November 08

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kakak, mungkin. Almarhum kakak perempuan yang kupanggil mbak itu teman bermain, teman saling menyemangati, bahkan guru bahasa Inggris terbaik yang pernah kupunya. Beliau awalnya teman curhat juga, lalu setelah mbak menikah kemudian pindah rumah—dibawa sama suaminya, aku jarang bercerita lagi kepada beliau, bahkan mbak pun begitu—nggak terlalu terbuka lagi sama aku. Dia menjadi orang yang mampu menutupi segala rasa sedih dengan senyum, lalu makan banyak seolah dirinya orang paling bahagia di dunia dengan mengabaikan kerapuhan hati.

Lambat laun, aku yang terbiasa memiliki cerita dipendam akhirnya nggak pernah curhat ke siapa-siapa kalau sedang ada masalah. Bahkan ketika mbak kembali ke rumah, aku mengikuti jejaknya yang tertutup. Kalau lagi kesal—sangat dan nggak bisa ditahan, aku curahin lewat whatsapp story—itu pun bukan masalah pribadi—bagiku. Kalau masalahnya udah privat banget, paling ndekem di kamar. Itu semua aku contoh dari mbak.

Lalu ketika Tuhan lebih menyayangi beliau, dan memintanya berada di sisi Tuhan, aku nggak bisa menangis sesenggukan layaknya orang baru saja kehilangan. Awalnya kupikir, apa mungkin rasa sayangku lenyap ke mbak karena jarang berkomunikasi dari hati ke hati lagi—sehingga aku nggak menangis; kami hanya bicara kalau ada perlunya saja selepas mbak kembali ke rumah.

Saat malam yang kosong menyapa—usai pemakaman segala macam selesai, aku terus berpikir sendiri di kamar. Tengah malam lewat tanpa permisi. Tiba dini hari, pikiranku menemukan sesuatu yang membuatku menyesak; mbak menjaga jarak kepadaku, dan nggak mau berbicara secara mendalam lagi karena dia nggak mau terlihat menyedihkan di hadapanku. Hidupnya sulit, aku nggak bisa memberitahukan kalian betapa sulitnya, atau bagaimana beliau menjalani rumah tangga tanpa ujung. Saat-saat itu aku merasa, mengapa beliau nggak bercerita saja padaku? Seperti kami sewaktu kecil yang bercerita tanpa takut apa pun, tawa tanpa beban, dan bermain nggak kenal lelah. Aku mengutuknya bodoh. Sangat bodoh.

Andai dia bercerita sedikit tentang lelah yang dirasa, setidaknya dapat mengangkat beban meski nggak semua. Aku menutup wajah menggunakan bantal dan berteriak sekencang-kencangnya menjelang pagi itu, menumpahkan air mata yang kemarin nggak keluar meski hanya setetes.

Aku merasa kehilangan, kosong, seperti separuh jiwa melenyap. Aku baru merasakan sakit dari hati yang sempat mati rasa.

Kini, aku merindukan beliau yang telah tersenyum bahagia bersama Tuhan. Kesannya sangat mendalam untukku. Setelah kedua orang tua kami, mbak adalah seseorang yang terhebat selanjutnya bagiku. Dia pahlawan untuk dirinya sendiri sehingga tetap bisa berdiri tegak di tengah dunia yang terus mengguncangnya tak kenal lelah. Bahkan dia berhasil melahirkan dua anak yang lucu, kedua anak yang menjadi keponakanku.

Mbak telah berjuang sampai akhir napas berembus.












- N O V E M B E R 2 0 1 9 -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro