Eighteenth scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu-satunya yang Alfa tahu tentang Lyra adalah bahwa gadis itu tidak banyak bicara. Dan dia tidak terlalu kaget ketika Lyra hanya diam kala pemuda itu menelponnya. Dia bahkan tidak bertanya bagaimana Alfa bisa tahu nomornya.

Ya iyalah, dodol. Kan kemaren dia tau kalo gue buka handphone-nya.

"Lo masih di sana, 'kan?" tanya Alfa. Sudah sekitar lima menit Lyra mengangkat telpon. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Tidak, dia tidak akan menyerah. Bahkan jika harus mengorbankan pulsa ratusan ribu pun.

Alfa sudah mencari berbagai cara untuk menemui gadis itu, tapi selalu gagal.

Pertama, dia mendatangi kelas Lyra. Gadis itu ada di dalam sana, duduk dan membaca buku di bangku dekat tembok. Sendirian. Alfa mendatanginya, duduk di sampingnya. Beruntung, saat itu tidak ada satu manusia pun di kelas Lyra selain mereka berdua.

Alfa menatap Lyra, beharap gadis itu mau mematapnya sehingga Alfa bisa langsung memulai pernyataannya. Namun, Lyra bahkan seolah tidak menyadari kehadirannya.

Helaian poni Lyra jatuh ke depan matanya. Gadis itu kembali menyapukan rambutnya ke belakang, menahan tanganya di sana agar poni itu tidak kembali jatuh.

Alfa bisa melihat luka Lyra sekilas, dan langsung teringat pada Cindy. Menghela napas, Alfa memutuskan untuk bicara sebelum tempat ini kembali ramai.

"Lyra," panggilnya, dan dia harus menelan harapannya tentang respon gadis itu karena otot pada wajah Lyra bahkan tidak berkedut sedikit pun. Lebih baik dia melanjutkan. "Lo belum jawab pertanyaan gue, Ra."

Alfa mulai mendengar suara langkah kaki mendekat, disertai dengan suara ramai gadis-gadis yang sedang mengobrol. Pemuda itu hanya beharap jika siapa pun pemilik langkah kaki itu bukanlah penghuni kelas ini.

Lyra membalik bukunya tanpa menjawab. Dan Alfa merasa makin terdesak.

"Tolong, Ra. Gue butuh tau tentang ini. Hilangnya Satria bikin orang berubah jadi lebih buruk. Gue butuh tau, Ra."

Langkah kaki itu terdengar makin keras, dan suara ocehan gadis-gadis itu membahana di seluruh ruangan. Alfa menyumpah dalam hati.

"Eh, itu Alfa, 'kan?"

Sial. Sumpah, nggak ada yang bisa bikin gue lebih sial daripada cewek-cewek ini.

"Alfa? Temennya Ferdi yang cakep itu?"

Fans Ferdi bertebaran di seluruh sekolah, dan tak jarang Alfa menjadi sasaran mereka untuk meminta kontak Ferdi.

"Wah, deketin, yuk. Sumpah, gue pengen banget dapet kontaknya Ferdi. Paling nggak Instagram gue di-follback-lah."

Sial. Mana yang harus Alfa lakukan; kabur, atau bertahan di sini dan menunggu Lyra menjawab?

Lyra menjawab pertanyaanya. Bukan, bukan tentang Satria, tapi tentang kabur atau tidak. Saat gadis-gadis yang baru datang itu sudah berjarak satu meja dari tempat mereka duduk, Lyra bangkit. Dia menutup bukunya dan berjalan ke luar kelas. Masih tanpa menatap Alfa.

Dan itu sudah cukup. Tidak ada lagi alasan bagi Alfa untuk tetap tinggal. Pemuda itu keluar, mencari Lyra. Namun, tentu saja gadis itu sudah menghilang entah ke mana. Mengutuk dalam hati, Alfa kembali ke kelasnya, hampir menyesali keputusanya untuk tidak ikut denganFerdi dan malah mengorbankan soto porsi pertamanya Mak Nyak.

"Lo masih di sana?"

Tetap hening. Percakapan hanya terjadi satu arah. Ini adalah usaha terakhir Alfa setelah yang lain gagal. Gadis ini, Lyra, menghindarinya.

Alfa beberapa kali menghampiri Lyra lagi. Di kelasnya, di ruang musik, di kantin, bahkan di dekat danau, Lyra selalu langsung pergi ketika melihatnya.

Pernah sekali, Alfa medatangi rumahnya. Namun, nyali pemuda itu ciut kala mendengar teriakan-teriakan itu, beserta dengan suara kaca yang terpecah.

"Ra, lo kenal Cindy, 'kan?" tanya Alfa, sudah mengabaikan kenyataan bahwa dia bicara sendiri.

"Cindy temen gue dari kecil. Gue tau dia gimana. Gue kenal dia sebelum sikapnya jadi begini. Gue kenal dia pada masa dia masih jadi cewek manis dan baik.

"Kalo lo belum tau, dia itu pacarnya Satria. Mereka ketemu di cafe. Gue yang suruh merka kenalan. Dan lo tau? Mereka itu pasangan paling cocok yang pernah gue lihat. Satria dengan recehnya, Cindy dengan omongannya yang manis. Cocok."

Masih hening. Menghela napas, Alfa menatap layar handphone-nya. Masih terhubung. Entah manusia di seberang sana ada atau tidak, Alfa tidak tahu. Dia hanya bisa berharap.

"Intinya, Cindy berubah setelah Satria menghilang. Dia jadi lebih diem. Dan akhir-akhir ini, pertanyaannya tentang Satria menumpuk. Dia lampiasin itu semua dengan bully orang. Gue nggak tau kepuasan apa yang dia dapet, tapi dia ngelakuin itu terus seolah itu hobi barunya."

Masih hening. Tidak terdengar suara sama sekali. Baikah. Kali ini adalah pernyataan terakhirnya. Jika Lyra masih tidak merespon, dia akan menyerah dalam telpon ini.

"Cindy cuma butuh jawaban, Ra. Gue tanyain ini bukan buat gue sendiri. Ini buat Cindy. Gue bakal lakuin apa pun biar temen lama gue balik."

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Maih hening. Mengembuskan napas berat, Alfa menarik handphone dari telinganya, hendak menutupnya.

"Di deket danau."

Mengerjap, Alfa segera mendekatkan kembali benda segi empat itu ke telinganya.

"Lo jadi mau jawab, Ra? Beneran? Lo nggak lagi bercanda, 'kan? Lo-"

"Sekarang."

Tut .... Tut ....

Sanbungan terputus. Namun, itu saja sudah cukup.

Bangkit dari tempat tidurnya, Alfa berlari ke luar kamar. Setengah meloncat, dia menggapai kenop pintu rumahnya.

Pemuda itu benar-benar melompat mundur ketika membuka pintu.

"Eh, lo kenapa, Fa?" tanya gadis berambut sebahu di hadapannya.

Alfa mengembuskan napas. Terperangah, dia menatap Cindy. Ada apakah gerangan sampai Cindy mengunjungi rumahnya? Ini sedang tidak terjadi hujan atau badai, 'kan?

"Ngapain, Cin?" tanya Alfa balik.

Tersenyum, Cindy menjawab, "Gue cuma ... kangen Bunda."

Memiringkan kepalanya, Alfa menatap Cindy heran. Gadis itu bukannya habis tersambar petir, 'kan?

Berdecak, Alfa berkata, "Masuk aja. Bunda ada di dapur. Gue mau keluar."

Alfa berjalan melewati Cindy, dan seperti yang dia duga, Cindy menahannya.

Cindy terkekeh gugup. "Jangan dulu. Please. Gue mau ketemu lo."

"Bisa di sekolah, 'kan?" Alfa mengernyit.

"Besok libur, Fa. Dua hari."

"Nggak bisa nunggu?"

Cindy menatapnya dan tersenyum-jenis senyuman yang agak canggung, dan seketika mengingatkannya akan sosok yang pernah dia kenal dulu.

"Nggak bisa, Fa."

Alfa menghela napas. "Masuk, Cin." Dia membuka pintu lebih lebar, kemudian bergeser ke samping agar Cindy bisa masuk.

Mereka duduk berdampingan di sofa, dan setelah keheningan selama beberapa detik, Alfa membuka suara.

"Jadi, ada apa?"

Cindy menyunggingkan senyum itu lagi, dan Alfa memutar mata. Tadi, dia terlihat manis. Sekarang dia malah terlihat seperti gadis manja yang menyebalkan.

"Nggak usah begitu deh, Cin. Ngeri tau."

Tawa Cindy berderai. "Kenapa sih, Fa? Gue gak kelihatan kayak bencong, 'kan?"

Mana ada bencong secakep lo, peak.

Alfa memasang senyuman malaikat seperti seorang guru TK, kemudian berujar dengan nada manis yang dibuat-buat, "Jadi Cindy yang cantik, apa yang bikin lo dateng ke sini, hm? Gue lagi agak buru-buru. Sebaiknya lo nggak kebanyakan bacot."

Cindy terdiam. Senyum di wajahnya menghilang. "Mau ke mana sih lo? Gak mau sambut gue dulu atau apa gitu?"

Alfa menyabarkan diri. Gue keluar juga buat lo elah. Gue gorok juga lo.

"Seorang Alfa ingin menemui gadis bernama Lyra untuk menanyakan perihal Satria."

Mengerjap, Cindy mengernyitkan dahi. "Jadi ... lo belum dapet?"

Alfa medengkus. "Belum. Lo tau sediri gimana susahnya ngomong sama manusia batu macem dia."

"Jadi gimana?"

"Jadi ...." Alfa berdiri, menghampiri Cindy dan menarik tangan gadis itu agar ikut berdiri. "Mendingan lo temuin Bunda di dapur, bantu dia masak sementara gue keluar buat selesain ini."

Alfa menatapnya, menyalurkan keyakinan bahwa dia akan segera menemukan jawaban.

Mengangguk, Cindy tersenyum. "Makasih ya, Fa."

Alfa membalas senyuman itu. "Sama-sama." Kemudian, pemuda itu mendorong punggung Cindy sampai mereka berada di dapur.

Dan sementara Bunda heboh karena kedatangan Cindy, Alfa keluar rumah.

Yang barusan itu Cindy yang gue kenal. Nggak ada sinis sama sekali.

Alfa berjalan dengan cepat dan antusias, hampir berlari.

Lyra harus jawab gue. Sekarang. []

I don't know. Ayem rasanya😂 Melempem.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro