Dahlia Alana Tavosky || Rainy Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dadaku masih terasa sesak di tengah kedinginan ini, bahkan ingatan yang menyakitkan itu terputar lebih dari sekali di kepalaku. Aku tidak menginginkan ini, aku ingin pulang secepatnya.

Kakiku menapak lebih cepat, mengabaikan rintik hujan yang ikut meluruh lebih deras lagi, hingga aku sampai di depan pintu rumah pun hujan ini tak berhenti, seolah akan menjadi alasanku untuk tidak berhenti menangis serta meraung lebih keras.

"Lia, kau sudah pulang? Cepatlah ganti baju sana," titah ibu yang dapat kutebak dari dapur, kebiasaannya. Aku pun tak langsung menurutinya, aku menghampiri ibu yang sedang mengaduk masakannya itu dan air mataku pula kembali meluruh.

Ibu yang tersadar langsung menoleh dan menatapku kaget, ia mencoba bertanya berkali-kali namun aku tak menjawabnya, diri ini masih kental dengan rasa sesak dan kesedihan yang mendalam. Aku memaksa memeluknya, dengan tubuh basah ini aku tak peduli.

"Tenanglah, ada Ibu di sini ...," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku, tangisku semakin keras, aku kembali merutuki diriku sendiri yang memang sangat bodoh. Semua ini salahku, salahku dalam menaruh cinta pada seseorang yang brengsek.

.
.
.

"Lia, apa kau yakin tidak ingin pulang lebih cepat? Biasanya kau begitu," tanya Nata padaku dengan suara yang entah mengapa terdengar seperti kekecewaan darinya? Aku mengangguk dan menatapnya sahabatku ini memang terlihat imut ketika cemberut.

"Hey, apakah kau sangat tidak suka aku berada di sekolahan?" tanyaku dengan nada sedikit sinis sembari kembali pada kuis yang sebelumnya kukerjakan. "Te-tentu saja tidak! Hanya saja aku jadi merasa punya kewajiban untuk menunggumu pulang ...."

Alasan macam apa itu? Baiklah-baiklah, "Apa-apaan Nata? Kau boleh langsung pulang tanpa menungguku kok," balasku dengan senyuman dan menatapnya.

"Lagipula kuis ini harus kubenarkan terlebih dahulu di sini daripada nanti aku terkenal omelan ibuku yang sangat cerewet itu, aku tidak tahan!" lanjutku menjelaskan, sedangkan orang di depanku ini hanya mengangguk kecil dan bertanya lagi untuk memastikan hingga tinggal aku sendiri di ruang kelas ini.

Sebenarnya aku tak terlalu menyukai sendirian ini dan aku juga berharap agar tidak ditinggal oleh Nata tadi, hanya saja ... aku ingin menemui Vano, dia kekasihku.

Kita juga sudah janjian semalam, jadi aku tinggal menunggunya saja, 'kan? Pikirku begitu lama tanpa mengerjakan soal-soal kuisku yang telah tercoret salah itu, "Biarlah kuis ini mengerjakan dirinya sendiri!"

Aku merapikan barang bawaanku dan langsung bergegas dari kelas, berharap Vano akan terkejut dengan sedikit keantusiasanku ini. Sebenarnya aku tak terlalu yakin jika akan berkencan dengannya hari ini juga, karena cuaca tidak sepenuhnya cerah. Tapi, apa salahnya mencoba?

Bisa saja terjadi momen manis seperti berduaan di satu payung yang sama pasti sangat menyenangkan! "Hey, Lia! Kau terlihat senang. Apa kau ingin bertemu Vano?" Ah, itu Dama. Dia teman kelasnya Vano.

Aku mengangguk, "Iya, nih. Kamu melihatnya nggak?" tanyaku basa-basi, sebenarnya aku tahu kalau dia pasti ada ... "Tentu, seperti biasa. Dia pasti sedang ada di perpustakaan, kau tahu itu 'kan?" Nah, itu dia!

Setelah berpamitan aku langsung berlari kecil hingga sampai di perpustakaan, suasana di sana cukup sepi karena maklum lah ya, sudah lewat waktu pulang!

Di tengah-tengah kesunyian peepustakaan dan sibuknya aku mencari Vano untuk mengejutkannya aku sedikit mendengar suara erangan dan kecipak basah.

Suara cabul ini memang suka terdengar di perpustakaan, tetapi ... apakah mungkin? Tidak-tidak, aku harus berpikir positif! Aku berjalan dari rak ke rak hingga sampai ke pojok rak, akan tetapi tak menemukan siapapun. Bahkan yang tadinya kupikir setidaknya aku akan bertemu kelakuan orang-orang cabul, nyatanya tidak.

"Emhh!" Suara itu lagi, oh ya aku ingat ada ruangan lain di sini. Aku langsung ke depan pintu ruang baca yang memang terpisah dari tempat rak-rak buku utama, dengan panas dingin karena takut kepergok mengintip kelakuan orang cabul aku memegang kenop pintu, siap untuk membuka.

...

Bagai disambar petir di siang hari, petir juga menyambar ketika aku melihat sahabat serta kekasihku sendiri berciuman di sana, Vano terlihat sangat nafsu ketika mencoum Nata.

Tidak saat seperti aku dan dia ... "Apa yang kalian lakukan?!" tanyaku kesal dengan nada tinggi setelah aku gebrakan pintu itu sekalian, beriringan dengan rintik hujan yang perlahan mulai turun.

Mereka berdua telihat terkejut, oh tentu saja. Akan tetapi kenapa ini bisa terjadi? Mataku membasah terlebih dahulu lalu disusul oleh rasa sesak yang tak terbendung ini.

"Li-Lia, aku tidak bermaksud!" Jalang itu, ia masih berdalih, aku tak tahan dan langsung menghampirinya.

Plak!

"Apa yang kau lakukan?!" itu Vano, aku mendecih. Dia masih bertanya? Memang lelaki brengsek! Aku langsung menghantamkan bogem mentah yang pernah diajarkan ayah padaku, "Kamu harusnya berpikir bermain dengan siapa!" Kataku sembari menendang selangkangannya.

Lalu pergi dari sana tanpa sedikit pun rasa tenang, dadaku begitu sakit, aku juga merasakan gejolak emosi yang tak tertahankan. Apalagi aku masih dapat mendengar suara jalang itu memanggilku, aku tak tahan, aku berlari menerobos hujan hingga terjatuh akibat tanah yang licin.

Padahal aku hanya ingin berkencan dengannya hari ini, tapi dia adalah lelaki brengsek dan ternyata sahabatku pengkhianatnya, dunia memang bercanda!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro