Ruang Kecil dan Malam nan Sunyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sakit, merenung di kamar tak membuatku lebih baik. Perutku dipenuhi hal-hal yang tidak kutehui. "Apakah itu?" tanyaku ragu memeluk diri yang semakin tenggelam jauh.

Dapatkah aku berpikir kembali? Tidak. Rasa takut selalu membuatku jatuh, entah apa itu. Ada hal yang selalu mendorongku untuk pergi dari sini.

Walau terkadang kuyakin, bunuh diri bukanlah solusi dari semua ini. Aku tertawa di antara sunyi, mencoba meraih segenap jiwa lewat pintu kecil itu.

Pintu yang kuharap dapat kuraih. Walau kemarin belum bisa, walau hari ini hampir bisa, walau pun esok aku bisa. Pintu apa itu? Aku juga tidak tahu.

Keraguan dan kecemasan membelengguku seperti rantai berat yang melilit tubuh ini. "Ibu, apa tidak menyesal melahirkanku?"

Aku kembali menangis, tidur selama mungkin sangat tidak membantu. Lapar? Tidak, sedih? Aku penuh akan hal itu. Bahkan rasa-rasa yang kuraih hanya hampa tiada batas.

Terjatuh di relung luka ini sangat membuatku gila. Siapa yang melakukannya? Aku pun tertawa saat mengetahui jawabannya. Apakah aku gila? Mungkin saja.

Bagaimana seseorang bisa tetap waras? Padahal ia hidup di tengah lingkungan yang memeras kewarasan dengan sangat keras.

Aku tidak tahan terhadap hal itu, rasanya seperti tenggelam di antara tatapan penghakiman. Paru-paruku sesak jika dihadapkan pada mereka, kekejaman tak berarti itu membuatku muak akan manusia.

Berapa lagi teriakkan yang harus kukeluarkan? Tenggorokanku sakit, rasanya seperti tercekik. Bergumam saja membuatku berdecit, jadi ini rasanya tercekat? Tawaku membisu.

Siapa lagi yang akan membuatku menderita lebih jauh? Kuyakin mereka akan datang membantu lalu menjatuhkanku lewat lubang tanpa dasar.

.
.
.

Aku menatap cakrawala yang jauh nan indah dengan banyak hiadannya, bintang-bintang itu berkelip menyejukkan mata. Sama halnya dengan angin malam, mereka menyejukan tiap bagian dari tubuhku yang tak terbalut dengan kain sepenuhnya.

Aku menghela napas, lelah berpikir. Bagaimana bisa langit sebesar itu bisa menahan dirinya untuk tidak mencium bentala? Padahal mereka terlihat saling mencintai dan amat menjaga satu dengan yang lainnya.

Aku tidak baik-baik saja di atas sini, pikiranku sangat berisik hingga aku muak dan ingin sekali mati. Tetapi apakah aku bisa? Masih banyak hal yang ingin kulakukan.

Terjaga di antara malam dan fajar membuatku kedinginan setengah mati, namun kesadaranku tetap terjaga entah karena apa. Mungkin efek kafein yang kukonsumsi? Bagaimana aku bisa berhenti dari hal itu?

Insomnia, gangguan kecemasan, takut ditinggalkan, kecewa dan masih banyak lagi yang tersemat di dalam diri ini. Orang-orang tidak membantu, sama sekali tidak. Mereka hanya membantu untuk memperparah ini semua.

Siapa juga yang ingin sakit? Siapa juga yang ingin mati? Siapa juga yang ingin gila? Aku ingin? Jelas tidak! Aku mencoba menyembuhkan diriku dari segala ketidak warasan yang kalian berikan.

Lidah kalian lebih banyak membunuh dibanding sebuah pisau yang kugores di antara nadiku. Apa lagi yang kalian inginkan? Hidupku? Ambil saja. Kupikir memang ada benarnya jika aku harusnya tiada dari dunia ini.

Lelehan air mata kembali menggenangi ufuk mataku, dadaku kembali terasa sesak, isakan demi isakan menemaniku hingga terlihat cahaya jingga nan indah menampakkan dirinya dibalik sana.

Aku berharap jika semuanya dapat lebih baik, semoga harapku terdengar pada bentala dan cakrawala hingga Tuhan dapat memberkahiku. Aku mohon, dengan sangat.

Pelukku di atas hamparan padang rumput nan rimbun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro