What's Wrong with Him?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatap matahari yang mulai turun bersama semburat kemerahannya. Perpaduan warna jingga, ungu, serta kemerahan membentuk rona yang begitu indah di langit. Warna-warna itu terpantul permukaan air danau yang tenang, membuat keindahannya bertambah dua kali lipat.

Ingin kulupakan,

Semua tentang dirimu

Namun, tak lagi,

Yang seperti dirimu,

Oh, bintangku

Aku mendengkus tertawa. Itu adalah lagu yang paling sering terputar saat saat aku memutar daftar putar itu secara acak. Aku tidak tahu apa yang membuat Satria begitu menyukai lagu ini sampai membuatnya memasukkan lagu Tinggal Kenangan berkali-kali ke dalam salah satu daftar putarnya.

Lagu itu masih terus bermain sementara matahari semakin turun. Terulang lagi dan lagi. Dan aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, kenapa aku masih membiarkan daftar putar itu ada? Ya, aku sudah tahu jawabannya, dan itu membuatku geli sendiri.

Satria memberikan handphone ini padaku, dan bahkan dengan mulutnya sendiri, dia berkata, "Itu punya lo sekarang. Terserah mau lo apain. Asal jangan diperkosa aja. Kasihan, dia masih perjaka."

Aku tersenyum mengingatnya. Aku bahkan bisa menghapus semua file di handphone ini. Namun, aku tidak ingin, apalagi menghapus tiga daftar putar gila ini.

Karena, tentu saja, aku juga menyukainya.

Betapa bodohnya aku.

Aku menggeleng pelan, menyingkirkan pikiran itu dari benakku. Aku melepas earphone yang kupakai, kemudian mematikan musiknya. Kumasukkan handphoneku ke dalam tas. Sudah mulai gelap. Satria tidak akan datang sekarang. Aku akan pulang, meskipun keadaan di rumah mungkin lebih buruk dari sepinya tempat ini.

Aku berdiri, mengambil tasku, lalu berjalan meninggalkan tempat paling nyaman sedunia.
Aku mengembuskan napas lega ketika sampai di rumah. Papa dan Mama masih belum datang. Aku berjalan ke kamar, berganti pakaian, lalu merebahkan diri di ranjang.

Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara pintu terbanting.

"MENGADUKAN SAYA?! Apa yang ada di pikiran kamu?!"

Bullshit.

Aku memejamkan mata, memikirkan hal lain, berusaha menulikan pendengaran seperti yang Satria katakan.

"Kamu nggak bisa begitu terus! Kamu pikir kamu bisa seenaknya main sama perempuan lain, gitu?!"

Aku mendengar suara kaca pecah. Napasku memburu. Aku heran, ada berapa jumlah barang pecah belah di rumahku ini, sehingga setiap Papa dan Mama bertengkar selalu ada yang bisa dipecahkan?

"Kamu pikir apa yang kamu lakuin? Duduk manis, lihatin saya jalan sama orang lain sambil nelangsa? Enggak! Kamu balas saya, kamu juga pergi sama orang lain."

Aku tidak dengar ... aku tidak mendengarnya .... Aku tidak-

PLAK!

Cukup. Aku bangun, membuka pintu kamar, lalu keluar dan menutup kembali pintu di belakangku. Seketika, aku terkesiap.

Papa sedang mengacungkan sebuah gunting, hendak melemparkannya kepada Mama. Namun, gerakannya terhenti kala melihatku. Aku membeku di tempat. Napasku memburu. Tanganku mulai gemetar. Kukepalkan kedua tanganku untuk menahan gemetarnya.

Perlahan, aku berjalan melewati mereka. Sial. Sekarang kakiku yang gemetar.

Aku berusaha berjalan sejauh mungkin dari Papa. Aku tidak ingin berdekatan dengannya sama sekali. Tidak. Tidak. Tidak.

"Lyra .... Mau ke mana, Sayang?" kata Papa, menurunkan guntingnya.

Aku mundur ke belakang. Punggungku bersentuhan dengan tembok.
Papa mendekatiku, begitu juga dengan Mama. Mataku terus tertuju pada gunting di tangan Papa, mengawasinya kalau-kalau Papa hendak mengayunkannya padaku. Tangan Papa yang membawa gunting berkedut, kemudian sedikit terayun ke depan. Kepalaku pening. Aku tidak bisa bernapas.

Tangan Papa bergerak lagi, lebih dekat ke arahku. Dan aku berlari ke luar. Napasku yang sejak tadi tertahan kini memburu. Sangat sulit rasanya. Telapak tanganku mengepal erat, tapi masih saja gemetar.

Gunting itu masih tergambar di benakku, beserta dengan tangan-tangan yang memegangnya. Berbagai kejadian terputar di otakku; gunting yang dilemparkan hingga menancap di mata, leher yang tertusuk ketika memotong rambut, telinga yang terpotong ....

Aku menggeleng, berusaha menghapuskan gambaran mengerikan itu dari kepalaku. Aku memekik, tidak menghiraukan keadaan di sekelilingku yang entah ramai atau sepi.

Aku berlari melintasi jalan-jalan, belokan, perumahan ... dan akhirnya mulai memasuki jalan setapak yang dikelilingi pepohonan. Suasana terasa lebih gelap daripada di jalanan sebelumnya. Namun, aku tidak peduli. Keremangan ini malah terasa nyaman bagiku.

Masuk lebih dalam, danau itu mulai terlihat. Semburat kemerahan yang terpantul di permukaannya kini telah hilang, digantikan dengan pendaran cahaya bulan.

Aku melihat sosok itu, berdiri di tepi danau sambil menunduk. Cahaya bulan purnama menyinari puncak kepalanya, membuat tubuhnya seolah berpendar seperti bulan itu sendiri.

Aku mendekatinya dengan perasaan lega. Setidaknya, malam ini aku tidak sendirian.

"Gue kira lo nggak ke sini, Sat." Aku ikut berdiri di sampingnya.

Namun, dia tidak menjawab dengan tawa ataupun jawaban receh yang kadang membuatku geli. Tidak seperti biasanya.

Aku memperhatikan wajahnya. Matanya menatap dalam ke bawah, bibirnya lurus tanpa lengkungan senyum, rahangnya terkatup dengan erat.

Aku mengernyit. "Sat, ada apa?"

Kepala Satria tertunduk makin dalam. Pelan, dia berkata, "Mama meninggal, Ra."

Aku mengerjap, memastikan bahwa telingaku sedang tidak bermaslah. "Apa?"

Satria mengembuskan napas keras. Dia menggeleng pelan, tanpa mengatakan apa pun.

Jadi, itu benar? Dia tidak sedang membual, 'kan? Tapi ... bagaimana bisa?

"Mama lo ... meninggal? Kok bisa?"

"Papa ngelempar kursi ke Mama. Gue nggak pernah tau apa masalahnya. Gue bahkan nggak ... shit." Suaranya menghilang kala dia menggertakan giginya.

Aku bisa melihat rasa frustasi di matanya. Meskipun cahaya hanya berasal dari bulan purnama di atas sana beserta pantulannya di permukaan danau, aku masih bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kesedihannya. Rasa putus asanya. Kemarahannya.

Banyak sekali yang ada di sana.

Dan hal itu membuat perutku melilit. Jantungku mencelus. Menyakitkan rasanya melihat orang yang biasanya tertawa menjadi seperti itu.

Aku mendekat padanya selangkah lagi. Aku menyentuh lengannya dengan tanganku, membelainya, berharap itu akan membuatnya sedikit lebih baik.

Naas pemuda itu mulai memburu. Setiap tarikannya seolah sangat berat.

"Mama sama Papa bertengkar, dan yang gue lakuin kalo nggak kabur ya sembunyi. Gue bahkan nggak pernah peduli ...."

Aku diam, mendengarkan meski aku sangat ingin menyuruhnya diam karena suaranya terdengar begitu pedih dan menyayat hatiku. Aku tahu, saat ini dia lebih butuh didengarkan daripada mendengarkan. Dia butuh ketenangan.

"Akhir-akhir ini, Papa sering ngelempar barang. Gue tau, tapi gue nggak peduli. Kadang, gue cuma ngintip dari lubang kunci. Gue ngak mau lihat lebih banyak lagi."

Sepertinya aku mulai mengerti. Dia menyalahkan dirinya sendiri.

"Tapi yang gue lakuin jelas salah total. Andai gue keluar malam itu ... andai gue bisa tahan Papa ... Mama bakal masih ada ...."

Napasnya tersendat, hampir menyerupai rintihan. Aku menarik napas, berusaha menetralkan perasaaanku sendiri yang kacau karena ini.

"Ini salah gue, Ra ... salah gue ...." Pemuda itu mengusap rambutnya, mencengkeram kepalanya.

Ya Tuhan, baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Dan aku tidak tahu harus bagaimana agar dia merasa lebih baik.

Aku menelan ludah. "Satria .... Ini takdir. Bukan salah lo. Udah ada yang ngatur tentang ini."

"Siapa yang tau kalau mungkin gue bisa belokin takdir? Mungkin gue bisa nolong Mama ...."

Dia menyalahkan dirinya, dan hal itu adalah hal terakhir yang seharusnya dia lakukan. Dia membuat seolah itu mungkin padahal sebenarnya tidak ... kumohon Satria, berhentilah bersikap begini.

"Bukan salah lo. Gue bisa ngerti perasaan lo waktu mama lo meninggal. Gue-"

"Ngerti?" Pemuda itu mengernyit menatapku. "Ngerti?"

Aku mengangguk samar. Aku tidak pernah kehilangan orang terdekatku dengan cara seperti itu, tapi aku pernah kehilangan begitu banyak ... dengan cara yang lain.

"Lo bahkan nggak pernah ngerti raanya disayang!" bentak Satria, dan aku tersntak. "Orang tua lo bahkan terlalu sibuk ribut buat sekedar ngelirik ke lo! Lo nggak pernah dapet kasih sayang tulus dari orang tua lo! Lo nggak bakal pernah tau rasanya kehilangan orang yang sayang segitu tulusnya ke lo!"

Aku mengerjap, beringsut mundur selangkah. Napas Satria memburu. Matanya meemrah menahan emosi ... yang sepertinya ditujukan padaku. Namun, aku bahkan hampir tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.

"Lo nggak tau apa-apa, Ra ...," desisnya, membuat mataku terasa panas. "Lo nggak pernah tau rasanya kehilangan orng yang sayang banget sama lo!" Suaranya meninggi. Aku ingin melawan, tapi yang bisa kulakukan hanya diam.

Aku tidak tahu apa-apa, katanya?

"Nggak ada orang yang sayang sma lo! Jangan bilang kalo lo seolah ngerti karena lo emang nggak bakal pernah ngerti!

"Lo nggak tau apa-apa tentang gue!"

Aku tidak tahu apa-apa tentang dia?

Cukup sudah. Aku tidak tahan.

"Kalau gue nggak tau apa-apa tentang lo, jadi selama ini lo cerita ke siapa?!"

Aku menarik napas yang terasa begitu berat. Aku bisa merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak pernah merasa begini. Aku pernah merasakan sakitnya ketika orang yang kusayang pergi dariku. Aku pernah merasakan bagaimana teman-temanku menjauh saat aku menceritakan tentang orang tuaku pada mereka.

Aku tahu. Aku pernah. Namun, yang ini lain sama sekali. Aku merasa dikhianati, tak dianggap, dibuang .... Aku sungguh menyesal karena pernah memercayainya melebihi apa pun.

Dia balas membentakkan sesuatu dengan mata membelalak lebar, tapi aku tidak melihat lebih lanjut.

Aku berbalik dan berlari pergi. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah sebisa mungkin. Kakiku membawaku pulang dan langsung mengurung diri ke dalam kamar.

Aku berbaring terlungkup di dalam selimut, kutenggelamkan wajahku pada bantal putih yang empuk dan menangis di sana. Mau tidak mau, aku mendengarkan suara ribut kedua orang tuaku. Dengan begitu detail.

Keributan mereka membuatku ingin kabur. Namun, aku tidak punya tempat untuk kabur.

Aku memang tidak punya tempat sama sekali di dunia ini, ataupun di hati orang-orang yang kukenal. []

KACAU ELAH😂 Aduh😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro