Eleventh Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jauh kau pergi meninggalkan diriku."

Jemari Lyra bergerak dengan lembut memetik senar gitar itu. Bibirnya terus melantunkan nyanyian yang tidak disadarinya.

"Di sini aku, merindukan dirimu,"

Dia ingin mengusap setetes air mata di pipinya, tapi dia tidak bisa. Tangannya sudah terlalu nyaman berada pada tubuh gitar itu.

"Kini kucoba mencari penggantimu."

Nada itu tidak sempurna, bergetar karena napas Lyra yang sedikit tertahan serta emosi yang begitu kuat. Namun Lyra tidak peduli. Toh tidak akan ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.

"Namun, tak lagi yang seperti dirimu, oh, kekasih."

Setetes lagi air matanya jatuh. Tangannya makin gemetar, terasa agak licin, membuat gitar yang dia pangku terjatuh ke lantai dengan suara berdebum keras. Gitar yang dia pegang terlepas dari tangannya, jatuh berdebam di lantai. Namun, gadis itu tidak peduli. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Dia menggigit bibir, mencegah agar tangisannya tidak semakin pecah. Dia berusaha bernapas secara teratur kala dadanya terasa sesak.

"Yah, masa gitu aja nangis. Kayak gue dong, strong. Tiap hari dimarahin, dipukulin, biasa aja tuh."

"Strong apanya. Tiap habis dipukulin juga lo sukanya kabur ke sini, minta hansaplast sambil ngomel nggak jelas."

"Gue kabur ke sini bukan karena ada hansaplast di lo. Gue ke sini karena di sini ada lo. Pada saat-saat yang kayak begitu, gue butuh teman senasib. Dan satu-satunya yang gue punya cuma elo, Ra."

Dia sangat menyesali hal terakhir yang dia lakukan pada laki-laki itu sebelum dia pergi.

"Lo mau, kan jadi temen gue terus? Lo mau nemenin gue di saat-saat terburuk gue?"

"Iyalah. Emang kenapa, sih? Melankolis amat."

"Gue ... cuma takut. Lupain ajalah."

Dan Lyra tidak menepatinya. Yang dia lakukan terakhir kali justru berkebalikan dengan apa yang dia janjikan. Gadis itu meninggalkannya, pergi di saat-saat terburuknya.

Lyra butuh air. Pikirannya sudah terlalu kacau. Dia sudah terlalu jauh memikirkan ini semua. Air. Air. Dia ingin pergi ke toilet, tapi kakinya terasa terlalu berat.

Dan Lyra ingin pulang, ingin meringkuk di balik selimutnya yang nyaman dn hangat, dengan suasana yang sepi.

Namun, dia tahu bahwa itu adalah hal terakhir yang bisa terjadi di rumahnya. Rumah terlalu menyeramkan baginya, apalagi pada saat seperti ini.

Di tengah kekacauan perasaannya, gadis itu mendengar suara langkah kaki. Makin lama makin keras. Jantungnya mencelus. Ada orang lain di sini. Ada yang mendengarnya. Gadis itu mendongak, bersiap menerima kejutan apa pun yang mungkin menantinya.

Dilihatnya sesosok tubuh tegap seorang pemuda dengan rambut acak-acakan menjulang di depannya.

Pemuda itu membungkuk, dan mata Lyra masih terlalu buram untuk mengenali sosok pemuda itu. Dia mengerjap beberapa kali, memfokuskan pandangannya. Namun, pemuda itu malah berjalan ke belakangnya dengan membawa ....

Gitar? Lyra mengernyit. Dia menatap ke lantai, yang ternyata sudah kosong. Pemuda itu membawa gitarnya. Lyra memutar kepala, mengembalikan pemuda itu ke dalam area pandangnya.

Si pemuda menyandarkan gitar itu pada tembok di sudut ruangan. Tangannya yang lain yang membawa sebuah kantung plastik sedikit terayun. Kemudian, pemuda itu berbalik, berjalan kembali menuju ke arah Lyra, dan kali ini jantung Lyra benar-benar terasa copot.

Mata Lyra melebar kala sebuah nama muncul di benaknya. Alfa .... Kenapa harus Alfa? Kenapa bukan anak musik lain? Kenapa harus orang yang gue kenal baru-baru ini?

Lyra mulai bertanya-tanya, sudah berapa lama pemuda itu ada di sana? Apa saja yang dia lihat?

Mata Lyra masih mengikuti pergerakan Alfa ketika pemuda itu menarik kursi dan duduk di hadapan Lyra. Terpaku, Lyra tidak bisa memalingkan wajahnya.

"Cengeng amat sih lo. Masa ngangis cuma gara-gara lagu?"

Ya ampun. Pemuda ini melihat semuanya.

Tubuh Lyra menegang-ralat, kaku-saat Alfa mengulurkan tangannya yang bebas ke depan, menyentuh wajah Lyra. Mata Lyra masih tidak mampu berpaling dari iris kehitaman milik Alfa. Pelan, pemuda itu mengusap pipi Lyra dengan ibu jarinya, menghapus bekas air mata yang ada di sana.

Dan Lyra-mau tidak mau-merasa nyaman. Jari Alfa di pipinya terasa sedikit kasar. Namun, gerakan lembutnya mampu menyebarkan kehangatan mulai dari tempat pemuda itu menyentuhnya hingga terasa ke sekujur tubuh Lyra.

Tanpa sadar, jantung Lyra berdetak lebih kencang dari biasanya.

Siapakah sebenarnya pemuda ini, yang mampu menembus dinding pertahanannya bahkan hanya beberapa hari setelah mereka bertemu?

Alfa melepaskan tangannya dari wajah Lyra, membuatnya merasakan sedikit kehilangan. Mata Lyra masih mengikuti ketika pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari kantung plastiknya. Sebuah gelas plastik, yang berisi cairan berwarna cokelat.

"Nih, minum dulu." Alfa menyodorkan gelas itu kepada Lyra. Namun, tentu saja Lyra diam, hanya melirik gelas plastik itu tanpa minat.

Alfa menghela napas. Tersenyum kecil, dia berkata, "Minum, Ra. Mungkin ini bisa bikin lo ngerasa lebih baik?"

Lyra mengerjap sekali. Terpatah, tangannya mulai terulur untuk mengambil gelas itu. Jemari Lyra sudah ada di permukaan gelas itu, dan napas Lyra tertahan kala kulitnya sedikit bersentuhan dengan jari Alfa. Pemuda itu melepaskan tangannya dari gelas tersebut, membiarkan Lyra memegangnya dengan tangannya sendiri.

"Thanks," ujarnya yang hanya berupa bisikan parau, masih menatapi gelas yag terasa dingin di tangannya. Untuk alasan yang tidak dia ketahui, gadis itu tidak bisa kembali menatap mata Alfa setelah sebelumnya tak bisa berpaling dari sana.

Lyra melihat tangan Alfa kembali bergerak, mengambil sebuah gelas lain dari kantung plastik itu. Gelas dengan isi yang sama. Tanpa memperhatikan ke mana dia membuang kantung plastiknya, Alfa mulai menyesap minuman cokelat di tangannya.

Meski ragu, Lyra mengikuti Alfa. Disesapnya minuman dingin itu perlahan. Sangat terasa ketika cairan dingin itu mengalir menuruni kerongkongannya, menyebarkan rasa dingin dari es batu yang telah tercampur di dalamnya.

Awalnya terasa sedikit tidak nyaman di mulut karena Kyra sudah beberapa jam tidak minum. Namun, selanjutnya terasa segar dan Lyra menikmatinya.

"Jadi, kalau boleh tau, kenapa lagu itu bisa sampe bikin ko nangis?" tanya Alfa tiba-tiba, membuat Lyra hampir tersedak.

Mengerjap, Lyra menatap Alfa. Pemuda itu sedikit memiringkan kepalanya sambil masih menyesap minumannya. Lyra memalingkan muka, enggan menjawab. Dia menyesap kembali minumannya.

Alfa mendengkus. "Yaelah, Ra. Maaf deh kalo gue nyinggung. Tapi ya jangan dikacangin juga, dong. Bilang apa kek, 'bukan urusan lo', 'gak penting', 'karena otak gue kena virus', 'mata gue cacingan', atau apa gitu, biar gue nggak cegek."

Banyak bacot. Lyra mendiamkannya, menyesap minumannya lagi.

"Oke, oke. Gue nyerah. Jadi, sekarang lo mau apa? Mau pulang? Jalan bareng gue, yuk."

Dari sudut matanya, Lyra bisa melihat Alfa tersenyum. Dia tidak dapat menahan diri untuk menoleh agar bisa melihat senyum itu.

Dan napas Lyra tertahan lagi.

Tolong. Ini nggak bener. Gue nggak kenal lo. Jangan bikin gue pengin ngelihat lo terus.

Tidak. Ini tidak benar sama sekali. Lyra seharusnya tidak pernah memalingkan wajahnya agar bisa melihat senyum itu, tapi ....

Terlambat. Dia sudah melihatnya. Lapisan dinding pertahanannya yang paling atas telah hancur. []


Edit cuma sekali. Tolong krisarnya dong, typo, atau apalah gitu. Thanks to read.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro