How's Him?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tut …. Tut ….

Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silakan coba beberapa saat lagi.”

Gila. Sudah berkali-kali aku menelponnya dan berkali-kali juga seperti itu. Nomornya tidak aktif. Aku tidak tahu dia kenapa. Dia tidak pernah seperti ini. Dia tidak pernah lepas dari handphonenya. Dia tidak mungkin membiarkan handphonenya mati barang sedetik.

Kurebahkan diriku di ranjang, memejamkan mata. Dia kenapa? Apa ada masalah? Dia tidak mungkin menghilang begitu saja tanpa alasan.

Aku mencoba memikirkan kemungkinan yang bisa terjadi, mengingat-ingat detail yang Satria tinggalkan sebelum dia benar-benar menghilang.

Malam itu kami pergi ke café yang biasa kami kunjungi. Namun, berbeda dengan biasanya, kami mengunjungi café itu hanya untuk berkencan dan bukan menyanyi.

“Cin, aku masih ngerasa aneh sama ini.” Dia terkekeh pelan, memalingkan wajahnya untuk menatap panggung.

“Aneh kenapa?" sahutku.

“Ya … ini.” Dia menelengkan kepalanya. “Kita nggak pernah kencan beneran kayak gini, ‘kan?” Tawanya kembali berderai. Kemudian, dia menatapku. “Atau aku aja yang nggak pernah modal?”

Mau tidak mau, aku tersenyum. Sejak kapan dia peduli tentang hal semacam itu? “Gak juga, sih. ‘Kan kamu sering ajak aku ke café.”

Dia tertawa lagi. Aku sering bertanya-tanya kenapa dia suka sekali tertawa. “Itu ‘kan juga buat nyanyi, Cin. Cari uang. Kamu dapet, aku juga dapet.”

“Gak ada bedanya kali, Sat. Intinya, kita ke café.” Aku ikut terkekeh pelan.

Dia tersenyum, tidak terlalu lebar, tapi mampu melelehkanku. “Aku sayang kamu.”

Aku mengerjap, hampir tidak memercayai apa yang baru saja kudengar. Dia tidak pernah mengatakan itu sebelumnya. Sekalinya Satria mengatakan itu adalah saat kami baru saja bertemu.

Saat itu, Alfa, temanku sejak lama sekali, mengajakku pergi ke café. Katanya, café itu sedang mencari penyanyi. Sebenarnya, dia menyeretku.

“Gue tau, lo lagi gabut. Gue tau lo suka nyanyi. Gue tau lo pengen belajar mandiri. Ikut gue aja,” katanya.

Sebenarnya, aku ingin menolak. Tidur meringkuk di dalam kamar sepertinya lebih menyenangkan. Namun, karena ini Alfa dan dia sedang menyeretku, aku tidak menolak.

Alfa mengajakku langsung ke belakang panggung. Di sana, sudah berkumpul beberapa orang. Alfa menyapa mereka, meninggalkanku beberapa meter dari kelompok laki-laki itu. Dan aku mulai sebal padanya. Dia yang mengajakku ke sini, kenapa dia meninggalkanku? Dasar cowok.

Salah satu dari mereka melihatku. Pemuda itu tersenyum kecil menatapku. Menghampiriku, dia berkata, “Hai. Kamu tau? Aku sayang kamu.” Orang ini gila, pikirku saat itu. Yah, aku tidak tahu kalau dia akan menjadi sepenting ini bagiku sekarang.

Bahkan, saat dia memintaku menjadi pacarnya, dia tidak mengatakan itu. Sambil cengar-cengir, dia bertanya, “Mau, nggak jadi pacarku?” Dan bodohnya, aku menerimanya.

Malam itu, ketika dia berkata dia sayang padaku. Saat itulah terakhir kali aku melihatnya sebelum menghilang. Dan sekarang sudah terhitung seminggu. Aku hanya perlu kabar darinya. Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaannya, apakah dia punya masalah atau tidak. Mungkin saja aku bisa membantunya.

Aku bisa frustasi kalau begini caranya.

Kembali kubuka handphoneku. Aku mengecek chat Satria, berharap setidaknya dia sudah membacanya. Namun  pesan itu bahkan belum dia terima.

Menghela napas, aku mencari nomor lain. Segera kutelpon dia, meminta bantuan.

“Fa, Satria masih belum aktif, ya?”

***

Turun dari angkutan umum, aku berjalan ke kompleks rumah Satria yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat aku turun. Kakiku mulai melangkah menelusuri blok demi blok kompleks yang cukup teduh dengan banyak pepohonan di pinggirnya.

Kompleks ini cukup ramai. Anak-anak kecil bermain bola di jalanan yang hanya sedikit dilewati kendaraan. Mereka tersenyum saat melihatku. Kubalas senyuman mereka. Ketika aku berlalu, mereka melanjutkan permainan.

Ini kompleks yang sempurna ... keluarga di sini pasti harmonnis semua.

Aku berbelok, masuk ke blok tempat rumah Satria berada. Setidaknya, alamat yang dia berikan padaku membawaku ke sini. Dia tidak pernah mengajakku langsung ke rumahnya.

Saat kubilang aku ingin berkunjung ke rumahnya, dia hanya menjawab, “Jangan, jangan sekarang. Kapan-kapan aja aku ajak kamu,” kemudian tertawa lagi. Aku tidak pernah mendesaknya. Aku tahu, dia akan membawaku ke rumahnya ketika sudah waktunya.

Namun, sekarang aku jelas tidak bisa menunggunya. Aku bisa gila jika pikiranku terus bertanya ke mana perginya dia sementara tidak ada yang bisa menjawab. Alfa juga tidak bisa membantu. Dia bahkan tidak tahu alamat rumah Satria.

Aku menarik napas dalam, menguatkan diri sendiri. Aku kembali melangkah memasuki blok yang lebih sepi itu. Sesekali kendaraan lewat, tapi hanya itu saja. Tidak ada anak-anak atau satu manusia pun yang terlihat keluar rumah walaupun jelas tempat ini berpenghuni. Di setiap rumah ada kendaraan, beberapa halamannya becek seolah habis disirami air. Tidak mungkin rumah-rumah di sini kosong.

“Cindy?”

Aku sedang mengurut nomor rumah ketika kudengar suara itu. Seketika aku berhenti.

“Ngapain kamu di sini?” Bersamaan dengan terdengarnya kalimat itu, kurasakan seseorang memegang lenganku. Aku berbalik, berhadapan dengan seorang ….

Ya Tuhan. Satria …. Dia yang membuatku khawatir seminggu terakhir ini akhirnya muncul ….
Dan dengan keadaan yang tak pernah kusangka sebelumnya, yang membuatku terkesiap.

“Kamu ngapain di sini, Cin?” Satria menatapku dengan matanya yang sedikit kemerahan. Kantung matanya menghitam. Wajahnya terlihat lelah dan kacau meskipun bibirnya masih bisa menyunggingkan seulas senyum.

Napasku terasa sesak. Apa yang terjadi padanya?

“Kamu nyari aku?”

Menggigit bibir, aku mengangguk. Satria melebarkan senyumnya.

“Maaf, waktu itu aku nggak datang.” Matanya berpaling dariku. Dia mengusap rambutnya ke belakang dan mengembuskan napas. “Aku … yah, agak sibuk akhir-akhir ini. Maaf.”

Aku tidak percaya, tentu saja. “Kamu ke mana aja, Sat? handphone kamu kenapa? Aku chat, aku telpon, nggak ada yang direspon.”

Satria membuka dan menutup mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya.

“Ada … yang terjadi, Cindy.” Dia tersenyum lagi, menggenggam tanganku. “Ayo, kuantar pulang.”

Aku hanya menurut, membiarkannya membawaku ke mana pun semaunya. Aku tidak bisa melawan. Hatiku sedikit teriris saat memikirkannya. Dia tidak ingin menceritakan apa pun masalahnya padaku. Dan aku bertanya-tanya, apakah aku memang sepenting itu baginya? Apakah dia bahkan menganggapku sebagai pacarnya?

Kenapa, setelah setahun kami berpacaran dia masih saja menutupi segala sesuatu tentang dirinya dariku? Kenapa dia masih belum meruntuhkan tembok besar dalam dirinya agar aku bisa masuk?

Jawaban sederhana itu muncul di benakku, mengetuk samar di kepalaku.

Dia belum percaya padaku.

“Cin?” panggilnya.

“Hm?”

“Jangan … coba datang ke rumahku lagi, ya?”

Mengerjap, aku menatapnya. “Kenapa?”

“Eh …. Jangan aja. Tunggu aku, ya?” Dia tersenyum lagi, membuatku kembali luluh.

Aku percaya dia akan baik-baik saja ….

“Aku cinta kamu.”

Atau mungkin tidak. []

Makin lama cerita ini main nganu. Ckck. Krisarnya tolong, lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro