29 Oktober; 22:02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Belum berapa lama ini, yang ada di bayangan Agnes mengenai pekerjaan sebagai bagian tim marketing adalah pekerjaan yang benar-benar tidak kenal waktu seperti kata orang-orang kebanyakan: menerima telepon dari customer di saat sepertiga malam, menghadapi komplain dari bos di jam-jam hantu, atau melakukan revisi dengan tenggat waktu seakan terhimpit di antara dinding berjalan.

Kenyataannya, hal-hal tersebut sangat mencerminkan seberapa toksik kehidupan yang diagungkan orang-orang. Alih-alih apabila bekerja dengan efektif dan efisien bukanlah yang dicari, melainkan menghabisi diri dengan etos kerja yang tidak kenal istirahat. Seakan di dunia ini lebih mulia orang-orang yang menghabiskan dirinya dengan dera overwork dan meninggal karenanya ketimbang hidup dengan lebih seimbang.

Untungnya, perusahaan yang ia diami sekarang menerapkan jam kerja yang benar-benar bersahabat. Bagaimana seluruh karyawan menerapkan untuk memisahkan keperluan pribadi dan keperluan kantor juga patut dicontoh. Hampir semua, termasuk Pak Cliff dan Pak Bara, hanya akan mengurus keperluan kantor mereka di jam-jam kerja. Selepas itu, mereka menjadi pribadi yang mirip atau mungkin berbeda jauh dari persona mereka di lingkungan kantor.

Oke, apa korelasi deskripsi mental di atas dengan kondisi Agnes sekarang? Ya, ia sejak satu jam yang lalu bingung kapan baiknya harus menghubungi nomor Bu Grace. Dan sekarang, ketika jam sepuluh sudah bergeser dua belas menit, ibu jarinya baru menemukan suntikan adrenalin untuk memijat tombol hijau di layar gawainya. Agnes menunggu dengan ekspresi gamang, serasa bunyi tut tut yang kerap berdering tengah mengujinya. Untung saja, tidak ada suara nada sambung lain yang membuat tangannya malah semakin berkeringat.

Ketika suara lembut nan familier berdengung 'halo' dan menggetarkan gendang telinganya, Agnes semakin terkesiap.

"Halo? Selamat malam. Dengan siapa saya berbicara?"

"Halo Bu Grace, ini ... ini saya, Agnes. Saya dapat nomor ibu dari Bu Melissa."

Agnes merasa ia bicara terlalu cepat. Aksentuasinya terburu dan berantakan. Seperti kumur-kumur. Bu Grace mungkin perlu membuka telinga lebih lebar untuk mendengar, mungkin.

"Oh, malam, Nes." nadanya melembut dari arah tegas dan sopan. Sepertinya Bu Grace punya aksentuasi tersendiri yang ia gunakan untuk perbincangan urusan bisnis. "Ada apa malam-malam begini?"

Tentu, tidak baik berbohong, terutama ia tengah berbicara dengan orang yang lebih tua darinya, seorang kolega namun adalah senior, walaupun secara tidak langsung merupakan atasan. Bukan teman main sepantaran atau orang yang sudah lama Agnes kenali.

"Iya, maaf Bu sebelumnya, saya tidak tahu kapan pasnya untuk menelpon - akhirnya malah jadi larut ..."

Agnes tidak menyangka tawa renyah meluncur di sana, tak pelak itu membuat dirinya sedikit mendesir. "Seseram itukah saya?"

"Bu-bukan itu maksud saya, Bu!" sergah Agnes cepat. "Saya, saya kira Ibu masih di tengah meeting, atau Ibu masih dengan Pak Bara ..."

"Nggak, kok. Kebetulan tadi user yang bertemu dengan kami hanya ingin dinner singkat," pungkasnya. "Jadi, ada apa kamu menelpon?"

Ya, hampir saja Agnes terlarut di basa-basi. Hampir. Untungnya, Bu Grace tidak pernah bertele-tele

"Saya mau mengucapkan terima kasih karena sudah mengantar saya yang teler malam itu Bu," Agnes mencoba mengeja apa yang telah dipersiapkan dalam kepalanya tadi. Terima kasih dengan bahasa tertata dan santun. Lalu dilanjutkan dengan bagaimana ia mengetahui berita tersebut. "Saya tahu soal Ibu dari Bu Mel."

Bu Grace mendengung, tampak menunggu hingga Agnes menyelesaikan kata-katanya.

"Jadi saya cuma ingin mengundang Ibu makan malam sebagai ucapan terima kasih."

"Eh? Tidak apa-apa kok, tidak perlu."

"Anggap saja ini ungkapan dari saya, Bu. Jujur, saya merasa tidak enakan kalau belum membalas kebaikan Ibu." Agnes mengulum bibir bawahnya. Sejenak, ia merasa terlalu memaksakan kehendaknya.

Kembali ke pikiran awal: ia sudah menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Permintaannya itu bisa saja diterima atau ditolak. Yang penting, ia sudah berusaha membalas kebaikan Bu Grace.

Terdapat jeda yang cukup lama, sebelum Bu Grace menjawab, "Oke, bagaimana kalau minggu depan, Jum'at malam, Affogato?"

Agnes merasa hatinya mencelus. Lagi, ia merespon secepat mungkin, mengabaikan rasa hampa yang mendatangi tenggorokannya secara tiba-tiba. "Siap, Bu."

Minggu depan - artinya 5 November - mereka akan kembali makan berdua di Affogato, bukan sebagai mereka yang dipertemukan secara tidak sengaja melalui media daring, tetapi sebagai dua rekan dari kantor yang sama.

Telepon itu sudah terputus seketika Agnes mengulang kalimat itu, mencernanya kembali.

Pertanyaan Irene kembali membayang di benaknya, tetapi Agnes memilih untuk menyimpan segalanya saat ini.

Ya, ia hanya membalas budi; tidak kurang, tidak lebih. [ ]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro