29 Oktober; 11:03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinta itu, sebenarnya seperti apa? Apakah cinta itu memiliki bentuk? Apakah cinta itu datang dan dengan mudah disadari? Atau cinta datang menyelinap di sela-sela hari lalu kemudian pergi? 

Tidak, bukan berarti Agnes ingin sekali berpacaran. Agnes sekedar penasaran - ia tidak pernah tahu apa yang dimaksud orang-orang kebanyakan ketika mereka membicarakan tentang kehidupan kasih mereka. 

Berada di tengah-tengah komunitas yang menerima identitas seksualnya adalah hal yang membuatnya nyaman. Di tempat itu juga, Agnes menangkap cerita-cerita dari belasan hingga puluhan mulut, mengalir datang dan pergi laksana arus. 

Tentu, tidak semua kisah memiliki akhir bahagia atau berawal mulus, banyak juga yang kandas seperti cerita cinta pertamanya di masa sekolah, cerita yang selalu ia simpan rapat-rapat ketika mendengar yang lain menyuarakan pengalaman mereka.

Ada mereka yang menemukan separuh jiwanya dan hendak pergi menyambung tali kasih di luar negeri. Ada mereka yang larut dalam manis pahit nada yang bertepuk sebelah tangan. Ada juga yang tidak menyerah mengalami serangkaian penolakan. Ada pula mereka yang senantiasa mendengar, hanyut dalam suasana. 

Kala itu, Agnes sangat ingat, ia tengah hadir di pertemuan biasa tiap bulannya. Malam itu mereka berkumpul di salah satu bar langganan si kepala komunitas, letaknya tidak terlalu jauh dari kampus tempatnya menuntut pendidikan. Ia sudah berumur cukup untuk memesan alkohol, namun ia tidak ingin mabuk malam itu. Agnes hanya terdiam di bibir konter utama sambil menyesap mocktail dan menjauhi mereka yang menyalakan rokok. 

Malam berjalan lebih lambat ketika seseorang datang mengambil tempat duduk di sampingnya, orang yang belum pernah Agnes lihat hadir di komunitas mereka. Wanita muda itu memiliki surai coklat kemerahan yang diikat kuda, seperti berulang-ulang tertimpa sinar matahari terik yang menyiksa. Jaket kulit hitam yang ia kenakan terlihat mengilat di bawah sinar lampu remang bar, serasi dengan celana jins baby blue yang menyertai.

"Orang baru?" tanya Agnes.

"Kurang lebih. Biasanya aku ikut kalau mereka nongkrong di kafe selatan," sergahnya dengan senyum tersungging. Citranya sejenak supel di benak Agnes. "Namaku Riena. Panggil aja Rien."

"Aku Agnes."

"Agnes." Rien tampak mengulir nama itu di lidahnya. Manis, pikir Agnes. "Kamu udah lama ikut di sini?"

"Lumayan. Tapi bukan anggota senior maupun veteran." 

Agnes mengedikkan bahu. Pandangannya ia lempar ke lantai dansa, beberapa yang dianggap 'tetua' sudah mulai menarik orang lain untuk menari bersama.

Mendadak, Rien mengulurkan tangan terbuka, wajahnya sedikit merona. "Gimana kalau kita ikut juga?"

Agnes tidak terbiasa menolak tawaran yang datang tiba-tiba. Lagi, hingga saat ini, Agnes terus mempertanyakan kenapa ia menyambut tangan tersebut dengan tergesa, seakan ia tidak ingin tertinggal satupun momen yang ada. 


Ada suara getaran kasar cukup lama di sampingnya, yang akhirnya berakhir setelah matanya terbuka.

Agnes mencoba menaikkan kepala, tetapi dengan cepat usahanya terkulai percuma. Sakit kepala datang seperti gema, terus menekan kedua sisi kepalanya sambil ia meronta. Butuh waktu cukup lama untuk dia sadar bahwa ia ada di atas kasur berbantal lembut yang familier, dan akhirnya usahanya untuk mencoba bangun dari pulau kapuk membuahkan hasil.

Matanya mengedar menangkap dirinya ada di rumahnya - apartemen satu kamar yang dia sewa dengan harga cukup miring di area downtown. Ia terbungkus hangat di dalam selimut, namun ia masih memakai baju hari kemarin.

Gawai yang tersimpan di meja sebelah kasurnya kembali berdenyut. Agnes pun menyerah untuk mengabaikan ponselnya.

Telepon masuk dari Nora.

"Iya kenapa, Ra? Bentar lagi aku ke kantor."

Nora di seberang lini terkekeh.

"Coba lihat jam sekarang."

Ia menarik gawainya untuk dihadapkan dengan waktu yang menunjukkan pukul sebelas siang. Agnes sekejap bungkam, sebelum ia akhirnya memekik. Ia beringsut keluar dari kasur dan menarik gusar tirai yang membatasi jendela dengan dunia luar. Dan benar saja, matahari sudah tinggi, sinarnya sangat terik menghantam matanya yang masih setengah terbuka.

"Santai, santai. Bu Mel tahu kok seberapa mabok kamu kemarin. Bolos sekali-sekali nggak masalah kan?"

"Tapi-"

"Apa kataku barusan? Udah, nggak apa-apa." Nora mengulang, walau itu sangat tidak membantu Agnes. Ia hanya bisa menghela nafas panjang. 

Bisa-bisanya dia terlalu mabuk hingga bablas tertidur dan melewatkan jam kantor. Dia sudah bukan mahasiswi yang punya sepeser waktu untuk berfoya atau titip absen. 

Agnes menekan batang hidungnya, mencoba menahan sakit kepala yang tampak akan menyengat lagi karena stres yang melanda. "Kamu yang antar aku pulang tadi pagi, Ra?"

"Eh? Baru aja aku mau nanya itu." Agnes mengerjap. "Kemarin aku disuruh Bu Mel nganterin beberapa anak marketing yang teler."

"Bu Melissa mungkin yang udah nganter aku?" tanya Agnes kembali, spekulatif. Sudah tidak datang ke kantor karena ketiduran, di tambah lagi merepotkan bos. Menyedihkan. "Aku nggak ingat apa-apa, serius."

"Ya udah kalo kamu aman-aman dan nyaman-nyaman aja, nggak masalah. Nanti kutanya Bu Mel pas dia balik dari rapat."

"Aku aja yang ngomong, Ra. Aku sudah ngerepotin Bu Melissa pake banget. Nanti kutelpon beliau habis jam makan siang."

Seusai mengakhiri pembicaraan, Agnes kembali menghempaskan diri di kasur. Ia mengerang menyesal, berguling selama beberapa menit sambil bergumam ratusan racauan kata-kata tidak jelas sebelum akhirnya ia terduduk lagi, mendecak penuh gusar. Untung saja tidak ada tambahan denyut sakit kepala berarti akibat dia teler semalam.

Mungkin ia butuh mandi, juga butuh makan siang untuk menaikkan mood sembari bertanya pada Pak Cliff tentang kerjaan yang bisa ia bantu dari luar kantor.


--

12:14

Affogato menjadi tujuan Agnes setelah bebersih dan menghubungi Pak Cliff. Setidaknya, secangkir kopi hitam decaf dan kerjaan dengan tengat waktu mampu menjadi pelipur lara dari kegagalannya di hari itu, ia harap. 

"Selamat datang, lho, Nes? Tumben datang jam segini?"

Senyumnya merekah ketika melihat teman baiknya yang bekerja sambilan di Affogato menyapa. Irene mempersilahkan Agnes ke kursi favoritnya yang menghadap taman di sentra restoran tersebut, juga menyisipkan buku menu ke hadapannya. Mata Irene mengerling penuh harap sambil menunggu, tangannya tidak bisa diam memutar pulpen atau membalikkan halaman nota. Gestur itu bukan menandakan wanita muda dengan rambut bob coklat keriting itu kurang sabaran, Irene memang susah sekali diam.

"Kopi decaf hitam."

"Makanannya gak sekalian?" tawarnya dengan lembut, kedua alisnya naik sugestif. Senyum Agnes pun terkembang.

"Tadinya sih aku nggak mau makan, tapi oke, lunch set A."

"Laksanakan!"

"Kalau sif-mu udah kelar, kesini aja, ya? Sekalian kita ngobrol-ngobrol."

"Oh, kamu bakal lama di sini, Nes?"

"Sampai kerjaanku kelar. Mungkin sampai malam."

Irene memberikan satu jempol naik, ia segera pergi menyampaikan pesanan ke arah dapur. 

Agnes lalu mengeluarkan laptop dari tasnya dan mulai membuka surel yang ia khususkan untuk urusan kantor. Satu pesan sudah masuk dari Pak Cliff, tentang data-data konsumen yang perlu disortir dan di cek kembali sebelum diberikan ke Tim Marketing. 

Belum kopinya datang, gawainya yang berdering lebih dahulu dengan telepon masuk. Bu Melissa, begitu layar gawainya berbicara. Artinya, rapat Bu Melissa berakhir lebih cepat dari perkiraannya. Baru saja ia bilang ke Nora kalau ia akan menghubungi sendiri bos marketing itu karena sudah merepotkan, tampaknya ia menambah daftar panjangnya sebagai pegawai yang membuat repot. 

"Siang, Bu Mel, ada apa Bu?" jawabnya santun. 

"Denger dari Nora nih, perihal semalam." Nada itu selalu santai, tidak pernah menggurui. "Bukan saya kok, yang antar kamu pulang. Jadi kamu nggak perlu berhutang budi sama saya~"

Sejenak kalimat-kalimat manis yang sudah ia persiapkan untuk memohon maaf kandas. Matanya terbelalak sempurna. "Maksud Ibu?"

"Saya kemaren kerepotan karena beberapa orang tumbang teler, jadi saya cukup kebingungan karena kamu nggak ada yang bisa nganterin pulang," entah kenapa, keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya, tanpa sadar. "Untung Grace menawarkan diri."

Agnes mengulum bagian dalam mulutnya, menahan desis dan teriak. Orang terakhir yang dia harap berhutang budi ternyatalah yang mengantarnya pulang! "B-Bu Grace!?"

"Pakai taksi, tapi karena kamu benar-benar nggak sadar, Grace kayaknya ngedampingi kamu sampai rumahmu? Ibu dapat alamatnya kemarin dari Nora sih." Hatinya tidak berhenti mencelos. "Gak sempet tanya-tanya lagi, sih. Dia hari ini kan langsung cus sama Bara tugas ke luar. Tapi kamu nggak apa-apa kan? Ga pusing atau apa?"

"Saya baik, Bu. Ini lagi mau kerjain tugas dari Pak Cliff."

"Bagus deh, kalo gitu. Istirahat ya, ada beberapa anak marketing yang tumbang," tawanya ringan. "Oke, saya tutup ya?"

"Se, sebentar, Bu!" Bu Melissa mendengung mendengarkan interupsinya. Interupsi yang bahkan Agnes tidak pikirkan terlebih dahulu sebelumnya. 

"Boleh saya minta nomor telepon Bu Grace?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro