*So Where Do I Begin?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Songfict The Beginning by ONE OK ROCK.

Note; I'm not advice you to hear that song in the mulmed and read this fict at the same time. Don't.

***

Just give me a reason
To keep my heart beating
Don't worry it's safe right here in my arms.

Meski semesta menatap kita seakan jadi yang paling hina,
Tataplah aku disebelahmu, cinta
Kita aman, dalam dekap harapan
Aku disini, hanya satu alasan
Demi dirimu, apapun itu kan ku runtuhkan.

Dimana aku harus berkorban?

****

"Jangan gila, kau tidak perlu berbuat sejauh itu, sungguh. Kumohon ...." gadis paling indah di dunia menatapku dalam. Maniknya meredup, harapannya tampak tersulut oleh luka yang teramat dalam. Aku tidak sanggup melihatnya begitu. Aku tidak sanggup.

Bagaimana caraku untuk membuatnya kembali bercahaya? Bagaimana caranya menyeret gadis ini keluar dari lubang penuh luka? Bagaimana caraku untuk berjuang?

Bagaimana ... untuk memulai?

Sungguh, jika tidak ada dia disampingku dengan raut derita dan darah menguar di bahu, jiwaku sudah mati oleh teriakan-teriakan dan berbagai panahan dari segala arah. Dengan kata lain, kami diburu oleh kematian. Keadaan yang tak kumengerti membuatku menentang prinsip sejati seorang prajurit. Tapi aku selalu ingat perkataan Ibuku, tentang lelaki yang benar-benar hebat adalah yang berjuang demi wanitanya, demi pilihan yang dipilihnya. Manusia yang mulia, melakukan apa yang dikatakan hati, meskipun seluruh dunia bilang bahwa itu salah, aku masih punya diriku untuk percaya. Maka beginilah.

Meskipun aku bukan prajurit sejati lagi, aku masih bisa menjadi lelaki sejati, manusia sejati.

Hidupku mau dibawa kemana? Relakah aku?

Mereka mungkin memanggilku gila.

"Isabel, bukankah kau butuh seseorang untuk mendapat keadilan?" Aku menatapnya lebih dalam lagi. Keputusan hidup mati apa yang sudah kubuat? Aku punya satu alasan yang membuatku tetap hidup. Maka apapun itulah, aku akan terus menggenggamnya, hidup dengannya.

Dari balik batu keramat yang dijauhi masyarakat negeri itu, membuat kami selamat beberapa saat. Panahan itu tidak akan sampai dan pasti melesat, buruknya lagi ... mereka yang menginjakkan kaki di area bebatuan keramat ini akan mendapat hukuman tak berampun.

Manusia berprinsip memang mengerikan. Kami sudah dimusuhi semesta, mau menghormati adat bagian mana pula? Sayang nyawa barangkali, Tuhan akan kecewa jika aku tidak berusaha untuk sekadar lari.

Isabel tidak bergetar lagi. Gadis itu tegar, teramat tegar malah. Yang Mulia Raja mati di depan matanya, telat sekian detik saja aku juga bisa kehilangannya. Disaat negeri ini menganggapnya sampah, aku tidak akan bisa menerimanya.

Sungguh itu amukanku yang paling dalam saat ini. Entah apa yang direncanakan orang-orang yang haus akan kekuasaan di sana. Aku hanya tidak terima bagaimana bisa putri tak berdosa ini juga jadi korbannya?

Perasaanku masih campur aduk. Padahal kami sudah lari dari kejaran, aku kehilangan tombakku. Kakiku terluka tapi itu bukan apa-apa, aku tidak tahu kemana lagi kami hendak berlari. Tidak menunggu lama, mereka pasti membawa petinggi untuk sampai ke area ini.

"Eret, apa masih ada alasanku untuk berjuang?" Isabel tersenyum tipis, teramat tipis berlapis perih tak terkira. Aku menahan napas, seberapa cinta aku pada gadis mulia ini? Melihatnya menderita membuat hatiku teriris, perih.

"Yang Mulia, Kerajaan Albedera, dan juga pengkhianatan terhadap kerajaan ini. Siapa yang akan menumpasnya jika bukan Anda, Tuan Putri?" Aku menggenggam tangannya, sedikit menyemangati. Matanya melihatku tak percaya, hendak menangis lagi.

"Eret, jangan ... pergi. Aku takut," ucapnya lirih. Menyandar di dadaku, sedangkan pendarahan di bahunya belum berhenti. Rasa sakit itu seperti bukan apa-apa lagi dibanding yang dirasakannya dalam hati.

Aku memegang bahunya, mengingat metode menyalurkan energi yang seluruh prajurit pelajari.

Aku tidak tahu, apa yang membuat prajurit negeri ini membelot begitu saja. Apakah hanya aku yang gila karena kesadaran mereka bahkan seperti tidak ada! Seperti dikendalikan oleh suara dalang yang benar-benar bajingan dari semua hal ini. Prajurit yang berjanji setia pada Albedera kini menumpas Raja dengan tangan mereka sendiri? Bahkan komandan yang kukagumi. Tersirat kebencian dalam matanya tadi. Itu tak akan bisa kumengerti, tak bisa kupahami. Apakah aku yang terlalu naif?

Aku tidak mengerti.

Isabel menyingkirkan tanganku yang masih di bahunya. Wajahnya pucat, berdebu, bahkan ada percikan darah yang tak kulihat sebelumnya.

Aku tidak sanggup.

"Kau butuh energi lebih daripada diriku. Eret, bisakah aku ... memintamu? Bisakah aku?--" aku menggeleng. Gadis ini hendak menangis lagi.

Jika keajaiban memanglah ada, maka datanglah.

"Kau tidak bisa memintaku, Isabel. Tapi kau bisa memerintahkanku, dengan nama Albedera, dengan Nama putri raja, dengan kehormatan yang selalu kau punya, kau bisa memerintahku kapan saja." Maka sempurna, gadis itu yang kurasa sudah kehabisan air matanya, menangis lagi.

Dia terisak lama. Lantas nampak berpikir, aku masih menghitung seberapa lama kami masih aman disini.

Isabel berdiri tertatih, aku hendak membantunya, tapi ia menahanku. Sorot matanya tegar, sedih, kesal, dan tidak mengerti. Secercah harapan terlihat disana, kala memandangku.

"Aku Putri Isabella Eleanor de Elbedera, memerintahkan prajurit Eret Aldebaran untuk setia padaku hingga dia siap untuk pergi kapanpun dia mau."

Aku tersentak tak percaya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin kudengar. Isabel tidak mau mendengar keluhanku, dia mengusap pipiku, tersenyum pilu. "Aku memerintahkanmu untuk setia hingga kau mau pergi kapan saja. Aku memintamu untuk membersihkan nama Ayah, menumpas mereka yang hilang arah, tapi aku tidak ingin kehilanganmu, Eret. Aku tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi. Aku tidak mau kau mengorbankan nyawa untuk tidak pernah kembali, aku tidak mau!" Isabel tidak bisa menangis lagi.

Aku tahu hatinya rapuh. Tapi lihatlah, dia bisa memandang mataku untuk mengatakan hal itu.

Bagaimana caraku berjuang untukmu, wahai satu-satunya alasanku?

Ketika dunia jatuh berantakan di sekitar kita.

Yang bisa kita lakukan hanya berpegangan.

Kupertaruhkan segalanya jika itu untukmu.

Bisikku, pada langit malam kala itu.

"Aku milikmu, Isabel." Kugenggam tangannya, mengajaknya berlari. Aku tidak mau menunggu sergapan selanjutnya lagi, di seberang ada hutan yang amat kuketahui seluk beluknya. Bagaimana caranya mengulur waktu lebih lama?

"Tunggu, Eret. Berhenti!" Aku memprotes tidak ada waktu, tapi dia tetap memaksaku berhenti.

"Aku ... tahu disini, di bebatuan keramat ini. Ada kejaiban yang pernah kukatakan padamu saat kita kecil." Isabel menatap lima batu besar dengan gagahnya berdiri mengelilingi, batu-batu rembulan yang kami injaki bersinar semakin terang seiring purnama yang bertengger sempurna diatas sana.

"Tidak ada waktu, mereka bisa mengejar kapan saja!" Aku tidak tahu apa yang Isabel rencanakan. Tapi dia melepas liontinnya. Mengangkatnya tinggi-tinggi, entah dengan tujuan apa.

"Wahai roh dan entitas yang menjaga keseimbangan negeri, aku Puteri Albedera, Isabel. Meminta keajaiban kalian, demi kerajaan. Selamatkanlah kami wahai makhluk ghaib yang melindungi negeri ini, aku--"

Batu-batu itu seakan berderak sedikit. Aku tidak bisa tidak kaget melihat itu. Benar, ini pernah terjadi.

Saat kecil, Isabel pernah ke tempat ini. Tapi para entitas itu menyelamatkannya.

Lalu kali ini, aku tidak tahu sedang ada pertunjukan apa. Tapi para entitas yang katanya tidak pernah menunjukkan diri, keluar dari sela-sela batu keramat paling besar. Warna-warni indah melambangkan banyak hal yang menjaga keseimbangan dunia.

Ibuku pernah cerita tentang entitas waktu yang kerapkali berwujud debu, melayang.

Hal yang terjadi di hadapanku kini benar-benar indah. Memukau.

Raut wajah Isabel tampak sangat senang. Dia benar-benar yakin bahwa keajaiban itu ada, dan sekarang mereka ada di hadapannya.

Tapi, aku merasakan sedikit perasaan tidak enak. Insting seorang prajurit, aku tidak bisa membohongi perasaan itu. Tapi aku tidak tahu darimana asalnya?

Isabel masih terpaku memandang entitas yang mengelilinginya. Entah menunggu apa? Maka kuputuskan ini tidak benar.

Aku merasakan hawa jahat dari balik batu itu.

Dan saat batu rembulan meredup, aku refleks mendorong Isabel dan mencengkeram erat sesuatu yang menyerang mendadak itu, menyeng hendak menikam, jemariku berdarah. Mengikis daging begitu saja, mengalir pada benda yang melayang baru saja itu, sebuah pedang berwarna hitam dengan energi kegelapan di sekelilingnya.

Pedang itu berusaha berontak dariku, membuat tanganku bisa-bisa melepaskan jari dari tempat seharusnya. Aku melepas genggaman, sakit bukan main. Pedang itu melayang, tertancap diatas batu. Membuat entitas lainnya lenyap. Aku lekas melirik Isabel.

Dia terduduk. Sangat terkejut. Memandang telapak tanganku jeri, memegangnya, mengusapnya, dan hendak menangis lagi.

"Ma-maafkan aku, maafkan aku Eret. Eret aku--"

"Aku baik-baik saja." Aku berusaha tersenyum, entah berapa banyak energi hanya untuk tersenyum saja.

"A-apa yang harus kulakukan? Kenapa jadi begini ...." Isabel kembali panik. Menatap pedang diatas batu itu.

"Pedang itu--"

"Entitas kebencian," lanjutku.

"Dulu dia tidak seperti itu, kau tahu itu kan, Eret?" Isabel benar-benar meminta pembenaran dariku. Tapi saat dia melihat telapak tanganku yang berada di genggamannya, yang tengah ia balut dengan kain dari gaun seadanya, ia kembali merasa bersalah.

"Dulu warnanya indah, seperti lambang kesucian. Aku tahu itu, Isabel." Isabel menyelesaikan urusannya dengan tanganku.

Berdiri, hendak menyentuh pedang diatas sana.

Aku refleks menghentikannya. Namun ia tersenyum menenangkan, "Percaya padaku, Eret. Aku tahu apa yang kulakukan."

Aku tidak akan pernah membiarkannya. Jadi aku berjalan duluan, di depannya. Memastikan semua baik-baik saja, bisa-bisa pedang itu kembali melayang dan menikam kami sekaligus.

"Eret, kau harus percaya padaku."

"Aku percaya padamu, tapi tidak dengan benda ini."

Isabel menghela napas. Ia melempar liontinnya hingga mengalung tepat pada gagang pedang itu.

Tampaknya pedang itu-- atau entitas kebencian itu mulai terguncang dan aku bisa mendengar sedikit suara, "Bunuh Raja dan Putri, mereka pengkhianat! Pengkhianat pantas untuk mati!" Pedang itu kembali hendak menerkam, namun aku lebih dulu menangkap gagangnya. Mencabutnya. Memegangnya erat-erat, mengamankan liontin Isabel.

Aku dan Isabel saling pandang. Bagaimana bisa benda ini menjadi tenang sekarang? Hanya karena kugenggam?

Warna hitamnya bercahaya, perlahan namun dengan cepat memudar. Bak luruh dibersihkan oleh sesuatu yang tak kutahu.

Pedang itu kembali utuh. Menjadi pedang putih suci, entitas kedamaian.

"Eret Aldebaran. Prajurit yang paling kuagungkan. Aku sungguh berterima kasih, dengan sedikit darah dan energi darimu ... entitas kebencian bisa sedikit tertahan. Aku tidak tahu kapan dia akan kembali, jadi wahai engkau, sang prajurit terpilih yang begitu mulia hatinya ... waktumu tidak banyak. Lindungilah putri, pergi temui Pandewa di jurang hutan Angkasaraya. Disana, kau akan temukan jawaban, dan apa yang harus kau lakukan. Aku percaya padamu, jangan menyerah. Bangunlah! Dunia menunggumu, aku mendoakan keselamatanmu dari bawah kesadaran semesta, sekarang pergilah."

Aku menatap tak percaya kalimat entitas kedamaian barusan. Dia mendesakku, aku hendak membawanya tapi ia bersikeras dan kembali tertancap diatas batu. Aku berusaha mencabutnya kembali, aku butuh senjata. "Tinggalkan aku, prajurit. Lihat, kau kehabisan waktu."

Isabel menarikku berlari ke dalam hutan berkabut. Hutan angkasaraya. Para pengejar itu benar-benar ingin kami mati. Aku beralih menarik Isabel, nenimpin di depan.

Aku punya alasan, bahkan untuk sekedar lari. Aku tidak perlu mati sekarang. Meski mereka menyebutku gila, aku akan memulainya disini.

Semakin dalam kami menuju hutan, pengejar itu menembakkan banyak panah, bola sihir yang bisa membuat bagian tubuh lenyap begitu saja.

Kabut menjadi sangat tebal malam ini, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Namun insting prajuritku bekerja. Mereka ada dimana-mana.

Menyeret Isabel berlari diantara rerumputan dan semak sembari menghindari panah dan serangan yang menyudutkan kami, aku kehilangan fokus. Mereka terlalu cepat, yang tadinya ada di samping dan belakang, beberapa bahkan sudah melompati pepohonan, mengejar langkah kami.

Saat tembakan dari atas diluncurkan, aku mendorong Isabel kuat, tembakan itu bisa membuat kami tak bisa bergerak.

Dan itu mengenai sebagian tubuhku, kaku, tubuhku seperti lupa bagaimana cara mereka bekerja. Isabel benar-benar panik. Dia tertatih menyeretku, yang berusaha mati-matian untuk tetap berlari.

Hingga tidak ada lagi tempat untuk berlari, kami berada di ujung hutan Angkasaraya. Maju sedikit saja nyawa sudah pergi ke alam sana. Aku tidak boleh terhenti sampai disini, aku harus menyelesaikan pilihanku. Berjuang demi alasanku.

Aku tidak mau mati disini!

"ERET, AWAS!" Isabel berteriak, sial aku lengah. Dia mendorongku hingga terjatuh, namun dirinya terkena ledakan udara yang membuatnya mau tak mau terdorong maju. Menyambut jatuh ke bawah sana.

Bahkan meski separuh tubuhku lupa bagaimana caranya bekerja, kedua tanganku mampu menggapai tangannya, terpaut.

Kami jatuh bebas kebawah sana.

****TBC***

A/N;

11 Maret? DCM BERES YHAAA /EMOT NANGIS. Rim seneng banget punya kesempatan ikut dan bisa ikut. Terus menulis enjoy gitu meski minus minus tapi setidaknya lengkap 30 chap jadi yes, rima did it.

Beres. Apakah begitu? Melihat bab songfict ini tentu tidak. Aku bakal tetap menggabut disini. Jadi yes, whay not. Mari lanjutkan.

Mari merayakan hari terakhir ini sekali lagi, karena rima emang bangga. Yes, bangga. Tidak buruk menulis harian. Nulis 1k/hari juga. Tapi ya, pegel. Meres otak juga. Untung nulis ndak perlu sambil kayang.

Nulis songfict ini lancar karena menghayati:') aku laik. Lagunya keren banget, gila. Kalo udah cinta, suka kebikin gitu aja. Oke, semoga next nya bisa kulanjutkan dengan mudah. Let see!

Hope me lucky whoever if you see this;)

11-03-21

Best Regards
Rim.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro