Tenth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alfa menunduk, menatap buku tulisnya yang masih kosong.

"Alfa, saya kecewa sama kamu." Pak Adi menggeleng pelan, kemudian berbalik kembali ke depan kelas.

Alfa menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Pak Adi tidak biasanya seperti ini. Pak Adi adalah guru paling sabar dan baik sedunia.

Beliau mengambil spidol, kemudian mulai menulis sesuatu di papan. Soal. Ya, soal.

Alfa melenguh, kembali meletakkan kepalanya dalam lipatan tangannya.

"Lu nih gara-garanya. Ngambek 'kan Pak Adi." Ferdi berdecak, menatap Alfa yang masih dengan posisi semula.

"Gue nggak tau, Fer. Perasaan juga sering yang tidur di kelas Pak Adi, tapi nggak pernah beliau smape ngambek begini." Pandangan Alfa menerawang, mengingat-ingat kesalahan yang mungkin dia lakukan sebelum ini.

"Mana tau gua. Lama-lama kayak cewek Pak Adi tuh, ngambekan."

Alfa menoyor kepala Ferdi. "Ngawur lo."

Pemuda itu mengangkat kepalanya, melihat soal di papan tulis. Menghela napas, dia mulai menulis.

"Alfa, ikut Bapak sepulang sekolah nanti."

Asem. Mati gue.

***

Alfa terbatuk. Sedikit membungkuk, dia berusaha menyingkirkan debu dari wajahnya.

Buset. Ini gudang udah nggak dibersihin berapa tahun, sih?

Paru-parunya terasa tidak enak, seperti ada yang menyumbat. Dia terbatuk lagi. Napasnya mulai memburu. Namun, dia berniat menyelesaikan pekerjaannya.

Menahan napas, pemuda itu mengacungkan kemoceng, membersihkan rak berisi barang-barang random serta tumpukan kursi dan bangku yng penuh debu.

Kenapa juga Pak Adi jadi kejem mendadak?

Pak Adi hanya akan memberi soal seperti tadi ketika ada yang sangat mengganggunya. Namun, Pak Adi juga bukan tipe orang yang akan menghukum tiap murid yang melakukan kesalahan.

Alfa menyukai gurunya yang satu itu. Pak Adi mengajar mata pelajaran sejarah. Beliau bisa bercerita di depan kelas, menceritakan sejarah-sejarah tanpa terdengar membosankan. Setidaknya, begitu menurut Alfa.

Nyatanya, banyak teman sekelas Alfa yang malah ketiduran di tengah cerita Pak Adi. Namun, beliau tidak pernah sekali pun memberi hukuman. Dan karena itulah Alfa begitu heran saat Pak Adi menghukumnya.

Alfa terbatuk lagi. Dengan segera dia menahan napasnya, kemudian membersihkan rak terakhir di dalam gudang itu. Pemuda itu melempar sulak yang dibawanya, kemudian terburu-buru keluar dengan membawa salah satu kursi yang ada di tumpukan paling atas.

Katanya ini gudang ditempati setan, tapi kok nggak ada yang bersihin, ya? Males amat itu setan.

Mengembuskan napas, Alfa meletakkan kursi yang dia bawa di samping pintu. Pikirannya mulai melayang, dan dia teringat pada Lyra, pada apa yang dia temukan di dalam handphonenya.

Pemuda itu mengeluarkan handphone Lyra dari sakunya, membukanya lagi. Semalam dia sudah mengisi kembali baterainya hingga penuh.

Alfa ingin melihat galeri lagi, tapi menahan diri. Hmm, lihat kontaknya aja kali ya. Simpen kontak gue sekalian.

Alfa terkekeh pelan. Dia membuka telepon, kemudian menuliskan nomornya dan menyimpannya dengan nama Alfa.

Alfa doang? Kurang matep. Tambahin apa ya?

Bingung, dia menuliskan nama panjangnya saja. Apa ajalah, asal ada.

Setelah kontaknya tersimpan, Alfa mengiriminya pesan.

To : Alfa Alendra
Hai.

Sent.

Alfa segera merasakan getaran pelan di saku celananya. Handphonenya sendiri.

Alfa tersenyum puas. Dia bisa menyimpan nomor Lyra nanti. Dia baru saja hendak melihat kontak-kontak di handphone Lyra ketika sebuah suara terdengar.

"Alfa, sudah selesai?"

Alfa mendongak, melihat Pak Adi sudah berdiri di hadapannya.
Dia segera melesakkan. handphone Lyra ke dalam sakunya. Mengguk, dia tersenyum.

"Sudah, Pak. Sudah saya bersihkan sampai 'nggak ada debu yang terlihat oleh mata telanjang,' " ujarnya dengan mengutip kata-kata Pak Adi tadi.

Namun, alih-alih terlihat marah, Pak Adi malah terkekeh. "Saya minta maaf ya, Alfa. Bukannya saya mau menghukum kamu. Saya cuma ... ada masalah, jadi nggak bisa berpikir seperti biasanya."

Bener, 'kan. Otak Pak Adi lagi agak semrawut.

"Nggak apa-apa, Pak," kata Alfa. "Nggak masalah kok buat saya, cuma agak batuk-batuk sedikit."

Pak Adi tersenyum. Beliau menunjukkan tangnnya yang-baru Alfa sadari-memegang kantung plastik, kemudian menyodorkannya kepada Alfa. "Ini Alfa, buat kamu. Mungkin kamu haus."

Alfa menatap kantung plastik itu sambil mengernyit. Dia melambaikan tangannya, menolak. "Nggak usah, Pak. Saya bisa minum di rumah aja."

"Ya sudah. Kalau begitu, kasih saja ke keluarga kamu." Pak Adi menarik tangan Alfa, memaksanya menerima kantung plastik itu.

Alfa mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil. "Makasih ya, Pak."

Ikut tersenyum, Pak Adi menepuk pelan pundak Alfa. "Beajar yang rajin. Saya pulang duluan, ya."

"Siap, Pak."

Pak Adi berbalik dan berjalan di koridor, meninggalkan Alfa sendirian.

Alfa duduk kembali. Dia membuka kantung plastik yang diberikan Pak Adi, dan melihat dua gelas plastik berisi cairan berwarna cokelat.

Mata Alfa membulat, mulai memikirkan hal negatif tentang Pak Adi.

Gila. Jahat banget Pak Adi. Masa gue dikasih jus tai?

Mengernyit, Alfa mendekatkan salah satu gelas itu ke wajahnya, mebghirup baunya. Eh, bukan tai. Cokelat.

Alfa menepuk dahi, merutuki kebodohannya sendiri. Dia menggeleng dan menghela napas, kemudian mulai menyesap minuman itu melalui sedotan ...

... tepat ketika dia mendengar suara.

Pemuda itu membeku, sedotan minumannya melayang beberapa senti dari mulutnya.

Apaan tuh?

Alfa memasukkan kembali gelas minumannya ke dalm plastik, kemudian menajamkan telinganya untuk mendengarkan lebih sesama.

Nggak. Gue nggak bakal mikirin tentang setan. Nggak ada setan. Cuma Ferdi yang bakal mikir begitu.

Ada suara ... pelan sekali. Namun, sayup-sayup masih terdengar. Awalnya hanya suara abstrak yang tidak dapat dia kenali. Namun, lama kelamaan, dia menangkap kata-kata dari suara itu.

"Pernah ada, rasa cinta."

Suara itu pasti berasal dari ruang musik. Mengikuti rasa penasarannya, Alfa berjalan ke ruang musik sambil menenteng kantung plastiknya.

"Antara kita, kini tinggal kenangan ...."

Tunggu.

Makin keras suara indah itu terdengar, Alfa merasa mengenali suara itu. Dia mempercepat langkahnya.

"Ingin kulupakan,"

Dia hampir mencapai ambang pintu. Namun, tubuhnya membeku terlebih dahulu. Itu .... Itu bukannya suara Lyra? Dengan ragu, dia bergerak perlahan ke arah pintu ruangan yang terbuka setengah, mengintip.

"Semua tentang dirimu,"

Mata pemuda itu melebar. Di sanalah dia, sedang duduk memangku sebuah gitar. Jemarinya memetik senar dengan begitu lembut. Lyra, dengan gitarnya sedang bernyanyi-

"Namun, tak lagi yang seperti dirimu, oh bintangku...."

-dan menangis. []

Nggak sempet edit lagi. Ada anuan. Tapi ya minta krisar lagi, minta tolong tandai kalau ada typo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro