Riena yang sambil lalu.

Kala itu, Agnes sengaja tidak memberitahukan kelasnya pindah jadwal sehingga dia bisa mengamati Riena dari jauh. Kini, Agnes mulai mengerucutkan beberapa kebetulan yang ada di benaknya ketika dia menyadari bahwa Riena memang secara sengaja selalu ada di dekat fakultas Agnes saat jam makan siang karena dia tengah mendekati seseorang.

Di pelataran kantin yang padat, di sisi sepi yang dekat dengan perbatasan antara dua fakultas, Agnes dapat melihat sosok Riena dari jauh. Sosoknya yang kalem dan cool seperti biasa, lalu ada seseorang duduk bersamanya, jauh dari keramaian kantin. Mereka berdua begitu dekat sampai pundak mereka bersentuhan, mereka bahkan sempat berpegangan tangan dan saling berciuman, tertutup oleh pelataran gedung dan pepohonan.

Agnes melihat segalanya dengan jelas karena dia mendekati wilayah itu dari sisi dalam gedung, dan ketika itulah dia merasa relung hatinya hampa.

Hampa, tidak ada yang bersisa. Seakan hatinya sendiri sudah lama bersiap untuk kemungkinan terburuk. Dia tidak merasa gundah. Dia tidak merasa marah—mungkin ada ekspresi marah, tapi yang lebih dominan kini adalah hampa. Hampa yang tiada tara.

Agnes memerhatikan dua sosok itu dari jauh, sayup-sayup pembicaraan mereka dibawa oleh angin, begitu juga bunyi napas mereka berdua setelah bibir mereka sempat bertaut satu sama lain.

"Rien!" ucap wanita bertubuh tinggi itu ketika Riena menjilat bibirnya seusai mereka berciuman. Riena terkekeh. "Kebiasaan, deh! Gimana kalau ada yang lihat?"

"Ih, gapapa 'kan, kak? Aku sama Agnes juga sering begini."

Wanita itu kemudian mengusap kepala Riena, layaknya sosok kakak yang penuh kasih pada sang adik yang lebih muda.

"Sampai kapan kamu bakal sama Agnes? Aku nggak sabar mau ngehabisin waktu lebih banyak sama kamu, sayang."

Riena nyengir, "Ada temenku yang lagi berusaha ngedekatin Agnes," tukasnya. "Kak Pasha bener banget, Agnes tuh baik. Dia juga nggak keberatan kumpul-kumpul. Sesuai ucapan kakak."

"Kakak nggak keberatan, sih, misal ternyata Agnes tetep mau sama kamu. Kita bertiga juga enak-enak aja kayaknya," Pasha berujar. Agnes sedikit takjub karena dia tidak menyangka kakak tingkatnya itu ternyata lebih aktif dari yang semula dikiranya. Kemungkinan sikapnya yang selalu ramah dan rendah hati itu sekedar sampulnya saja. "Agnes manis, sih."

"Heh, ternyata ada lagi kesamaan kita, sama-sama suka Agnes," sahut Rien puas. "Yah, aku nggak tahu sih, kak, kalau Agnes bakal mau sama nggak, nanti deh aku coba tanya juga. Daripada repot, iya 'kan?"

"Hei, nggak boleh begitu kamu," sahut Pasha sambil terkikik. "Kamu toh juga suka sama Agnes."

Agnes tidak tahu apa yang diharapkannya, sebenarnya. Dia mungkin sudah memperkirakan hal buruk, dan ini di luar ekspektasinya. Mereka masih bisa bersama, tetapi Riena—juga Pasha—mereka seperti memperlakukan hubungan ini sebagai main-main.

Dan itu adalah ketika Agnes hendak menarik garis batas. Dia tidak sudi memperlakukan hubungan ini sekedar pada 'suka' dan 'senang'.

Agnes menghela napas pendek, matanya menatap mereka berdua nyalang, tetapi juga dia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa setelah mendengar kenyataannya. Dia mencari ponsel dan mengirim sebuah pesan ke Riena.

'Malam ini aku bakal ke kost, kamu lagi nggak ada apa-apa 'kan?'

Agnes memerhatikan ketika Riena segera membalas pesan Agnes dari kejauhan, selayaknya biasa, ketika dia masih bersenda-gurau dengan Pasha sambil merangkul wanita itu.

'Boleh, ada apa, Nes?'

'Aku kangen.'

Bagaimana pun juga, Agnes masih sayang - dan dia ingin memanfaatkan kesempatan terakhir ini untuk merengkuh Riena, barang semalam lagi saja.

Semalam itu akan menjadi cukup baginya. Dia memang naif, tapi bukan berarti dia bodoh. Dia tidak akan turut bermain dalam ritme orang lain sekedar untuk kepuasan mereka, walau Agnes tidak ingin segalanya berakhir.

Malam ini adalah malam terakhir bagi mereka sebagai seorang pasangan, begitu Agnes memutuskan—dan dia akan mengingat malam ini lebih lekat di banding malam-malam lainnya, ketika Agnes melayangkan sebuah pembalasan, dan juga bersandar pada cinta yang kosong.

. . .

Agnes masih ingat lagu ini diputar di dekat kantin kampus, pagi-pagi buta itu cuma ada petugas kebersihan dan penjaga kantin pojok yang hendak mulai memasak.

Selepas malam itu, Agnes meninggalkan kamar Riena pagi-pagi buta dengan sengaja, alih-alih mengambil sesuatu yang tertinggal di kosnya sebelum berangkat ke kampus. Tubuhnya sendiri masih hangat dan harum oleh wangi tubuh Riena, dan kehampaan di hatinya semakin membesar seiring mereka bersentuhan dari malam hingga pagi yang menjelang.

Agnes meminta mereka berdua bertemu lagi di kantin, tempat kesukaan Agnes yang kini menjelma menjadi tempat yang dibencinya. Musik kantin pagi selalu dikuasai oleh Agnes, lagu-lagu populer dengan lirik seadanya dengan melodi yang dijamin terngiang-ngiang sampai nanti.

Agnes pun duduk menunggu, keputusannya bulat dan sikapnya tegar. Entah apa yang mendorongnya saat itu - adrenalin, atau perasaan membuncah untuk segera mengakhiri.

Riena pun datang sesuai harapannya, sikapnya malu-malu pagi itu karena Agnes cukup agresif semalam, meninggalkan jejak yang Riena sedikit banyak tutupi dengan syal seadanya.

Agnes masih ingat dingin bangku panjang besi kantin tempat mereka bertemu untuk terakhir kalinya, walau kemarin mereka baru saja menghabiskan malam bersama - tertawa, bercanda, bercumbu mesra.

"Hari ini kita putus, 'kan?"

Saat Agnes membuka pembicaraan itu, Riena tergemap. Wanita itu berusaha tertawa kecil, seakan Agnes tengah bercanda.

"Kenapa tiba-tiba? Kamu ... bosen?"

"Loh, kamu bukannya sudah dapat Kak Pasha?" sambut Agnes lugas. Riena pun pucat pasi.

"Jadi tadi malam itu ..." Riena seperti menyadari sesuatu. Agnes pun sekedar menghela napas panjang. Sikapnya yang berubah cepat dari tenang menjadi dingin membuatnya merasa bukan seperti dirinya sendiri, tapi seterusnya Agnes merasa ini adalah reaksi dari dirinya sendiri.

Reaksi yang timbul karena sudah lama kecewa.

"Kurasa kamu nggak ada pembelaan, ya, Rien." Agnes melanjutkan dengan getir. Riena sekedar tertunduk. "Kalau begitu, sudah, ya. Sana kalau mau senang-senang sama yang lain."

Agnes yang memutus. Agnes yang menyesal. Lagi, Agnes juga yang tidak lagi melihat ke belakang setelah itu, atau mencari sosok serupa atau sosok pengganti Riena.

Sudah cukup. Sudah cukup dia menjadi yang naif. Sudah cukup dia mudah terlena, mudah terbawa arus.

Walau demikian, bukankah itu apa yang 'Agnes' selalu lakukan, untuk merasa dirinya dapat diterima di mana-mana?

Agnes terbangun dengan mata sembap dan tubuh yang terasa berat.

Dia tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam, selain dia ingat bahwa dia dan Pak Bara makan bersama di luar. Seketika pusing di kepalanya mereda dan penglihatannya lebih fokus, Agnes pun terkesiap. Dia terkaget-kaget, menduga bahwa tempat yang tidak familier ini adalah rumah Pak Bara, dan parahnya, mungkin dia dan Pak Bara telah—

Agnes terduduk, memerhatikan kondisinya. Pakaian yang melekat di tubuhnya adalah kemeja yang dia kenakan kemarin malam, hanya dikendorkan di beberapa bagian agar dia lebih rileks dan nyaman. Agnes pun menghela napas lega. Dia mencengkeram sisi sprei, melihat sekeliling ruangan yang tampak kosong, sekedar berperabot cukup tanpa banyak hiasan.

Kasur yang ditempatinya ini begitu rapi berselimutkan linen berwarna merah bata. Tirai yang warnanya senada dengan sprei menghalangi sinar matahari yang terik menembus langsung dari jendela. Ada sebuah kaca rias berukuran sebadan di tepi kamar, dan sebuah lemari baju. Di samping kaca rias ada meja kecil serbaguna yang tampaknya menaruh beberapa kotak-kotak barang yang juga tersusun sangat rapi. Selebihnya, tidak ada hal berarti di kamar itu, seakan memang fungsi kamar itu hanya untuk tidur, berias, dan berganti pakaian.

Agnes berusaha mengingat-ingat. Dia dan Pak Bara sudah berpisah jalan, dan dia di tengah kepanikannya berusaha memanggil kakaknya.

Tapi kamar ini bukan kamar milik kakaknya. Dia juga tidak mencium wangi khas kekasih kakaknya, Sylvia, yang senang sekali dengan harum lavender.

Merasakan dia sudah lebih segar dan dia tidak lagi gemetaran, Agnes pun turun dari kasur, menjejakkan diri di kamar yang dingin, dan menuju luar ruangan.

Agnes mendapati dirinya berada di sebuah rumah sederhana yang segala bagiannya tampak terlihat begitu dia mengintip sedikit ke arah luar. Di seberang kamar yang dia tempati ada kamar yang tertutup, dengan penanda nama 'Harald' terpampang di sana. Sebuah nama yang asing baginya.

Dia pun menutup pintu, mengedarkan pandang ke arah ruang tengah yang tengah dihuni oleh seorang yang tidak asing baginya, lagi mengagetkan bagi Agnes.

Begitu mendengar suara derit pintu, sosok itu pun bangkit dari sofa ruang tengah. Beliau terlihat berbeda dengan rambut hitam digerai, kaos oblong abu-abu dan celana panjang jogger berwarna hitam. Kacamatanya absen dari batang hidungnya, membuat sosoknya sejenak terlihat asing.

"Agnes?" panggil beliau, tampak dia cukup khawatir, kalut. Dia menghampiri Agnes dan matanya segera memeriksa. "Kamu nggak apa-apa?"

Agnes tersentak. Dia melangkah mundur sesaat Grace mendekatinya terburu. Grace menyadari itu dan segera menarik tangannya.

"Maaf, bukan maksud saya lancang," ungkap wanita itu. "Duduklah. Saya buatkan teh, ya?"

Agnes mengangguk pelan, masih belum menemukan suaranya saat Grace menuntunnya untuk duduk di ruang tengah. Agnes menyadari seperti tidak ada orang lain disana selain mereka berdua, dan kondisi sofa yang ada bantal dan selimut, sepertinya Grace menghabiskan malam di sana.

Agnes pun menarik pandang ke kamar yang ada di seberang kamar yang ditempatinya, tertegun. Ia lalu melirik ke arah dapur yang letaknya tidak jauh dari ruang tengah, terpisah oleh sekat kayu yang menjadikan rumah itu terlihat rapi lagi luas.

Grace menyiapkan ceret, menyajikan dua cangkir teh. Agnes melihat sekilas di sekitar konter dapur itu ada banyak sekali jenis teh, juga kotak-kotak berisi kopi dengan segala label. Sama seperti ruangan yang ditempati Agnes, keseluruhan rumah itu seperti ditata dan berfurnitur sesuai fungsinya.

Agnes menatap punggung itu, bertanya-tanya pada dirinya sendiri bagaimana gerangan dia bisa ada di sana dan Bu Grace lagi-lagi menjadi penolongnya.

Tidak lama setelah ceret bersiul, Grace menuang air hangat di masing-masing cangkir, ia lalu menyajikan minum di meja tengah.

"Maaf saya belum sempat merapikan itu," ucap Grace melihat sisi sofa panjang yang masih awut-awutan.

Agnes menggeleng cepat, "Ngg, nggak apa-apa, Bu. Ini ... ini 'kan rumah Ibu?"

Grace menyunggingkan senyum, dia segera bergerak untuk menarik dan melipat selimut, lalu menumpuknya rapi di tepi sofa bersama bantal. Grace lalu duduk di sisi sofa itu, sementara Agnes duduk di kursi lengan di sisi kanan sofa.

Agnes melihat cangkir. Teh hitam jasmin. Wanginya kuat lagi menenangkan. Harumnya mulai mengisi ruangan, membelah sepi.

"Saya paham kamu mungkin merasa bingung, saya akan mencoba menceritakan apa yang terjadi tadi malam," ungkap Grace.

Grace pun menceritakan dengan pelan, dengan banyak sekali jeda, seakan dia sangat menjaga Agnes untuk tidak merasa terlalu tegang. Dia menerima telpon dari Agnes malam itu, panggilannya yang meminta tolong. Grace bergegas menjemput Agnes di lokasi, dan menemukan Agnes dalam keadaan limpung.

"Kamu minta pulang. Saya merasa nggak sopan kalau masuk tempat kamu tanpa izin, jadi ..." Grace memandang rumahnya. "Saya bawa kamu ke rumah saya."

Rumah satu lantai itu kini terasa lebih akrab di mata Agnes. Tata letak dan kerapiannya sangat mencitrakan sosok Grace. Agnes merasa lebih tenang sekarang.

"Apa yang ... terjadi tadi malam, kalau boleh saya tahu?" Grace mengecilkan suaranya. "Andai kamu belum mau bicara, nggak apa-apa."

Agnes menunduk sejenak, dan ia tetap terdiam, sekedar memegang cangkir hangat teh di genggamannya dan tidak berkata apa-apa. Grace tidak memaksa, dan turut diam. Dia sekedar duduk di sana bersama Agnes, tidak sontak angkat bicara selama beberapa jenak.

Sunyi itu tidaklah terasa berat. Agnes sesekali mencoba untuk minum teh yang sudah sedikit mendingin. Grace tidak meninggalkan tempatnya, sekedar menjawab panggilan masuk yang tampaknya dari Bu Melissa, tapi dengan cepat dia akhiri.

"Ya ampun, si Melissa, bugar amat. Kemarin kayaknya dia baru balik dari kelilingan, hari ini udah mau ngajak touring kecil." kekeh Grace setelah mendapati telepon itu. Grace menolak halus ucapan Melissa dan Bu Melissa yang senantiasa meledak-ledak mengiyakan saja dengan riang.

"Ibu jarang ... jalan sama mereka?"

"Melissa? Yah, dia memang nggak bisa diam. Pasti weekend mau ngeloyor aja, nggak setiap weekend saya ngeladenin dia, saya juga mau santai-santai di rumah," sahutnya gamblang. Agnes mengingat sedikit banyak pembicaraannya dan Pak Bara kemarin, ketika Pak Bara bilang kalau Bu Grace jarang jalan. "Bara nggak suka touring pake motor, jadi kalau Melissa ngajak Bara, langsung ditolak."

Motor—Agnes mengerjap. Terbersit di benaknya ingatan soal sesuatu. "Tadi malam ibu naik motor?"

"Iya. Harusnya sih saya jemput kamu pakai taksi biar lebih aman tapi ... saya terburu-buru," pungkas Grace. "Untungnya kamu masih bisa naik motor. Saya berhenti terus setiap jalan, memastikan kamu nggak apa-apa."

Agnes terkesiap, "A—Ah, maafkan saya sudah ngerepotin Ibu lagi—"

"Nggak apa-apa, Nes. Nggak apa-apa. Kamu juga dalam kondisi panik." ucap Grace. "Syukurlah tapi kamu masih bisa coba panggil bantuan."

Grace kembali berdiri dari sofanya, pandangannya kembali ke arah dapur. "Kamu nggak lapar? Mau makan apa?"

Agnes kembali menurunkan pandangannya, "Saya kayaknya belum mau ... makan apa-apa, Bu," dia memutar bola matanya. "Saya boleh pinjam kamar mandi?"

Grace menunjuk arah lurusan dari dapur, "Di sebelah kanan, ya. Pakai saja handuk di sana, ya."

Agnes mengangguk mengiyakan, berharap mungkin dengan mandi atau sekedar berdiam diri di bawah kucuran air, dia sudah bisa kembali berpikiran jernih.

Masa lalu dengan Riena. Sosok Bara. Lalu dia yang entah kenapa memanggil bantuan dan Grace datang...

Benang kusut di pikirannya yang carut-marut satu persatu harus diluruskan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro