Virtual Reality (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehidupan tidak sesederhana raid boss. Menebas dan dapatkan.

***

Namaku Raia, gadis lima belas tahun. Remaja yang dibesarkan dengan didikan keras dan etika berkelas, tidak ada kasih sayang, tidak ada kata manja. Bela diri, meninju, menembak, aku diajarkan itu semua. Karena aku bagaikan putri rahasia bagi mereka, orang luar perusahaan tidak tau. R.L Company punya putri perempuan. Aku memang disembunyikan dari publik, hidup di pedesaan tiga tahun. Belajar bahwa kehidupan ini tidak sesederhana membajak sawah dengan traktor, apalagi memanjat pohon kelapa, yang mana hanya dua kemungkinan, jatuh atau– jatuh juga, tapi selamat.

Di malam saat aku kabur dari rumah karena perjodohan yang sangat kutentang itu. Aku punya satu tujuan yang tidak kuyakini.

Sejuta dollar dalam lima bulan.

Kalian tau– aku tidak benar-benar ingin mencarinya. Aku hanya mengulur waktu, lima bulan cukup untuk mengubah pikiran Ayahku.

Tapi tiba-tiba ada tangan yang menarikku dari gang gelap. Menanyakan bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu?

Aku tidak tau.

Maka, dengan segenap kepercayaan diri orang itu bilang,

"Aku akan memberimu Game ini cuma-cuma, dengan syarat jangan datang ke pusat hiburan dan memainkan mesin– ah, pokoknya jangan membuatku bangkrut!"

Aku memijat pangkal hidung saat mengingatnya.

"Kau punya potensi, nak. Semua mesin permainan tunduk padamu. Kau punya keberanian, hati nurani, dan pikiran. Maka itu cukup, kau bisa rasakan kebebasan di dunia game itu. Kau mau atau tidak, disana bisa mendapatkan uang dengan cepat, itupun jika kau niat."

"Seberapa tidak inginpun kau menyentuhnya, cepat atau lambat kau akan masuk ke dalamnya. Jiwa petualang itu ada dalam dirimu."

Aku menelan ludah gugup. Aku tidak cukup berani, kurasa. Tapi ...

Game itu sekarang ada di tanganku, aku dengan pintarnya mengangguk pada pria itu dan bilang 'aku akan membuatmu bangga.'

SUNGGUH! aku tidak benar-benar ingin melakukannya.

Aku menerima benda itu, karena itu gratis. Dan juga ... Aku bisa menjualnya, meski tidak tau harga pastinya, setidaknya Ayah terkesan aku bisa dapat uang.

Aku cerdas 'kan?

Haha.

***

Sesampainya di apartemenku yang berantakan, aku menatap benda itu lamat-lamat.

Jika mataku bisa mengeluarkan laser maka benda itu tidak akan utuh lagi.

Gear, itu sudah di modifikasi sedemikian rupa. Dahulu bentuknya mirip helm berkabel seperti alat pemindah otak, tapi berganti tahun bentuknya jadi lebih fleksibel. Mirip seperti alat bantu dengar yang saling terhubung.

Uh.

Aku mengecek harga benda itu di internet dan hasilnya cukup untuk membuatku membanting benda itu lagi– tapi tidak kulakukan. Harganya memang mahal, tapi hanya sedikit lebih banyak dari tabunganku. Jika kujual maka yang kudapat ada setengah dari perjanjian, lalu kemana setengah lagi?

Oh tidak tidak, batinku seakan memang menyuruhku untuk mencari nafkah disana. Maaf wahai benda elektronik yang membawa kesenangan semu, aku tidak akan memainkanmu.

Kuputuskan untuk rehat sejenak, memasak mie instan dan memutar siaran malam.

Mulutku lantas berhenti mengunyah karena kebetulan sekali, siaran TV saat ini adalah siaran khusus VR Heaven Knight. Yang mana selalu membahas kabar seputar game itu.

Dan kabar itu membuatku sedikit panas.

Juara dunia kita dahulu dengan Nickname Game, Nerai yang dikabarkan sudah pensiun. Kini sepertinya sudah digantikan oleh Accel. Seorang legenda pedang–

Aku buru-buru mematikan TV.

Siapapun Accel itu, aku harus bilang padanya untuk berhenti bermain, jika tidak ingin bernasib seperti Nerai.

Gear itu sudah terpasang di sekeliling kepalaku, sambungan kabel sudah masuk ke listrik, benda itu sudah kuhidupkan.

Dengan segenap niat, harapan, dan sedikit rasa takut. Kuputuskan mau tak mau, aku harus mencoba.

"Heaven Knight, Sta–"
.
.
.

"APA YANG BARU SAJA AKAN KULAKUKAN?!"

Buru-buru kulepas paksa benda itu dari kepalaku. Jika sembarang melakukannya aku bisa mati otak.

Tapi barusan apa yang mau kulakukan? Masuk ke game itu? Untuk apa?

Bodoh aku bodoh bodoh!

Mungkin benar, cepat atau lambat aku akan masuk ke dalamnya. Tapi mau apa? Aku tidak punya pengetahuan apa-apa tentang benda itu, hanya sedikit dari ceritanya kakakku, itupun aku masih kecil sekali, terdengar sambil lalu–

Tapi aku ingat betul kakak menceritakan itu dengan sangat senang. Dia menikmati petualangannya.

Kuhela napas pelan.

Tunggu aku Heaven Knight!

Mula-mula aku harus ke pusat hiburan. Bukan untuk bermain tentu saja, mungkin aku akan minta diajarkan, atau meminta Robin memberitahu hal penting di game itu.

Semuanya butuh persiapan, bukan?

***

"Raia, kau tidak sekolah?"

Hah? Kenapa Robin bertanya begitu–

"Ini akhir pekan, Robin."

Kami berada di sebuah kafe, di sebelah pusat hiburan. Pria tua hari itu ternyata orang sibuk. Aku harus menunggunya. Untung saja ada Robin. Jika tidak aku akan mati bosan karena sudah berjanji tidak akan bermain disana.

"Kau tinggal di Apartemen sendirian, kabur dari rumah. Dan apa-apaan percakapan semalam itu? Kau dijodohkan?" Robin tampak berteriak di kalimat akhir.

Aku memicingkan mata. Kami memang sudah berteman lama, sejak aku kabur-kaburan dari rumah.

"Kau menguping ya?" Dibanding memberinya jawaban, aku malah bertanya balik.

"Tidak apa-apa kalau kau tidak mau menjawab," Robin mengotak-atik pesawat remot–drone– nya hingga ia nyaris membantingnya kala benda itu tidak berlampu lagi.

"Aku tau kau menerbangkan benda itu mengelilingi kota semalam."

Robin menghentikan kegiatannya, menatapku serius, lalu melanjutkannya lagi.

"Tahun ini aku tamat SMA, mungkin ada yang bisa kulakukan untuk gadis keliaran sepertimu. Kau mau kuajarkan materi sekolah? Atau–"

"Ajarkan aku berpedang."

Drone itu akan benar-benar jatuh jika pelayan yang mengantar pesanan kami tak sigap memangkapnya.

"Terimakasih." ucapku pada pelayan itu. Robin malah membeku.

"Rai, bukankah lebih baik kau belajar untuk persiapan–"

"Robin, aku sudah menamatkan semua materi itu, aku sudah melahap habis semua materi kuliah, aku bisa langsung mengambil gelar sarjanah atau dokter atau profesor jika aku mau! Tapi aku tidak mau itu sekarang!"

Robin masih mematung, mencerna ucapanku. Sepenuhnya bukan kebohongan, keluarga besarku tidak pernah menyekolahkanku di sekolah umum, pernah sekali dan itu malah membawa bencana– karena aku diajarkan bela diri dan banyak teknik tarung sejak kecil. Aku ini seperti senjata, atau malah harta berharga yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Jadi mau tak mau aku melahap habis semua ajaran guru home schooling ku yang katanya adalah yang paling pintar di salah satu univ ternama.

Lalu mengapa aku yang sekian tahun dikurung bak harta paling berharga lantas dibiarkan berkeliaran begini?

Kalau ada yang macam-macam aku bisa langsung membunuhnya, tentu saja.

"Rai, semalam kau baru saja menendang daguku dengan gerakan seperti di film-film, dan kau memintaku mengajarimu berpedang? Tidak-tidak, lebih baik kau belajar langsung dalam game itu."

"Ayolah! Kau sudah memainkannya berapa lama? Beritahu aku semua hal yang harus kuketahui." Aku tau Robin memainkan game itu meskipun dia tidak pernah benar-benar membahasnya.

"Dengar, aku bukan player dengan role menakjubkan seperti yang kau bayangkan, kau mungkin akan meledekku karena jalan yang kupilih dalam game ini."

"Mana mungkin, aku benar-benar butuh informasi saat ini jadi– ayolah!"

"Ada beberapa role yang bisa kau pilih, lalu ada berbagai kejutan dan skill tidak terduga, lalu–"

"Lalu apa rolemu?"

"Blacksmith."

"Membosankan."

Robin nyaris melempar robotnya kalau saja aku tidak buru-buru bersimpuh.

***

TbC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro