Virtual Reality (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

....

"Aku bertahan, karena aku tau ... Di duniaku yang sebenarnya aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi."

***

Jalanan lengang, selengang otakku yang baru saja terhantam botol kaca– tidak sampai pecah atau membuatku berdarah, kata orang-orang memang kepalaku sekeras baja, secara harfiah.

Aku menendang minuman kaleng yang sialnya–  kaleng itu tidak merepotkan diri untuk terpantul dan mengenai pelipisku. Lagi.

Memang, kepalaku sudah sekeras baja.

Kesialanku juga memasuki tahap mengerikannya, yang mana semakin aku ingin hidup damai semakin aku tidak akan mendapatkannya.

Kuhela napas pelan. Tujuanku saat ini tidak lebih dari pusat hiburan yang isinya anak-anak SD yang merengek pada mama mereka untuk sekedar mencoba meggerakkan capit boneka, mencoba peruntungan untuk mendapatkan teddy bear besar dibawa pulang.

Sayang sekali, kesialanku sepertinya tidak bisa unjuk diri saat aku berhadapan dengan semua permainan remeh itu. Mesin-mesin itu seakan tunduk bahwa akulah yang jadi tuas penggeraknya.

Haha. Jangan percaya kata anak lima belas tahun yang baru saja kabur dari rumahnya.

Melarikan diri tepatnya.

Tempat itu ramai, seperti biasa. Nyaris membuatku urung karena tidak bisa bermain lama-lama. Namun setelah kupikir-pikir, setelah ini aku hendak kemana lagi?

Maka kuputuskan merapatkan jaket dan melirik saku, uangku tidak banyak, aku tidak menarik banyak tadi. Tapi dengan intrik yang biasa kulakukan disini, semuanya akan mudah.

Sampai di depan area para petugas melakukan penukaran– aku menyodorkan uang ribuan, diberikannya koin sebanyak jumlah tertera. Aku menatapnya lamat-lamat, menyisipkan tatapan aku kan sudah sering kesini, beri aku tambahan koin dong.

Yang mana itu mustahil, bagi mereka aku itu gadis remaja menyebalkan yang berhasil mengakali mesin capit yang telah diperbudak sedemikian rupa untuk menelan sumpahan orang-orang yang memainkannya.

Untung saja aku berpenampilan berbeda.

Kasian sekali mereka yang menghabiskan ratusan ribu untuk satu boneka diberikan ke kekasih tercinta, namun gagal dalam percobaan ke seratus kalinya pula.

Kuhargai kenekatan dan ketangguhannya, namun kusayangkan kebodohannya dan uangnya yang terbuang percuma.

Aku bisa makan seminggu dengan uang segitu. Bercanda.

Hanya orang-orang bodoh yang tidak bisa melihatnya dengan jelas, mesin ini tidak sesederhana kelihatannya, memasukkan koin atau menggesek kartu lantas menggerakkan kontrol pada boneka yang sekiranya posisi boneka itu memiliki kemungkinan untuk tertarik oleh pencapit diatasnya, begitu dicapit boneka itu mengait namun saat berjalan, boneka itu jatuh lagi dengan begitu mudahnya.

Hah.

Dengar wahai makhluk malang yang tidak mudah menyerah, mesin itu sebenarnya tidak akan menjatuhkan bonekanya andai saja kau tidak terlalu berharap.

Jangan percaya yang barusan.

Aku mendekati mesin capit yang tidak dimainkan, bersyukur karena itu salah satu mesin yang cukup patuh.

Memasukkan koin, menggerakkan capit tidak menentu, memutar-mutarnya, menggerakknya lagi hingga kurasa capit itu benar-benar patuh, lalu menekan tombol dengan segenap kepercayaan diri. Saat capit itu membawa boneka ke arah lubang pun aku tetap menggerak-gerakkan tuas agar capit terus mencengkeram– jangan tanya mengapa demikian, lalu akhirnya bum, masuk.

Yah, aku bersyukur lagi karena tidak ada yang melihat. Bagiku cukup mudah untuk membuat mesin ini tunduk. Sudah lebih dari sekian ratus boneka, yang mana kuberikan ruangan khusus pada boneka-bonekaku. Aku bukannya pecinta boneka, kadang malah kujual di pasar loak. Atau kuberikan pada anak-anak. Aku hanya menikmati saat-saat aku memainkannya.

Maka dengan ratusan kali kemenangan, ratusan kali pula lah para staff karyawan bahkan bisa saja pemilik tempat hiburan ini memohon padaku langsung untuk berhenti memainkannya. Bahkan para pemilik tempat ini pernah menyogokku agar tidak bermain, cih. Aku sudah cukup ber-uang, aku hanya ingin bersenang-senang.

Ratusan kali, atau malah tiap kali aku menukar koin.

Bayangkan, mereka benar-benar memohon.

Aku tidak sampai hati, tapi aku punya hak untuk tetap bermain, maka mereka tetap tidak bisa menghentikanku sepenuhnya. Meskipun itu artinya aku akan membuat mereka bangkrut.

Yang mana lagi, mereka tidak mungkin membiarkanku membuat mereka bangkrut. Jadi mereka menyewa security yang hapal betul dengan wajahku, melarangku bermain, memblokir kartuku, memfitnahku– yang ini tidak serius tapi cukup untuk membuatku muak.

Maka aku datang dengan cara lain lagi; menyamar. Aku selalu memakai pakaian ala-ala seleb yang dikejar paparazzi. Tidak juga, tidak senorak itu. Tapi aku benar-benar menyembunyikan identitasku.

Saat boneka kedua memasuki lobangnya, tanpa kusadari seorang anak memang melihatku lamat-lamat dari jauh. Lalu ia mendekat, menarik ujung jaketku dan dengan polosnya berkata, "Boleh boneka itu untuk adikku?"

Ah, manis sekali. Tapi yang kuberikan padanya adalah sebuah koin, "Kau harus mencobanya sendiri."

"Benda ini membuatku muak."

Yah, aku bisa memaklumi itu. "Pegang tuasnya, masukkan koinnya. Aku akan memandumu."

Terdengar bunyi klek. Aku memegang tangannya diatas tuas, menggerakkannya. "Pilih yang mana saja." lalu ia mengarahkan tuas pencapit pada boneka yang dipilihnya.

"Hei lihat! Itu gadis yang selalu berhasil mendapatkan boneka dalam mesin–" ya ampun, aku sudah ketahuan.

Biasanya aku akan langsung kabur. Tapi kali ini, tidak apalah. Dikerumuni banyak orang seperti ini membuatku terbiasa, bahkan beberapa sering bermain bersama.

Pencapit boneka menangkap targetnya, menariknya keatas. Lalu kubisikkan pada bocah itu, "Kalau kau orang pintar, maka kalkulasikan sudut dan arahnya sebelum boneka itu memasuki lubang, gerakkan terus perlahan agar pencapit itu tidak keras dan melepas, kau bisa langsung melemparnya jika kalkulasimu tepat. Tapi aku tidak menjamin yang satu ini berhasil soalnya–"

TININING!!

Suara yang seringkali kudengar, itu tandanya berhasil. Bocah itu melompat kegirangan memeluk bonekanya, lantas memelukku. "Kata-katamu tadi seperti sihir di kepalaku, tanganku seperti bergerak sendiri!"

Oh, benarkah?

Beberapa orang bersorak dan bertepuk tangan, memintaku untuk memainkannya lagi. Aku menaikkan masker wajahku, menutupi perasaan malu sekaligus was-was. Jangan-jangan mereka ada disini.

Aku baru hendak pergi setelah melambai pada mereka. Lalu seorang temanku– Robin yang seringkali menemaniku bermain, membawakan bonekaku yang kurang muatan. Dia hanya mengumpulkan tiket untuk drone yang terbatas, dan dia berhasil mendapatkannya– dengan bantuanku.

Robin menyeretku keluar arena, jalanan malam tidak terlalu sepi. "Ada apa Robin?" aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

"Tadi aku melihat salah satu bodyguardmu. Sudah kubilamg jangan buat kerusuhan lagi!" Robin berdecak. Dia sudah seperti kakak laki-lakiku, atau malah Ayah. Protektif sekali.

"Yah, tadi itu benar-benar tidak sengaja, sungguh." aku bergidik saat melihat di belakang punggung Robin benar-benar ada mereka. Orang-orang berbadan besar dengan kacamata hitam dan kepala plontos seperti di film-film.

Aku langsung berlari karena mereka juga berlari!– salah satunya mencengkeram Robin yang kuharap tidak terluka. Yang lainnya mengejarku, "Nona! Nona Aya tidak boleh kabur lagi!"

"Aku tidak mau! Bilang pada Ayah, aku tidak akan mau!"

Jadi, ceritanya panjang. Sebenarnya Ayahku memaksaku menikah demi relasi perusahaan. Bisnis, biasalah– ini tidak seperti di komik-komik, kalian harus tau bahwa pernikahan bisnis itu memang wajar. Tapi aku baru akan memasuki enam belas tahun! Aku menolak keras, untuk yang kesekian kali pada Ayah.

Mereka egois.

"Nona! Tolong berhenti dulu, kita bicarakan baik-baik!"

"KALIAN BAHKAN TIDAK MAU MENDENGARKU!"

bruk!

Oh tidak. Sepertinya salah satu dari mereka sudah menungguku di depan sana. Aku menabrak– "Van?"

Van tersenyum, ia salah satu pelayan pribadi baik hati yang kupercayai.

"Jangan memaksaku seperti mereka!"

"Tidak nona, tidak akan. Ayah Anda ingin saya membicarakan ini baik-baik." Van memintaku duduk di bangku dekat sana. Menyuruh orang-orang keparat yang mengejarku tadi pergi. Bagus.

"Jadi, apakah ada hal bagus yang bisa kudapatkan?" tanyaku.

"Tuan bilang Anda boleh menolak permintaannya–" aku langsung memotongnya dengan girang. "Sunguh?!"

Van menangguk lagi, lalu melanjutkan, "Dengan syarat, Anda harus bermain VR dan mendapat rank seratus teratas dalam dua bulan."

Glek. Itu mengerikan, sama mengerikannya dengan pernikahan.

Keduanya sama-sama hal yang tak kuinginkan. Ayahku, keluargaku. Salah satu investor dalam produk game Virtual Reality, yang terkenal lima tahun belakangan ini. Sekarang adalah zaman-zamannya. Tapi sekalipun dirumah besar kami punya banyak sekali game itu, yang mana hanya mampu dibeli kalangan atas. Aku tidak pernah mneyentuhnya, apalagi memainkannya.

"Tidak adakah cara lain?–" aku nyaris menangis, menahan air mata mati-matian. Sejak dulu memang aku sudah diperlakukan seperti Alat.

"Pilihan ketiga," Van menjeda perkataannya. Lalu melanjutkan, "Anda harus bisa mengumpulkan sejuta dollar dalam lima bulan."

Ini juga bukan pilihan yang baik. Tabunganku mungkin seperempat jumlahnya. Aku bisa membaca situasi ini. Bahkan untuk kebebasan saja aku harus membayar mahal.

Aku tersenyum menguatkan diri. "Kuterima yang terakhir itu." Van berjengit kaget. "Anda serius nona?" Aku mengangguk lagi.

"Baiklah, sementara Anda tidak akan menjadi tanggungan keluarga. Anda harus bisa menjaga diri, saya yakin anda bisa. Tapi jika dalam lima bulan Anda tidak mendapatkan total demikian, Anda akan kembali pada opsi pertama, dan tidak bisa menolak."

Pernikahan itu. Aku bahkan membenci calonnya.

"Jaga diri Anda Nona, jika dalam keadaan benar-benar darurat telepon saya. Dan lagi, sumber uang itu harus jelas. Resmi dan tidak melanggar–"

"Van, kau tidak berpikir aku akan menjadi gadis liar diluar sana 'kan? Aku bisa menendang anumu jika kau memang berpikir begitu."

"Tidak Nona, tidak–"

"Bagus." aku mengambil tas ku, memakai kacamata. Lantas pergi meninggalkan Van.

Harga yang mahal untuk sebuah kebebasan.

Aku baru hendak menangis lagi, kudengar Van berteriak. "Jaga diri Anda, Nona!"

Dan yah. Aku ini hanya cewek remaja yang sok berani, aku sebenarnya benar-benar takut. Aku takut akan semua pilihan yang tidak kuinginkan. Aku ingin semuanya kembali.

Tidak ada VR.

Virtual Reality, game bernama "Heaven Knight" benar-benar mencapai puncak popularitasnya.

Tapi game itu juga yang menjauhkanku dari keluargaku, Kakak laki-lakiku ... Dia pernah menjadi puncak dari game itu.

Ayah memperalatnya. Awalnya ia bermain dengan keinginannya. Tapi ...

Ah. Sejak itu aku memutuskan aku tidak akan pernah menyentuh game itu.

Tapi, sebagaimana kakakku ... Aku sepertinya tidak punya pilihan lain.

Dari balik gang, tiba-tiba ada yang menarik lenganku. Menutup mulutku agar tidak berteriak, tapi terlambat. Aku sudah menggigit jarinya dan menendangnya dengan tendangan memutar  yang mengenai dagunya, semoga giginya tidak lepas.

"HEI, Rai! Aku tidak pernah tau kau bisa melakukan itu, dan yah ini sakit sekali." Robin. Ternyata Robin. Ia memegang dagunya kesakitan. Syukurlah tidak ada yang terlepas.

"Itu tadi hebat, Nona Mesin Capit, atau Lord Of Claw Machine?" ada yang keluar lagi dari balik bayang gelap itu.

"Ah, pemilik tempat hiburan." gumamku. Orang itu selalu menyogokku diam-diam. Dia cukup menyebalkan. Mungkin dia sudah kepala empat, dengan pakaian kasual ala-ala yang memperkuat aura kebapak-bapakannya.

"Nah, Nona Mesin, maksudku ... Nona, sepertinya aku tidak sengaja mendengar obrolan kalian tadi."

Aku menahan napas. Jika Van tau, pria di depanku ini hanya tinggal nama.

"Jadi, apa kau ingin tau cara mendapatkan sejuta dollar dalam lima bulan?"

.
.
.
Aku tidak bisa menghindar lagi.

****

24-Juni-20.

TbC


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro