08 November; 12:14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seusai urusan mengenai Planning/Marketing dan Purchasing dijalankan, tentu yang menanti adalah waktu eval.

Senin itu, sesuai yang telah dijadwalkan, kedua belah pihak berkumpul di ruangan sembari memaparkan apa saja yang telah mereka selesaikan di minggu sebelumnya. Dimulai dari tim Planning, diskusi mengalir kemudian ke kubu Marketing dan Purchasing yang mengeksekusi rencana dan mengubah beberapa poin seperti yang sudah diberitahukan di awal sesi untuk menyesuaikan di lapangan.

Agnes seperti biasa kebagian mendampingi Pak Cliff, mencatat dan membantu beliau. Kurang lebih eval itu berjalan sangat kondusif dengan banyak sekali masukan yang bisa mereka gunakan untuk kedepannya. Beberapa keluhan juga muncul, terutama dari pihak klien yang sempat melapor ke marketing, atau beberapa user yang menyatakan ke pihak Purchasing, tapi itu selebihnya akan diteruskan ke owner dan petinggi terkait.

Bara menaikkan tangannya, "Oh, saya mau apresiasi ide dari Agnes, dong."

Agnes terkesiap ketika tepuk tangan riuh memenuhi seantero ruangan. Dia pun mundur di kursinya saking kagetnya, apalagi ketika Pak Cliff meminta Agnes untuk berdiri sekedar memperlihatkan wajahnya di hadapan yang lain.

Pak Bara mendekat ke arah meja Agnes dan Cliff, dia mulai memegang pundak Agnes sambil beliau menyuarakan, "Dia loh yang kemarin sempat bilang untuk proposalnya maju biar bisa bantu UMKM yang bergantung sama digital marketing. Pihak Purchasing jadinya bisa menjangkau lebih jauh!"

Agnes sedikit tertunduk, antara bingung dan tersipu malu, dia tidak membalas kontak mata dengan banyak orang, hanya lebih banyak tertunduk, apalagi ketika Pak Bara begitu intens soal proposal yang ternyata memang membuka beberapa peluang baru untuk klien dari Purchasing, juga dukungan dari user lama.

"Bara, udah." Grace menelengkan kepalanya, menanggapi antusiasme Bara tapi juga melihat ke arah Agnes. Bara seperti sadar dia sudah terlalu bertele-tele dan menyudahi itu.

Agnes masih merasa lumayan linglung walau dia duduk, di sekitarnya, koleganya tersenyum-senyum senang, mereka juga mengucap selamat pada Agnes.

Tidak disangkanya dia akan serasa jadi selebriti dalam sehari.



Selepas rapat, tidak disangka Agnes selain banyak orang menghampirinya untuk terus menyampaikan selamat, datang juga Pak Bara. Ya, Pak Bara. Dia yang biasanya selalu digandrungi oleh para wanita di mejanya, kini menyempatkan diri untuk mampir ke bagian Planning/Marketing di sela-sela hiruk-pikuk suasana cair pasca rapat.

Pak Bara seperti biasa menata rambutnya klimis. Jas yang dikenakannya rapi, walau tanpa dasi tersemat di leher, kerah kemeja abu-abu yang senada dengan dongker jas dan celananya membuat beliau terlihat mahal nan modis.

Agnes sudah mengira Pak Bara hendak mencari Pak Cliff, tapi Pak Cliff sendiri masih terlihat di bagian Purchasing, tengah mengobrol dengan Bu Grace dan Bu Melissa, sementara bagian kubikel Planning/Marketing cenderung dipenuhi mereka karyawan biasa, atau mereka yang sudah kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Sori soal tadi, saya terlalu semangat," ujar beliau ketika datang ke meja Agnes. "Tapi benar, kok, dorongan kamu sangat berarti buat kami, makanya saya pun sangat berterima kasih."

Agnes mengangguk santun, "Saya nggak melakukan apa-apa kok, Pak. Semua tetap karena tim Purchasing dan Marketing yang eksekusinya bagus."

Senyum terulas di bibir pria itu, "Ah, ngerendah aja kamu," tukasnya. "Saya rasa kalau kamu sama Cliff di Planning, mungkin kedepannya bakal lebih baik lagi divisi kita."

Pak Bara yang menggebu-gebu tetap di sana, memaparkan apa yang ada di pikirannya. Agnes pun dengan sopan menuruti jalan pikir beliau, bahkan sambil mencatat saja. Waktu berlalu dengan Agnes menangkap kalau ternyata Pak Bara ini cukup vokal dengan ide-ide beliau, walau terkadang dia akan terhenti bila Bu Grace sudah mengingatkan tidak semua ide bisa dieksekusi.

"Yah, Grace benar, sih. Idealis boleh, tapi ingat untuk realistis. Ini bukan perusahaan milik satu orang. Nggak semua bisa dijalanin."

"Iya, Pak."

"Aduh sori lagi jadi panjang lebar, asyik soalnya bisa ngobrol sama kamu," ucapnya. "Kamu ada LINE?"

Agnes mengeluarkan gawainya saat Pak Bara sudah hendak melakukan pemindaian kode ID. Pak Bara resmi menjadi teman LINE Agnes, sekilat itu, ketika beliau tampak selalu bersolek dengan karyawati lain.

"Nanti-nanti kita ngobrol lagi, ya, kalau sempat. Saya permisi, Nes."

Di tengah hiruk-pikuk yang sama juga, Pak Bara pergi, layaknya semilir angin. Ada beberapa yang sadar beliau cukup lama duduk di situ, tapi kebanyakan tengah beristirahat di jam-jam makan siang, atau santai saja habis rapat evaluasi.

Agnes sampai hampir lupa makan siang. Nora kebetulan sedang tidak ada di ruangan karena dia segera cabut untuk urusan lain atas titah Bu Melissa, jadi Agnes turun sendiri ke lantai bawah menuju kantin, berpikir sekedar mencari udara segar.

Mungkin ada baiknya juga dia dan Nora belum bertemu muka dulu setelah apa yang terjadi kemarin Minggu. Mereka tidak bertengkar, tapi Agnes merasa sedikit berat hatinya mengingat Riena.

"Agnes?"

Sebelum dia keluar ruangan, suara lembut memanggilnya. Bu Grace menghampirinya sesaat dia sudah bergegas keluar.

"Kamu juga mau ke bawah?"

"Iya, Bu, ke kantin."

"Saya ikut, ya? Saya mau ke arah depan ambil paket dari owner di resepsionis."

Mereka berdua berjalan menuju lift di bagian depan yang dekat dengan resepsionis. Agnes yang menekan tombol menuju lantai dasar. Grace seperti menyadari sesuatu dan dia memegang pundak Agnes sejenak.

"... Kamu nggak apa-apa? Kok kayaknya pucat?"

Agnes mengerjap. Dia bahkan tidak sadar. Grace menepuk tepat di tempat tadi Pak Bara sempat lama memegangnya, Agnes sejenak tertegun sesaat Grace mulai menepuk-nepuk punggung Agnes.

"Bara berlebihan, ya? Dia memang suka begitu, kadang kalau nyaman, dia bakal SKSD." ucap Grace. "Maaf tadi kamu sampai sempat dikasih spotlight juga."

Wanita berambut kecoklatan itu menyunggingkan senyum. "Gapapa kok, Bu."

Grace menghela napas, "Lain kali kamu bilang nggak aja terus terang kalau kamu merasa nggak nyaman."

Agnes terdiam, namun dia mengangguk mengiyakan. Dia memang sulit mengucapkan tidak, dan dia tidak mengerti betapa sulitnya untuk sekedar berkata tidak.

Dia melihat layar gawainya, sudah ada pesan LINE dari Pak Bara, sekedar memberitahukan itu akunnya dan beberapa sticker lainnya. Agnes sontak mengernyitkan dahi. Alih-alih merasa ada maksud tertentu di balik Pak Bara yang kini begitu proaktif, dan tujuannya sepertinya adalah dia.

"Kenapa, Nes?" mata itu seakan melembut ketika dia tahu Agnes masih berusaha menatapnya.

Agnes menggeleng lagi, "Cuma ada pesan masuk belum saya baca."

Agnes melempar pandang ke Bu Grace sesekali saat lift itu turun, terbuka di lantai dasar, dan mereka berdua berpisah jalan, barulah ia mulai membaca pesan dari Pak Bara dan membalasnya satu per satu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro