Ninth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lyra menatap cermin, melihat bayangan wajahnya yang baru saja terbasuh oleh air dingin. Gemetar di tangannya sudah berkurang.

Sekali lagi, dia membasuh wajahnya, merasakan air yang dingin itu meresap masuk ke dalam kulitnya.

Jam pelajaran Bu Harja kosong. Lyra sungguh bersyukur karena tidak perlu melakukan apa pun yang akan diperintahkan oleh Bu Harja sebagai hukuman karena terlambat.

Namun, rupanya ada hal lain yang harus dikhawatirkan.

Temannya. Teman-teman sekelasnya berpesta.

Mereka pergi ke kantin, membawa banyak sekali makanan dan minuman di piring-piring serta gelas-gelas kaca.

Mereka bernyanyi, saling melempar makanan, berjoget ria, serta kegilaan lain yang bisa mereka lakukan. Parahnya, beberapa di antara mereka bermain gitar.

Parah kuadratnya, mereka memainkan lagu yang sangat tidak asing di telinga Lyra, tapi juga tidak dapat Lyra ingat judulnya. Lagu yang dimainkan Alfa di ruang musik tempo hari. Yah, dia masih mengingatnya.

Dan sudah jelas apa yang terjadi. Memori tentang Satria muncul bertubi-tubi. Kalimat demi kalimat yang pernah Satria lontarkan terdengar kembali di kepala Lyra.

Jadi di sinilah dia, berdiri dan menatap lesu pada cermin. Gadis itu menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya, menyelipkannya ke belakang. Menghela napas, dia keluar dari toilet.

Apa yang dilihatnya di dalam kelas membuatnya ingin kembali ke toilet.

Kotor. Rusuh. Kacau.

Siswa-siswi tercecer di mana-mana, entah di lantai, di kursi, atau pun di meja, dengan berbagai posisi yang tidak enak dilihat. Satu berdiri di atas meja dengan tangan teracung bak patung Liberty, satu lagi tidur terlungkup di lantai dengn pantat agak menungging, sementara yang lainnya .... Yah, menjelaskannya hanya akan membuang waktu.

Manusianya saja tercecer, belum lagi sampahnya. Plastik keresek menggantung di pigura, kertas minyak seolah menjadi permadani di lantai, sisa makanan ada di mana-mana seperti dedaunan yang gugur.

Menganga, Lyra menatap itu semua. Dia tidak pernah sadar bagaimana teman sekelasnya bisa segila ini.

Lyra bersyukur karena tidak pernah menjadi bagian dari kegilaan itu.

Berbalik, dia mulai berjalan menuju perpustakaan.

Baru dua langkah, sebuah tangan mencengkeram tangannya. Lagi. Namun, kali ini adalah tangan lentik perempuan.

Lyra berbalik lagi, melihat Cindy yang sedang menatapnya dengan tajam. Oh, dan jangan lupa dua antek kesayangannya itu. Mereka juga menusuk Lyra dengan mata mereka.

Namun, Lyra tidak bisa tertusuk, karena dia juga pedang.

Dia menatap balik Cindy dengan tatapan yang sama tajamnya meskipun harus mendongak karena Cindy lebih tinggi darinya.

"Gue tau lo ngibul tadi," ucap Cindy, mengeratkan cengkeramannya pada tangn Lyra.

Lyra tidak berusaha menyentakkan tangannya karena dia tahu itu hanya akan membuat tangannya bertambah sakit. Dia mengalaminya, sekitar sejam yang lalu.

"Gak usah bohongin gue, Ra. Gue tau."

"Terserah."

Lyra baru saja hendak menyentakkan tangannya, tapi Cindy malah mencengkeramnya semakin erat lagi.

"Denger, ya. Jangan lakuin ini lagi. Gue gak suka. Dan udah ada konsekuensi yang nunggu lo besok, atau lusa, atau besoknya lagi." Cindy terkikik geli.

Yang Lyra perhatikan adalah tangan Cindy yang mulai melonggar. Bagus. Dasar Cindy blo'on. Sibuk ngikik sampe lupa kalau punya tawanan. Untung dia nggak jadi polisi.

Lyra menyantakkan tangannya, memutarnya hingga terlepas dari cengkeraman Cindy. Kemudian, gadis itu berjalan menjauhi kelas.

Dari tempatnya, Cindy memekik, "Lihat aja lo, Ra! Gue bakal bales lo!"

Lyra mengabaikannya, tetap berjalan dengan santai menuju ke satu ruangan yang paling dia sukai di sekolah.

***

"Ra, bantuin piket, dong. 'Kan jadwalnya elu yang piket."

Lyra memutar bola matanya. Dia meletakkan tas di salah satu meja yang letaknya masih acak tak beraturan, kemudian pergi ke belakang kelas untuk mengambil sapu.

Dia menyapu sebagian lantai kelas sebersih mungkin bersama dengan tiga orang temannya yang lain yng membersihkan sebagian lainnya. Satu siswa ditugaskan untuk mengambili bungkus-bungkus yang tercecer. Satu lagi membenarkan posisi bangku.

Lyra menepuk-nepukkan tangannya saat pekerjaannya selesai. Setelah mengembalikan sapu di belakang kelas, dia mengambil tasnya.

Semua temannya sudah pulang, tanpa pamit padanya. Eh, apa gunanya juga pamitan sama gue.

Mengabaikan pemikirannya sendiri, Lyra berjalan ke luar kelas. Kakinya menyandung sesuatu. Terdengar suara yang cukup nyaring. Kaca.

Lyra menengok ke bawah, menganga kala melihat piring dan gelas bekas teman sekelasnya itu. Gadis itu menarik napas kesal. Dasar. Partner piket sialan.

Membungkuk, dia meraih tumpukan piring itu dengan kedua tangan. Sebelumnya dia letakkan gelas-gelas kaca itu ke atas tumpukan piring. Agak kesulitan, gadis itu melangkah pelan.

***
Gue nggak ikut makan, tapi gue yang kena omelan Mak Nyak.

Lyra berjalan di koridor setelah mengembalikan piring, gelas, serta mangkuk ke kantin. Mak Nyak mengomel panjang lebar, membuatnya makin terlambat pulang.

Harusnya gue nggak perlu khawatir. Gue 'kan selalu pulang terlambat.

Pandangan Lyra menyisir sekitar. Dilihatnya lapangan basket yang hampir kosong. Hanya tinggal beberapa anak di sana, sedang sibuk dengan ranselnya.

Selain itu, kosong. Halaman sekolah sepi. Tak ada pergerakan sedikit pun kecuali dedaunan di pohon yang melambai-lambai pelan tertiup angin sepoi.

Lyra melihat ke sisi yang satunya, ke arah sebuah ruangan. Langkahnya seketika terhenti. Ditatapnya pintu ruangan itu-yang seperti biasanya, tidak tertutup rapat.

Perlahan, dia bergerak maju. Gadis itu memegang kenop pintu, kemudian membukanya dengan suara berderit yang teredam.

Kosong. Ruang Musik juga kosong. Dia menatap piano di sisi ruangan, membayangkan seseorang sedang duduk di sana, menggerakkan jemarinya di atas tuts piano.

Dia tidak tahu bagaimana dia bisa membayangkan itu. Hanya saja, piano itu sepertinya terlalu jarang digunakan. Entahlah.

Matanya menelusur kembali, dan jatuh pada sudut gitar. Dia terpaku, menahan napas.

"Coba mainin deh. Lo udah hafal kunci-kuncinya, 'kan?"

Perlahan, Lyra mendekat. Selangkah demi selangkah, dia semakin dekat dengan gitar itu.

"Gue ke sini bukan cuma karena mau minta hansaplast, Ra. Gue ke sini karena ada lo."

Gue nggak ngerti apa hubungannya gitar sama hansaplast, Sat.

Lyra meraih salah satu gitar akustik di sana. Kemudian, dia menarik salah satu kursi terdekat, mendudukkan dirinya di sana.

Oh, iya. Segala yang berhubungan sama gitar selalu berhubungan sama lo. Jadi, lo bebas mau nyeletuk apa aja di kepala gue.

Menghela napas, gadis itu memangku gitarnya, memosisikan tangan kanannya untuk memetik senar, serta tangan lainnya untuk membentuk kunci di leher gitar.

Pelan, melodi gitar itu memenuhi ruangan. Lyra sungguh bersyukur karena sekolah sudah sangat sepi.

Yang tidak dia ketahui adalah bahwa ada seseorang yang mendengarnya. []

_________________

Cih, sok-sokan pake gif😂 Tau ah, pengen aja.

Krisarnya lagi, tolong, apa pun. Dadah😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro