28 Oktober, 17:04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang Agnes rasakan hari itu adalah ketegangan sepanjang hari, padahal itu baru saja hari kedua dari minggu yang baru.

Ingin rasanya Agnes mengambil satu hari untuk cuti, namun segalanya terlalu mendadak, mengingat tim Planning dan Marketing sedang sibuk-sibuknya setelah proposal mereka diterima oleh tim Purchasing dan sudah diteruskan. Selain itu, Agnes juga mengerjakan beberapa laporan analisis SWOT yang baru saja masuk ke surel kerja tim Planning, dibarengi dengan rancangan anggaran belanja sebelum diteruskan ke tim Marketing dan diperiksa tim Purchasing. Pusing memang, tetapi lebih baik sibuk dibandingkan diam termangu bertopang dagu menunggu.

Akan tetapi, alur hari itu pun tidak juga mengaburkan Agnes soal acara yang ada di depan mata.

Ia baru saja kembali menemani Bu Melissa untuk berbicara dengan salah satu klien perusahaan, ketika mereka ke ruangan lantai dua itu untuk menemukan Pak Cliff dan Pak Bara sedang bercengkerama. Satu botol berleher ramping dengan ujung gendut ada di tangan, sepertinya merupakan salah satu anggur koleksi Pak Bara.

Belantara kantor bagian Planning/Marketing sedang sepi hari ini karena para kelompok yang bergerilya ke luar belum kembali. Kalau ramai, mungkin banyak yang sudah curi-curi pandang ke Pak Bara sambil sok-sok lewat di meja Agnes atau Pak Cliff. Apalagi karena hari ini Pak Bara tampil cerah tanpa blazer ataupun rompi, sekedar kemeja garis-garis berwarna biru yang dipadu dengan celana navy. Sepatu coklat kulitnya sangat mesra sebagai pelengkap penampilannya. Pak Cliff yang tampak rapi dengan kemeja polosnya seperti biasa pun terlihat biasa saja dibandingkan Pak Bara.

"Yakin mau buka itu nanti, nggak sayang?"

Pak Cliff bertanya ke Pak Bara yang mengusap-usap muka botol sebelum akhirnya ia taruh di meja panjang yang sudah dihadirkan, bersama dengan botol-botol bir dan anggur lain yang sudah datang. 'Makanan nanti menyusul,' kata salah satu orang Purchasing tadi ketika mereka mendatangi sisi Planning/Marketing untuk menyiapkan meja.

"Sudah kelamaan disimpan juga, Lif." Pak Bara menjawab, senyumnya kelam dalam nostalgia, apik dan menerawang. "Itu yang dari zaman kakekku, kamu masih ingat 'kan pas aku pamer-pamer itu pas kuliah?"

Agnes tidak terlalu memperhatikan, namun karena meja Pak Cliff dekat dengannya, ia menangkap penuh pembicaraan tersebut, belum lagi ditambah Bu Melissa yang segera nimbrung. Ia bukan penikmat bir veteran, Agnes hanya mendengarkan sembari melihat data-data yang ia kerjakan siang tadi. Pesta kecil-kecilan itu akan dimulai jam setengah tujuh malam, diharapkan semua anggota Planning/Marketing dan Purchasing sedang tidak lembur atau masih di luar kantor karena bekerja.

"Kenapa pestanya hari ini, Bar? Enakan kalau sebelum weekend biar bisa minum sampai puas, 'kan?" celetuk Bu Melissa.

"Sori, Kamis ini gue sama Bu Grace mau ada acara ke luar kota," mendengar nama itu, Agnes terkesiap di kursinya. Ia hampir salah membubuhkan angka di salah satu sel kosong spreadsheet yang ia periksa. "Terus anak-anak nggak mau ditunda-tunda lagi, takutnya malah jadi wacana. Jadi ya, gas aja."

"Salah kalian berdua sibuk banget sih! Kayak tim Marketing dong, jalan-jalan hampir tiap bulan!" Melissa membusungkan dada.

"Ya emang Marketing tugasnya jalan-jalan," Pak Bara menyenggol siku Bu Melissa, ia hanya tergelak. Wanita bersurai coklat pirang itu memiliki bentuk tubuh yang cukup besar, hasil rajin nge-gym, katanya. Senggolan Pak Bara tadi tidak membuat Bu Melissa goyah sama sekali.

"Sampai nanti malam, ya. Gue rampungin laporan bulanan dulu."

Agnes menatap gamang refleksi Pak Bara yang melenggang pergi menuju bilik kaca dari sisi layar komputernya. Satu nama terus terngiang di kepala. Sudah lumrah kalau Pak Bara yang merupakan orang kedua di tim Purchasing mengekori Bu Grace yang notabene ketua mereka, kenapa Agnes jadi ketar-ketir sendiri?

"Kenapa, Nes?" Pak Cliff bertanya tiba-tiba dari seberang meja.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kebetulan ingat saya belum stok makanan di kulkas rumah." Hanya itu alasan yang bisa ia karang, klise memang, tapi biarlah.

Fokus, Agnes. Kita nggak ada overtime pay malam ini karena pesta. Kerjaan harus cepat-cepat selesai.

Seusai menyemangati diri, jarinya kembali lincah di atas papan ketik. Tidak ada yang bisa mengalahkannya kalau ia sudah masuk zona-nya. Tidak ada.


18:54


Setelah molor kurang lebih dua puluh menit karena menunggu tim Marketing pulang ke kandang, acara tersebut akhirnya resmi dibuka. Gelas-gelas segera berdenting, bersamaan dengan piring-piring dan gesekan sendok dan garpu sejenak makanan dan minuman segera bergulir.

Agnes mengedarkan mata sejenak ke arah kerumunan yang mengantri makanan. Ada juga mereka yang langsung mengambil gelas dan menuang sampanye dan anggur yang tadi dibuka dengan bangga oleh Pak Bara tanpa berpikir untuk mengisi perut.

Para penikmat pesta tidaklah berhias mewah atau berpakaian bagus - kebanyakan mereka telah lelah dari hari kerjanya dan melepas dahaga dengan makanan dan minuman yang disediakan di atas meja. Meja yang disiapkan di antara kaca pembatas lahan tim Purchasing dan tim Marketing kini ramai dikerumuni oleh karyawan dari dua sisi, pembicaraan terus mengalir akrab dan ramai.

Setelah berpikir-pikir untuk mencoba mengikuti satu atau dua grup untuk bersenda gurau, Agnes akhirnya memutuskan untuk berdiri di samping Nora, yang tengah menyambang soda dingin kalengan dari kotak es yang disediakan, pemilik surai biru itu mengipas-ngipas leher, merasa gerah karena ia baru saja kembali ke kantor. Sampanye di tangan Agnes masih mengeluarkan buih nikmat. Ia memilih untuk diam hari ini.

"Nggak ambil kue, non?" tanya Nora selepas menenggak isi kaleng.

"Lagi nggak ingin makan." jawab Agnes singkat.

"Diet kah?"

Agnes menggeleng, "Beneran lagi nggak pengen."

"Yaudah, aku ke bagian buffet dulu, kayaknya itu ayam panggang enak."

Memperhatikan Nora menghilang dari sisi matanya, Agnes menghela nafas sejenak. Perhatiannya ia alihkan ke sampanye yang ia ambil, mencecapnya sedikit untuk memastikan rasanya. Dingin dengan belaian sitrus dan mawar, sesuai dengan bagaimana Pak Cliff menyebutkan bahwa Pak Bara seleranya tinggi mengenai minuman. Sejenak, ia memejamkan mata, membiarkan sensasi manis itu membekas di lidahnya seraya berpikir - alkohol memang punya kemampuan untuk membuat seorang melupa, walau efeknya cukup fana.

Apa yang sebenarnya ada di pikirnya, kecewa? Rasa bersalah yang luar biasa? Agnes perlahan memutar waktu di dalam sadarnya untuk mengingat apakah ia pernah mengalami hal yang sama.

Ini bukan kali pertama ia menolak orang. Bahkan, beberapa 'kandidat' yang dilempar sang kakak ada yang tidak ia beri kesempatan untuk membuktikan diri saking dongkolnya dia dengan kelakuan kakaknya itu.

Lalu, kenapa?

"Nes? Kenapa kamu sendirian di pojokan begini?"

Suara yang memanggilnya itu bukan Nora yang senantiasa mengejek, bukan juga Pak Cliff yang menanyakan kabarnya selayaknya bos ke bawahan. Agnes membuka mata untuk menatapi Bu Grace dan segelas jus jeruk di tangannya. Tatapannya lembut, basa-basi jelas terdengar di ucapannya.

"Saya lagi nunggu teman," pungkasnya. "Dan saya juga bingung mau makan apa dulu."

Kekeh kecil meluncur dari bibirnya, senyumnya terulas sederhana. "Begitu. Saya rasa Bara memang pesannya kebanyakan."

Wow, awkward. Batin Agnes dalam hati, merasa nafasnya tercekat di antara tenggorokan namun tidak ada ide untuk melanjutkan pembicaraan.

"Omong-omong, saya mau bilang terima kasih."

"Ke saya?"

"Dorongan kamu di rapat kemarin sangat membantu untuk tim Purchasing." pujian itu meluncur. Singkat, namun membuat Agnes terpana dalam jenak. "Tim jadi lebih semangat dan berhasil meyakinkan pembahasan itu ke bagian pendanaan."

Profesional, Agnes, profesional. "Oh, bagus kalau begitu, Bu."

Agnes baru sadar Bu Grace tidak berpakaian setajam biasa. Hari ini blazernya menggantung santai di atas bahu, tidak ia kenakan lengannya. Sweater berkerah tinggi berwarna krem kecoklatan menggantikan kemeja blus yang senantiasa dipakainya. Rok panjang berbahan katun hitam menambah keserasian, ditambah wedges dongker dengan hak rendah.

"Ah, maaf, saya ganggu kamu, ya? Kalau begitu saya permisi."

"Nggak kok Bu!" lidahnya kelu. Kenapa ekspresi itu yang lebih dulu muncul untuk membalas? Ah, mungkin ia merasa tidak enakan.

"Graaace! Sini dong! Minggu depan lo cabut sama Bara kan!?"

Pekikan Bu Melissa membelah ruangan, di sisi meja yang digandrungi kudapan manis, tampak beliau ada bersama Pak Bara dan Pak Cliff, sementara karyawan-karyawan lain membentuk koloni masing-masing.

"Selamat menikmati pestanya, Nes." Bu Grace mempersilahkan dirinya pergi sebelum Agnes sempat berkata-kata.

Ia tertegun, memperhatikan punggung itu pergi seraya pertanyaan-pertanyaan refleksi diri satu persatu mulai timbul lagi. Nora belum menunjukkan tanda kembali, masih sibuk mengisi piring, dan Agnes sendiri di sana dengan sampanye-nya.

Mungkin satu atau dua gelas tambahan ia perlukan sekarang untuk berpikir lebih ringan, lebih jernih.


20:43


"Nes, kamu serius nggak kebanyakan minum?"

Nora duduk di sampingnya yang bersandar nyaman di salah satu kursi. Riuh-rendah pesta masih terasa di udara, ditambah dengan musik-musik yang secara impromptu disetel oleh beberapa karyawan Marketing melalui speaker utama ruangan. Lagu pop kekinian bergiliran dengan lagu-lagu sendu zaman dahulu, entah siapa yang menyusun daftar musiknya.

Sementara, Agnes sudah tidak menghitung berapa gelas yang telah ia habiskan seraya larut dalam dunianya sendiri. Kepalanya memang makin ringan, tetapi alur pikirannya semakin lama semakin memutar. Ia masih bisa berbicara normal dengan Nora di sampingnya, berarti ia belum mabuk.

"Masih mau tambah lagi?"

Agnes mengangguk. "Satu."

Nora menggeleng-gelengkan kepala. "Udah lama nggak lihat kamu bablas begini. Masih soal kemarin?"

"Entah." Kembali mengalir manis yang menjelma menjadi pahit. Agnes duduk lebih dalam di kursinya.

Agnes menatap Nora lamat-lamat, suara wanita itu terasa menjauh setelah ada suara lain yang memanggil, tampaknya Bu Melissa - dari suara kalem dan beratnya. Ia mulai terpejam. Bayangan-bayangan muncul di benaknya, menjelma menjadi penyesalan yang semula ia lupakan.

Ia masih ingat lagu ini diputar di dekat kantin kampus, pagi-pagi buta itu cuma ada petugas kebersihan dan penjaga kantin pojok yang hendak mulai memasak. Musik kantin pagi selalu dikuasai olehnya, lagu-lagu populer dengan lirik seadanya dengan melodi yang dijamin terngiang-ngiang sampai nanti.

Ia masih ingat dingin bangku panjang besi kantin tempat mereka bertemu untuk terakhir kalinya, walau kemarin mereka baru saja menghabiskan malam bersama - tertawa, bercanda, bercumbu mesra.

"Hari ini kita putus, 'kan?"

Netranya meremang, mencoba kembali ke hari kemarin, ke hari di mana ia belum mengenal sesal. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro