05 November

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sisa bulan Oktober bagi Agnes berjalan laksana mimpi dan bulan November menjelang cepat bersamaan dengan volume hujan yang semakin bertambah. Jalanan yang becek membuat Agnes kerap kali harus membawa sandal ke kantor, karena kalau sepatunya kotor sebelum sampai ke kantor, akan lebih susah untuk menunggunya bersih dan kering.

Mungkin ia terlalu sibuk bekerja atau banyak tugas dari Pak Cliff yang butuh atensinya, tapi ia merasa seminggu itu mengalir begitu deras. Baru rasanya menapak Senin, tiba-tiba hari sudah bergulir ke Rabu, dan seterusnya, belum lagi dengan porsi kerjaan yang selalu padat. Tim Marketing terus berusaha menyesuaikan dengan Tim Planning, terutama setelah Pak Bara dan Bu Grace kembali ke kantor, semakin intens merealisasikan tanggungan-tanggungan sebelum tutup tahun.

Berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya, Agnes entah kenapa lebih sering bertegur sapa dengan Bu Grace dibanding yang pernah ia ingat, misal:

"Agnes?"

Agnes menoleh ke bagian ruangan Tim Marketing yang kala itu kosong. Ada meeting darurat di lantai bawah dengan beberapa partner bisnis eksternal dari kantor mereka. Sementara ia sibuk memeriksa beberapa fail yang diberikan Pak Cliff, suara lembut nan familier memanggilnya.

"Iya Bu?" ia menoleh mendapati Bu Grace tengah memeluk beberapa ordner. Ia memberikan ordner berwarna merah jambu ke tangan terbuka Agnes.

"Titip ke Cliff, ya. Kalau misal dia cari saya, saya ada di lantai atas, lagi diskusi sama owner."

"Siap."

"Satu lagi," Bu Grace menunduk. "Bilang Melissa kalau anak Planning yang mau tanya-tanya ke dia sudah datang ke kantor. Ke bagian Planning saja kalau mau mulai."

Senyum Agnes tersungging, "Ada lagi, Bu?"

"Itu saja. Makasih ya Nes."

Setelah Bu Grace menghilang dari radar ruangan Tim Marketing, Nora di belakangnya akan bersiul. Andai saja lantai itu tidak sekedar berbatasan kaca tembus pandang, ingin rasanya Agnes melempari Nora dengan gumpalan bogem kertas sampai dia kapok.

Kalau dibilang dia dan Bu Grace adalah teman, rasanya bukan. Mungkin lebih bisa disebut kolega saja, sekedar kenal, dekat pun nggak dekat-dekat amat. Hubungan mereka pun cenderung profesional, lebih terkait karena divisi mereka yang bekerja bersama, juga Agnes yang lebih dekat dengan Pak Cliff sehingga Bu Grace bisa meminta Agnes untuk menyambung antara mereka bila Pak Cliff tidak di tempat.

Nanti malam adalah hari di mana dia dan Bu Grace janjian di Affogato, dan harus Agnes tekankan lagi, ini adalah sekedar balas budi karena Bu Grace sudah sempat mengantarkan dia pulang saat dia mabuk. Agnes belum bilang ke Nora soal ini karena malas digodain, tapi mengingat dia dan Bu Grace memang sekedar makan dan ngopi, layaknya teman kerja normal, rasanya nggak perlu sampai bilang-bilang langsung ke Nora atau siapa-siapa.

Lagi: cuma teman. Kolega. Apalah.

"Nes, nes, sori, penting!" Nora melambai dari sisi mejanya. "Itu Pak Cliff kayaknya butuh orang di lantai bawah buat bawain laptopnya. Aku nggak bisa soalnya lagi mau on-call sama orangnya Bu Melissa!"

Agnes segera berdiri dari kursinya dan mencari ke arah meja Pak Cliff. Notebook kecil yang dimaksud oleh Nora tengah bertengger, tertancap kabel pengisi daya. Agnes memberi tanda jempol, memastikan notebook itu dalam keadaan mati, atau paling tidak seluruh aplikasinya tertutup sebelum memutus kabel pengisi daya dan membawanya ke lantai bawah beserta tasnya.

Ruang meeting di lantai bawah itu kebetulan lokasinya dekat sekali dengan lift, sehingga Agnes bisa dengan cepat menghampiri Pak Cliff yang sudah menunggu di ambang pintu. Bersama beliau ada Pak Bara, yang sepertinya tengah memberi waktu Pak Cliff untuk mempersiapkan presentasinya.

"Maaf, maaf," ucap Pak Cliff ketika Pak Bara geleng-geleng kepala.

"Untung ada orang di lantai kita," ucap beliau. Dia lalu menoleh ke arah Agnes. Senyumnya seperti biasa merekah, dan kerling matanya yang selalu seperti menghipnotis lawan bicaranya ada di sana. Kalau kata Nora, itu karisma. "Makasih ya, Agnes. Kamu nolong kita banget, lho."

Agnes sekedar mengangguk dan memohon permisi, sementara Pak Bara dan Pak Cliff kembali ke ruang meeting.

Apa perasaan Agnes saja, tapi Pak Bara kelihatannya beda dari biasanya, terutama ketika mereka bertemu mata?

. . .


Jumat yang padat untungnya sudah berakhir selepas jam enam sore lewat. Agnes dan Nora berpisah jalan, Nora bilang dia mau langsung pulang dan tidur karena capek meladeni telepon tanpa henti, dan Agnes segera bertolak menuju stasiun monorel. Sebuah pesan dari Bu Grace sudah muncul di gawainya sekitaran lima belas menit dia sampai di stasiun, memberitahukan kalau dia sudah di Affogato.

Memang bagian mereka sekedar dipisahkan oleh kaca transparan, tapi Agnes yang sibuk tentu tidak memperhatikan kapan Bu Grace pergi. Bu Grace bilang beliau punya kendaraan sendiri, jadi mungkin ia sampai lebih cepat karena itu, walau mereka keluar dari kantor di waktu yang bersamaan.


Saya masih di monorel, Bu. Kalau Ibu mau pesan duluan nggak masalah.


Balasan dari Bu Grace datang tidak lama setelahnya.


Oke, saya tunggu aja.


Agnes mengantongi gawainya kembali ke dalam tas, menarik napas dalam dan mengeluarkannya teratur. Tangannya menggenggam tali tasnya, sejenak dia merasa sedikit canggung. Ini bukan kali pertama dia janjian dengan orang yang masih dibilang asing, juga ini bukan kali pertama dia berbicara dengan Bu Grace—atau bersama Bu Grace di restoran andalannya.

Petang itu untungnya cukup cerah dan Agnes tidak perlu banyak khawatir soal harus repot bawa payung dan ekstra tas untuk segala perlengkapan hari hujannya. Lembayung senja sudah hilang, digantikan pekat malam, lampu-lampu yang mulai menyala pun berkerlip, terlihat bagai lautan cahaya dari jendela monorel saat melintasi area dalam kota.

Agnes kembali mengingat-ingat saat kakaknya itu membawa Bu Grace untuk bertemu dengannya di Affogato, alih-alih mengenal beliau dari sebuah platform perjodohan daring. Sampai saat ini, Agnes selalu hanya bisa geram saat sang kakaknya mulai melakukan sesuatu di luar persetujuannya, walau Agnes tahu kak Ingrid melakukannya untuk kebaikan Agnes.

Berkenalan dengan orang baru mungkin bisa membantu, itu yang Ingrid selalu bilang, dan Ingrid tidak keberatan juga kalau-kalau Agnes minta ditemani. Nora pun juga tidak masalah kalau dia diminta Agnes jalan.

Lagi, Agnes merasa dia tidak ingin selalu merepotkan mereka, selain dengan sikap Ingrid yang memang turut 'ikut campur' menurutnya.

Agnes turun di stasiun terdekat dari Affogato seperti biasa, merasa langkah awalnya yang berat semakin ringan ketika dia mendekat ke restoran itu. Ini sekedar untuk balas budi. Sekedar untuk balas budi. Anggap saja kayak ajak Nora makan.

Agnes mendorong kenop pintu restoran, hatinya mencelus sedikit melihat restoran yang cukup sepi di penghujung petang di akhir weekday itu. Biasanya Jumat adalah malam teramai Affogato, atau mungkin itu adalah efek awal bulan. Agnes mendapati wanita berambut hitam di konter tengah berbicara dengan seorang staf yang turut familier. Agnes tidak ingat Irene punya sif hari ini, tapi dia bersyukur karena artinya suasana mungkin akan lebih cair dan mudah baginya.

"Maaf menunggu, Bu."

Irene segera menoleh ke arah Agnes yang duduk di konter juga, menyambangi Bu Grace. "Ohh, ini toh yang Ibu tunggu. Ini teman saya, Bu!" sahutnya semangat.

"Hee, jadi ternyata kamu kenal orang dalam, pantas aja." Bu Grace berseloroh. Agnes nyengir saja.

"Nggak kok, Bu. Irene kerja paruh waktu di sini belum lama." Irene mengangguk mengiyakan penjelasan Agnes. "Hari ini apa yang spesial, Ren?

Wanita muda dengan rambut bob coklat keriting itu segera membuka buku menu di hadapan mereka berdua, lalu mengarahkan mereka ke papan menu hitam yang ada di atas kepala mereka. "Hari ini kebetulan ada promo awal bulan. Dua set menu dan kopi cuma tujuh puluh lima."

Mata Agnes membulat, "Termasuk puding?"

Irene mengangguk pasti, "Termasuk puding."

"Kopinya bisa pilih, atau perlu nambah lagi?" tanya Bu Grace yang menunjuk pilihan kopi di menu itu.

"Kalau Ibu pilih yang premium tambah sepuluh. Misal cuma Americano atau Espresso decaf sih nggak nambah kok~"

Bu Grace menoleh ke arah Agnes, "Gimana kalau itu aja, Nes?"

"Boleh, Bu, kalau begitu."

Irene tersenyum cerah, menulis pesanan mereka dan meminta mereka menunggu. Musik jaz kontemporer has Affogato mengalun di antara mereka sembari mereka berdua mulai mengobrol santai.

"Kamu benar suka manis-manis, ya." Bu Grace terkekeh.

"A-Ada yang salah, Bu?"

"Nggak apa-apa. Saya jarang pesan manis-manis, soalnya." pungkas beliau. Bu Grace menanggalkan blazer hitamnya, terlihat lebih kasual dengan blus putih yang beliau keluarkan dari rok. "Restoran ini nyaman banget, ya."

"Tapi saya nggak setiap saat kemari, kok Bu," Agnes mengecilkan suaranya. "Budget."

Bu Grace terkekeh saja, "Memang kayak gini-gini tuh jangan sering, malah. Anggap aja kayak momen self-reward."

"Ibu tau aja," Agnes pun turut tertawa. "Oh, Ibu tahu juga 'kan, kalau di dekat sini ada kayak deretan kaki lima? Semacam pujasera gitu, mungkin Ibu kalau bingung malam makan apa, bisa coba ke sana."

Grace menaikkan alis, "Pujasera?"

Agnes membuka ponselnya, menggulir ke aplikasi peta. Dia menunjuk Affogato, lokasi mereka sekarang, lalu menunjuk ke beberapa gang sebelahnya, kurang lebih lima ratus hingga tujuh ratus meter dari sana. "Di sini, Bu."

Agnes sekalian memperlihatkan beberapa foto unggahan orang-orang yang memotret sekitaran jalan itu. Mulai dari martabak, angkringan, kebab ... suasana gang itu layaknya sebuah pasar malam dadakan. Grace mengangguk–angguk sambil Agnes terus menjelaskan.

"Oh, wah. Boleh juga, saya cukup jarang keluar-keluar kalau malam. Baru tahu ada tempat beginian."

"Ibu tinggal sama keluarga?"

Grace terdiam sejenak, "Nggak, sih. Saya sendiri," ada jeda di sana, sebelum beliau menambahkan. "Kadang lebih nyaman cepat pulang, masak seadanya di rumah."

"Relatif sih ya, Bu," Agnes mengiyakan. "Saya kadang cari-cari tempat makan aja soalnya malas langsung pulang. Bosen."

Wanita berambut hitam itu berulas senyum, "Yah, kalau pulang cuma lihat kamar sendiri pasti cepat bosan."

Makanan dan minuman mereka datang tidak lama kemudian. Irene terkadang mampir sekedar menanyakan kalau mereka mau tambah kopi atau tambah makanan lain, mereka berdua menolak dengan santun, sekedar menghabiskan waktu sambil terus menyambung obrolan. Obrolan apa saja. Atau kadang mereka akan diam, Agnes memeriksa notifikasi di gawainya atau Bu Grace membalas pesan yang masuk ke ponselnya.

Makanan tandas, tersisa kopi dan puding yang sudah dinanti Agnes, dan mereka tetap bercengkerama hingga sekitar pukul setengah sembilan malam. Grace melihat jam tangannya, mereka berdua sedang mengobrol seputar kopi.

"Nes, omong-omong," Grace menatapnya kalis. "Nggak apa-apa kamu nongkrong begini sama saya?"

"Ada masalah apa, Bu? Nggak apa-apa kok," tukas Agnes, menyeruput es kopi yang kini tinggal seperempat.

Grace menangkup kedua tangannya di atas meja konter itu, "Saya suka kepikiran kadang kalau saya memang seram jadi nggak banyak yang bersedia ngobrol sama saya."

Agnes mengulum bibir, "Ibu tegas, sih. Err, bukan maksud negatif, kok, Bu. Saya pun mungkin kalau nggak coba kenal Ibu di luar jam kantor, saya sekedar melihat Ibu sebagai seorang atasan."

Senyum Grace tersungging, "Benar juga, sih. Segan sama atasan, ya ..." ia seperti menimbang-nimbang jawaban itu, lagi raut wajahnya seakan mengerti karena itu salah satu alasan yang bisa dibilang cukup netral. "Ada benarnya. Paling nggak saya bisa tenang karena ternyata saya nggak seseram itu."

"Ah, Ibu bisa aja." ucap Agnes ringan.

"Kamu juga nggak perlu panggil saya pakai 'Ibu' di luar jam kantor, Nes?"

Agnes seketika tertegun, "Ta-Tapi 'kan nggak sopan, Bu."

"Loh, kita teman, 'kan?" Grace tersenyum lebar. "Atau kita bukan teman?"

Pertanyaan yang semula bergulir di benak Agnes kini kembali laksana bumerang. Mereka kolega, ya. 'Teman' di anggapan Agnes selalu seperti Nora, atau Irene, mereka yang umurnya tidak terpaut jauh, dan bukan sosok yang serupa senior.

Apa dia bisa menganggap Bu Grace sebagai teman? Apa dia butuh sosok teman seperti Bu Grace? Atau ini akan menjadi sekedar sekali saja pertemuan mereka seperti ini, dan Agnes akan segera melupakannya saja?

Agnes menerawang, membayangkan saat Grace datang menemui dia dan Ingrid saat itu. Dia sudah menolak menjadikan Grace yang diboyong Ingrid sebagai 'subjek baru', namun demikian bukan berarti setelahnya mereka langsung putus begitu saja. Mereka sekantor, masih bisa mengobrol santai, dan Agnes pun tidak masalah punya teman baru.

"Maaf Bu, sebelumnya, saya soalnya nggak kebayang punya teman kayak Ibu."

"Sama, Nes, saya juga nggak kebayang punya teman kayak kamu," serunya. "Mungkin beda kalau misal masih kuliah, tapi kalau begini rasanya lain, ya?"

Agnes bisa melihat mungkin Grace pun cukup tidak nyaman karena semua mengacu pada posisinya. Agnes sendiri tidak bermaksud apa-apa. Mereka berdua sekedar lebih dekat karena suatu kejadian yang tidak terduga, pertemuan dari aplikasi yang bahkan disambung oleh pihak ketiga lagi.

Jadi, apa yang membuat Agnes risau? Tidak ada, 'kan?

"Tapi saya nggak masalah, kok, misal kapan-kapan kita makan bareng begini lagi, atau mungkin jalan kemana gitu?" Agnes pun akhirnya menambahkan.

Grace menuai napas lega, "Kamu juga jangan sungkan sama saya, berarti."

"Agak susah, ya, tapi okelah."

Mereka berdua pun tertawa lepas, kembali menghabiskan kopi, dan menyimpan segala berat dan implikasi di pembicaraan tadi untuk nanti.

Punya teman baru tentunya bukan hal yang buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro