07 November; 19:29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak banyak yang berbeda dari hubungannya dan Bu Grace setelahnya, selain kini Agnes tahu dia memiliki sosok 'teman' pada Grace. Teman yang juga lebih senior, seseorang yang bisa ditanyai oleh Agnes seputar hal-hal tertentu yang mungkin berbeda rasanya ketika dia bertanya pada kakaknya sendiri, Ingrid.

Mereka tidak berbicara sesering itu juga via pesan singkat atau aplikasi seperti LINE tapi sesekalinya Agnes bertanya, Grace akan cepat menjawab. Misal dia sedang bingung soal bagian pekerjaannya dan mencoba bertanya masukan ke Bu Melissa atau Pak Cliff yang jawabannya kurang Agnes mengerti, dia akan bertanya ke Bu Grace.

Agnes kurang lebih bersyukur mereka bisa tetap seperti itu dan sedikit demi sedikit Agnes merasa bebannya terangkat karena Grace tidak kecewa sudah sempat ditolak olehnya saat itu. Andai Agnes merasa ini adalah cara baginya yang kurang enak setelah saat itu, Agnes bisa bilang kalau ini tidak ada maksud apa-apa. Dia senang bisa berbicara lebih akrab dengan Grace, dan mengenal Grace seperti sebuah hal yang sangat baru baginya.

Sosok yang serius, tapi bisa membedakan kapan harus fokus, kapan harus santai, tidak sekaku apa yang disebut banyak orang. Grace juga mampu menempatkan dirinya sebagai seorang yang memang dipandang tinggi, dalam artian dia mampu memberikan pendapat secara terbuka dan tidak keberatan untuk diskusi. Kalau lingkungan kakaknya yang cenderung lebih santai, tipikal mereka yang memang solely having fun, Agnes tidak menemukan itu pada diri Grace. Dan Agnes bisa merasa lebih rileks karena dia tidak diharuskan untuk selalu 'aktif'.

Minggu itu adalah hari yang cukup lowong setelah semua pekerjaan yang dibawa Agnes ke rumah sudah dirampungkan di Sabtu malam, panggilan dari Nora membuyarkan Agnes di Minggu sore itu.

"Udah lama nggak ke Nelumbia, nih. Main yuk?"

Agnes mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Rumah Teh Nelumbia, salah satu dari banyak tempat yang biasa Agnes dan Nora kunjungi, tempat yang terakhir diingat Agnes sering disambanginya setelah 'kejadian itu'.

"Nelumbia?"

Nora tercekat, "Oh, sori. Apa masih belom?"

"Oh, ngg, nggak apa-apa, Ra. Malam ini gimana?"

"Oke, nanti kujemput ya. Kita kesana sekitar jam 7."


. . .


Bar yang dahulu hanya menyediakan alkohol itu kini dikenal sebagai 'Rumah Teh Nelumbia', sebuah kedai teh dan bar dengan dua lantai yang menyediakan sasana aman untuk mereka yang masih mencari, sekedar mengenal sesama, atau mungkin mereka yang tertarik dengan kencan buta.

Semua sepakat untuk tidak menyebut tempat itu sebagai 'lesbian bar' atau 'kedai teh puan', mereka merasa istilah itu terlalu non inklusif dan kurang menggambarkan keragaman para patron yang mendatangi tempat itu untuk ngeteh, main gim kelompok, atau berdansa di lantai yang akan dibuka setiap jam delapan malam tiap akhir minggu.

Rumah Teh Nelumbia adalah tempat yang akrab bagi Agnes dan Nora sejak zaman kuliah, ketika tempat itu sekedar menjajakan minuman beralkohol dan menghuni petak sempit dengan ruang bawah tanah. Kini Rumah Teh Nelumbia sudah bersama UMKM lokal, dan bukan dianggap sebagai tempat hiburan semata. Mereka yang tidak akrab dengan alkohol pun bisa datang untuk sekedar main dan ngeteh, membuat tempat itu semakin ramai dengan berbagai orang dalam kalangan kelompok usia variatif dan segmen yang lebih luas, dan juga terasa lebih bersahabat.

"Lantai satu aja, 'kan, kita nggak ngebir?" tanya Nora saat mereka sampai di lahan parkir. Nora sudah memarkirkan mobilnya di bawah pohon, tempat kesukaannya.

Agnes mengangguk, menatap lokasi dua lantai itu dengan pandangan nanar.

Riena, nama yang selalu membekas di benaknya, terasa seperti menghantuinya hingga kini, bahkan ketika Rumah Teh Nelumbia berubah bentukannya sekalipun.

Agnes sudah mengiyakan ajakan Nora, jadi dia berusaha terlihat senetral mungkin, walau Nora sepertinya sudah menyadari bagaimana dia murung ketika mereka masuk ke lantai satu, jauh dari hingar-bingar musik gaduh dan harum rokok di lantai dua.

Lantai satu itu mendiami kedai teh yang diisi oleh ruang gim. Meja-meja besar yang diisi oleh satu game master telah siap memadu siapa saja yang ingin berpartisipasi dalam gim kelompok, berupa itu board game lokal maupun internasional, atau juga semacam permainan simpel seperti tebak kata atau scrabble.

Nora memesan meja yang jauh dari riuh-rendah mereka yang asyik bermain di meja permainan, dan dia sudah memesan teh untuk mereka berdua, alih-alih paham kenapa Agnes lebih banyak diam.

"Kalau dipikir-pikir, kamu nggak kayak dulu lagi, Ra. Biasanya baru masuk langsung mulai akrab di meja."

Nora nyengir saja. "Udah umur, non."

"Apaan sih, berasa tua aja."

"Ya emang udah tua, 'kan." Nora mengedikkan bahu. "Kita yang usia kisaran dua puluh lima sudah dianggap jompo usia dini."

"Tapi nggak gitu juga, lah, Ra." Agnes mulai sambat. Nora tertawa saja.

Ya, Nora yang dulu piawainya lebih mirip ke kakaknya, Ingrid, seorang supel yang nggak keberatan berbagi meja dengan orang asing, atau nyeletuk saja ketika ada yang asyik ngobrol. Dulu Nora sempat dikabari kalau dia gonta-ganti pacar tiap minggu, tapi tentu Agnes tahu sendiri Nora itu sama dengannya, tidak akan coba-coba. Sampul Nora aja yang kelihatannya gaul, asyik, rambutnya bisa ganti warna tiap dua bulan sekali, tapi dia bukan player.

"Kamu serius tapi ngajak kesini cuma mau ngeteh?" tanya Agnes lagi.

"Kenapa sih, non, skeptis amat. Nanti kalau aku udah ketemu orang, aku bakal kenalin juga kok." tukas Nora.

Agnes menyenggol Nora yang tergelak. Mereka berbagi sepoci teh yang sudah dibayar Nora, dan dia nggak menerima Agnes patungan. Mereka sekedar mencuri lihat ke sekeliling, wajah-wajah baru yang lebih muda, atau mereka yang lebih senang ke sini ketimbang berbaur dengan bir dan rokok di atas. Mereka senang-senang saja mengikuti berbagai alur permainan di meja yang ada, atau ada yang sudah mulai ngobrol berdua.

Agnes kemudian melempar pandangnya ke konter utama, yang dia tahu sudah bukan konter yang sama ketika dia bertemu 'Rien'.

. . .

Kala itu, Agnes merasa seperti menemukan jodohnya pada Riena.

Riena yang dikenalnya malam itu benar-benar enak diajak ngobrol, belum lagi sikapnya yang humoris dan terbuka. Lalu perilakunya yang Agnes tangkap begitu manis, seperti sosok adik kecil yang tidak pernah dimilikinya.

Tidak lama setelah mereka sering bertemu, mereka pun berpacaran. Itu juga yang merupakan pelipur lara Agnes ketika hari-hari perkuliahan mulai menyiksa. Riena akan datang di sela-sela waktu itu, datang ketika Agnes butuh. Riena akan mendengarkannya begitu juga Agnes yang mengamati bagaimana Riena akan membagi harinya dengan Agnes. Mereka yang lokasi kampusnya berdekatan membuat mereka mudah sekali bertemu,

Agnes merasakan bahwa ... inilah dia. Ini yang selama ini dicarinya. Hubungan yang erat dan bertahan lama.

Sayangnya, Agnes masih terlalu naif saat itu, dimabuk oleh perasaan yang ternyata hanya berlangsung semata, tidak melihat jauh dari batas permukaan.


. . .


"Masih kepikiran soal Riena?"

Kalimat itu sontak membuat lamunan Agnes buyar. Nora yang semula ekspresinya jail kini menjadi serius. Dia melipat lengannya, menatap Agnes yang sudah mulai memutar bola matanya menjauh, alih-alih mereka yang sedang bermain kartu di meja sana lebih menarik untuk ditonton.

"Sudah empat tahun yang lalu kali itu," Agnes mendecak. "Tapi iya, kayaknya aku sempat sayang sama dia. Sayang banget."

"Aku ngerti. Tapi udah berapa kali aku bilang, nggak usah inget-inget cewek brengsek itu." nada Nora meninggi, barulah Agnes mengerling, tatapannya tajam.

"Dia emang ... jahat. Tapi aku tahu dia—"

"Agnes." Nora menekankan kata-katanya. "Pantas kakakmu itu proaktif banget."

"Ra, udah deh."

"Nes, tolong. Aku juga nggak ada maksud ungkit-ungkit masa lalu. Aku sebagai temen kamu juga mau kamu lebih lega."

Agnes kenal Nora setelah dia putus dari Riena, dan mereka berdua akrab menjadi teman. Agnes suka Nora, sekedar sebagai teman, dan Nora pun sama dengan Agnes. Mereka mungkin orientasinya mirip tapi bukan berarti mereka akan sekedar jadi pacar karena itu. Tidak seperti itu. Kadang yang dibutuhkan orang itu bukan romansa saja, mereka berdua berpikir demikian.

Nora tahu soal kisah Riena karena sempat heboh di Kedai Teh itu. Sepertinya kalau Nora tahu Riena di mana, Nora bakal menghabisinya karena membuat temannya jadi begini—begitu juga kakaknya.

Dan Agnes masih saja kembali ke masa lalu, seakan hanya kisah kasih itu yang dimilikinya.

Agnes tahu Riena tulus, tulus menyayanginya, tulus ketika mereka berdua benar-benar berhubungan baik selama setengah tahun itu, bahkan mereka lebih dari yang Agnes harapkan. Riena sering menjadi tamu rumah Agnes dan mereka akan bersenang-senang di luar kampus. Itu adalah masa terindah bagi Agnes.

Lagi, Agnes juga tahu kalau ternyata dia hanyalah sebuah alasan, sebuah batu loncatan.

Karena Riena menyukai orang lain.


. . .


"Masih pedekate lo sama anak itu? Bukannya lo demen sama—"

Riena tengah berbicara dengan sekelompok teman kampusnya kala itu, Agnes yang kebetulan tidak jauh dari wilayah fakultas Riena ingin sekali menemui pacarnya, tapi dia terhenti ketika Riena asyik bersama kelompok teman-temannya.

Agnes tahu mereka, kalau tidak salah mereka satu klub mahasiswa. Mereka kebanyakan perempuan, ada juga dua laki-laki yang sepertinya santai saja ketika mereka ngobrol nyablak. Agnes sempat diajak Riena berkumpul sama mereka, tapi Agnes kurang bisa berbaur, jadi dia kadang menghindari kalau harus ikut dengan teman-teman Riena. Riena tidak keberatan dan mereka tidak pernah membahas itu.

Agnes terdiam di pelataran itu, terpaku dan tergagu. Senda gurau mereka sangat kencang sampai mungkin terdengar ke arah parkiran fakultas.

"Ya gapapa pedekate sama dia. Toh dia cantik juga. Lumayan sambil gue liat-liat kalo Kak—"

Agnes kenal nama itu, kakak tingkatnya yang kebetulan sering bersamanya karena satu dosen pembimbing akademik. Dia dan kakak tingkatnya cukup dekat karena mereka banyak jadwal yang sama, dan kebetulan karena kakak tingkatnya juga asisten dosen, Agnes belajar banyak dari dia. Kakak tingkatnya itu kadang ikut saja kalau Agnes dan Riena lagi makan di kantin fakultasnya.

"Jangan bilang lo udah nyobain dia juga. Agnes, ya, namanya?" salah satu cowok angkat bicara.

"Itu rahasia, bos!"

"Artinya udah tuh, kak." sahut cewek yang lain. "Hmm, abis lo jadian sama si Kakak, boleh lah kita samperin si Adek?"

Agnes tidak mengindahkan apa yang didengarnya, menganggap itu sekedar gurauan. Sekedar sebuah mimpi buruk.

. . .


"Kita pengin kamu lupain Riena." ucap Nora sambil menangkup tangan Agnes. "Kami pengin yang terbaik buat kamu, Nes."

"Aku tahu kok, aku tahu, Ra," Agnes kembang-kempis. "Aku cuma sekedar bilang kalau aku masih sayang dia aja."

Nora mendecak, dan selepas itu, mereka berdua berdiam diri saja, sekedar menghabiskan teh yang ada.

Agnes terlarut dalam minggu-minggu terakhirnya bersama Riena, menganggap apa yang didengarnya sebagai sekedar guyonan sambil lalu, karena dia tahu Riena sayang padanya.

Hingga seluruh dinding itu buyar, menampakkan bahwa segalanya adalah kenyataan pahit yang tidak bisa diterimanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro