29 Oktober; 18:52

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu akhirnya diisi Agnes dengan menyesali perilakunya yang terburu lagi impulsif.

Seraya menyelesaikan tugas dan sedikit video call kerjaan dengan Pak Cliff, Agnes sudah memesan tiga gelas kopi. Gelas-gelas kopi itu habis secepat ia memesannya - antara ia menyesapnya sekilat mungkin untuk membuatnya terjaga, atau menambah efisiensi dengan terus menyuplai stok kafein dalam darah, atau untuk mencoba membuyarkan konsentrasinya dari apa yang ia pinta ke bos tim Marketing barusan.

Sekarang, nomor ponsel Bu Grace sudah resmi ada di kontaknya. Bu Melissa memberikannya dengan cuma-cuma tanpa bertanya apa-apa.

Oke, dia hanya akan menelpon untuk berterima kasih. Sudah. Singkat cerita. Tidak perlu ada pembicaraan lainnya. Tidak perlu ada topik lainnya.

Di kopinya yang ketiga, Irene datang membawakan dua gelas namun dirinya sudah berbalut kaus putih santai. Seragamnya sudah ia tanggalkan menandakan sif kerjanya sudah berakhir. Ia melingkarkan kemeja flanel berwarna merah marun di sekitar pinggangnya setelah menaruh kopi untuk Agnes.

"Kamu nggak ikutan minum kopi?"

"Lagi nggak pingin kopi atau teh. Air saja cukup." pungkasnya. "Gimana, kerjaanmu juga udah selesai?"

"Iya, baru saja."

Ia melempar pandang ke layar laptop yang sudah menunjukkan tanda surel telah terkirim ke Pak Cliff. Agnes pun segera menutup laptop dan menatap sempurna Irene yang duduk dengan senyum merekah.

"Jadi, kamu masih nabung untuk kuliah?"

"Mikir-mikir lagi buat kuliah, aku udah nyaman kerja soalnya." tukas Irene, tawanya lepas. "Nanti juga ketemu jalannya."

"Keburu kamu beneran terlalu sibuk kerja."

"Enakan dapat uang dibanding belajar~"

"Hush. Belajar juga penting, tauk." serunya. Sudah kebiasaan Irene untuk mengedikkan bahu dan bersenda gurau seperti itu.

Irene mungkin bukan teman Agnes yang ditemuinya melalui lingkungan sekolah, kampus, maupun kelompok arus pelangi. Tetapi, persahabatan mereka dapat dibilang cukup erat untuk mereka terus bertemu di sela-sela kesibukan masing-masing.

Mereka bertemu pertama kali ketika Agnes mengambil kerja sambilan di salah satu toko buku yang ada di dekat kos-kosannya. Sekedar mengais uang selagi mengisi jam-jam kosong di jadwal kuliahnya merupakan tujuannya. Sudah sejak dulu, Irene selalu mengambil banyak pekerjaan sampingan di usianya yang sangat muda itu. Dirinya bilang kalau ia belum tertarik untuk mengambil pekerjaan permanen, walau pengalaman kerjanya sudah cukup banyak di bidang apa saja, mulai dari pengantar makanan, pekerjaan bangunan, sales personalia, sampai kasir ritel.

Mungkin, kalau Agnes bisa menganalogikan Irene, Irene itu benar-benar seperti angin. Tidak ada yang tahu ke arah mana ia akan berjalan, atau di mana ia akan berhenti.

"Sibuk banget ya, kerjaanmu sekarang? Daritadi kayaknya laptop-gawai-laptop-gawai."

"Nggak juga sih. Kebetulan atasanku santai dan berkompromi." segera Pak Cliff dan Bu Melissa muncul di benaknya. Tentu saja, berikut dengan memori Agnes meminta nomor Bu Grace tanpa tahu malu.

"Terus, ada yang bikin kamu kepincut, nggak? Cinta lokasi, gitu?"

Sejenak Agnes tertohok. Ia segera menelan ludah. Irene menelengkan kepala melihat gelagatnya yang mengambil jenak.

"Kamu tumben nanya itu, Ren."

"Denger dari bos belum lama ini kakakmu ngajak kamu ketemuan sama orang di sini," Agnes pun melongo, matanya segera menuju konter tengah mencari si bos yang dimaksud Irene. Irene melambaikan tangannya di depan Agnes, mencoba mengembalikan perhatiannya kembali ke meja.

"Jadi, kukira kamu udah punya gebetan baru di kantor buat alibi ke kakakmu."

"Aku bukan orang kayak gitu." sergahnya. "Nggak enak lah, fake dating sama orang dengan dalih menghindari kemauan kakak."

Agnes juga tidak akan merasa enak dengan orang yang ia mintai tolong, kalau ujung-ujungnya seperti itu - sekedar status yang bahkan hanya akan menimbulkan masalah.

"Tapi, berarti kamu nggak menyangkal kalau punya crush, di kantor?"

Irene memang sangat tajam. Topik diputar sedikit, ia masih bisa mengembalikannya.

"Ini ... nggak bisa dibilang sebagai crush juga, sih," Irene menaikkan kedua alis, raut wajahnya murni penasaran. "Oke, aku akan cerita dari awal."

Satu gelas kopi habis sembari Agnes bercerita, Irene mendengarkan seksama tanpa banyak bertanya mengenai penjelasan Agnes tentang bagaimana alur hidupnya kini terikat dengan sosok ... seorang atasan divisi sebelah yang tanpa sengaja diperkenalkan sang kakak melalui dating apps namun dengan sengaja ia tolak. Irene baru berhenti memainkan sedotan di gelasnya setelah Agnes mencapai bagian dirinya meminta nomor telepon Bu Grace.

"Wow." pungkasnya.

"Ya, wow."

"Ah, ya, bukan crush. Cuma, obligasi? Kayaknya. Kesimpulanku begitu." Irene menyeruput airnya yang sudah luluh dengan es yang mencair. "Lalu, mau kamu bawa ke mana skenario ini?"

Pertanyaan yang mirip seperti yang disuarakan Nora, namun berbeda dengan apa yang Agnes biasa tanyakan pada dirinya. Benar, Agnes tidak ingin berbuat tega dengan orang lain yang sudah ia tolak - ia tidak ingin memberi harapan palsu. Di lain sisi, akan tetapi, ia juga perlu membalas kebaikan Bu Grace.

"Aku ingin membalas kebaikannya, itu saja." Agnes menjawab.

Irene mengerucutkan bibir, "Itu saja?"

"Ya."

"Kalau kamu mendadak menemukan kenyamanan, apa kamu bakal berpikir untuk lanjut?"

Irene menatapnya dengan penuh keseriusan, alih-alih memastikan sesuatu. Lagi, apa yang dipertanyakan Irene sangat masuk akal. Zona yang tengah Agnes jalani ini memang masih abu-abu, namun tidak menutup kemungkinan akan ada perubahan. Perubahan itu bisa saja sedikit dan tidak terasa, bisa juga besar dan mengubah jalan pilihannya.

Irene tak lama kemudian tersenyum, ia menatap Agnes dengan lembut, "Kalau kamu belum menemukan jawabannya, gapapa, asal kamu tahu kapan harus berhenti."

Apa ia sudah memilih sesuatu yang benar? Pikir Agnes lagi dan lagi. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro