Twelveth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ra, katanya nggak mau pulang?"

Gadis itu tidak menjawab, hanya kembali berjalan menjauhi Alfa masih dengan wajah membatu. Tak menyerah, Alfa mengejarnya, memegang lengannya. Dan jelas, Lyra langsung menyentakkannya kembali. Gadis itu berjalan secepat mungkin untuk mendahului Alfa.

"Ya ampun, Ra. Ngomong dong. Suara lo bagus tau buat nyanyi tadi. Biarin gue denger lagi, dong," celoteh Alfa, tidak terlalu kesulitan mengimbangi langkah-langkah Lyra yang cepat tapi pendek. Namun, pemuda itu memilih untuk berjalan beberapa langkah di belakang Lyra.

Alfa teringat saat Lyra meneteskan air matanya tadi. Sedikit pikiran jahil timbul di benaknya, tapi dia memutuskan untuk tidak membahasnya. Sepertinya topik itu terlalu sensitif bagi Lyra.

"Ayolah, Ra. Jangan begitu terus. Apa gue kudu mati dulu biar lo mau ngomong? Paling nggak, omongan bela sungkawa gitu?"

Langkah Lyra terhenti. Alfa mematung, hampir menabrak punggung Lyra. Jarak mereka sangat dekat, kurng dari satu meter. Pemuda itu mengernyit, mempertanyakan alasan Lyra berhenti dalam benaknya.

"Eh, rem daruratnya dipake? Ada apa di depan, Ra?"

Namun, gadis itu asih tetap diam, dan Alfa tahu bahwa ini sudah saatnya berhenti bercanda. Dia maju selangkah, menatap Lyra dari samping. "Ra, ada apa?"

Gadis itu masih diam. Tatapannya seolah kosong, dan Alfa mulai khawatir. "Halo? Lyra?" Pemuda itu menggerak-hgerakkan telapak tangannya di hadapan Lyra. "Lo nggak apa-apa, 'kan? Nggak lagi kesambet setan yang ada di gudang, 'kan?"

Lyra mengerjap. Matanya kembali fokus. Ditepisnya tangan Alfa yang masih bergerak-gerak di depan wajahnya. "Diem, Al."

Mata Alfa melebar. Senyum merekah di wajahnya. Lyra bicara! Keajaiban!

"Akhirnya lo ngomong juga, Ra. Seneng gue." Alfa mengangkat alisnya dengan senang.

Lyra menatap pemuda itu dengan tatapan tajamnya. Yang ditatap malah membalas dengan santai, masih tersenyum meskupun pikirannya penuh oleh satu hal yang tak bisa dia singkirkan.

"Lo serius mau pulang?" kata Alfa.

Lyra memalingkan muka. "Gue pulang. Jangan ikutin gue." Gadis itu melangkah lagi, sama cepatnya dengan yang dia lakukan sebelumnya.

Alfa kembali mengejar. Dia tidak akan kehilangan kesempatan ini. Dia harus bicara dengan Lyra. Sekarang. Juga.

"Ra, tunggu dulu dong. 'Kan gue udah bilang kalo mau ngomong sama lo. Ra, please."

Lyra berbalik dan berhenti secara mendadak. Lagi. Dan Alfa benar-benar akan menabrak gadis itu jika dia tidak mundur selangkah.

Lyra menatapnya dalam-dalam. Matanya sarat akan permohonan. "Tolong, Alfa. Gue mau pulang. Jangan ganggu gue."

Dan Alfa luluh. Dia terdiam di tempatnya, tak bergerak sama sekali ketika Lyra berbalik dan mulai berjalan lagi.

Gue ganggu dia, ya?

Pikirannya berkecamuk, bimbang. Apa yang harus dia lakukan? Diam dan membiarkan Lyra pergi begitu saja, kehilangan kesempatannya untuk menanyakan hal itu? Atau dia harus mengejar Lyra?

Tapi ... gue masih bisa temuin Lyra kapan pun. Dia satu sekolah sama gue.

Jadi, dia harus membiarkan punggung yang makin mengecil itu kembali hilang di tikungan?

Gue nggak tau kelas Lyra. Gue harus cari ke mana?

Di dekat danau? Gadis itu pasti masih pergi ke sana, 'kan?

Tapi besok dia nggak ke sana. Jadwalnya 'kan hari ini.

Punggung itu semakin mengecil. Rambut yang tergerai di sana bergerak-gerak seiring dengan langkahnya. Dia sudah sampai di dekat jalan setapak itu. Lyra akan berbelok.

Hampir tanpa memikirkan kembali apa yang terlintas di kepalanya, Alfa berjalan lagi, hendak menyusul Lyra. Dia tidak akan mengganggu Lyra. Dia tidak akan merecoki Lyra dengan ocehannya.

Dalam diam, pemuda itu mengikuti Lyra dari belakang. Meskipun setengah dari benaknya menolak, sisanya mengiyakan, menyuruhnya mengikuti Lyra untuk menjawab rasa penasarannya, menggerakkan kakinya untuk berjalan maju.

Alfa berbelok di tikungan, mengikuti Lyra. Dia melihat Lyra berjalan di dekat danau. Dia mengikutinya, menjaga jarak sejauh mungkin tapi masih dapat melihat gadis itu. Sesekali dia berhenti, bersembunyi di balik pohon.

Kemudian, saat sampai di ujung jalan setapak, punggung Lyra menghilang. Alfa mengikuti.

Dilihatnya Lyra berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah menuju rumahnya. Gadis itu berjalan dengan cepat, tapi masih juga terlihat tenang, tanpa menoleh ke belakang. Alfa masih mengikuti.

Saat itulah, logika Alfa mulai bertanya-tanya.

Kalo gue udah ngikutin dia, terus apa? Mau samperin ke rumahnya, gitu?

Bodo lo, Alfa.

Namun, dia sudah sampai di sini. Lanjutkan saja sekalian.

Lyra berbelok beberapa kali, melewati blok demi blok kompleks perumahan, kemudian memasuki halaman salah satu rumah yang gaya dan warna catnya seragam dengan rumah-rumah yang lain.

Dia membuka pintu, kemudian masuk ke dalam rumah itu. Wajah indahnya menghilang di balik pintu, masih dengan ekspresi membatu.

Alfa berniat untuk langsung pulang setelah mengetahui letak rumah gadis itu. Tidak ada gunanya juga dia menunggu. Dia sudah merekam jalan demi jalan, serta belokan-belokan yang dia lewati tadi di dalam otaknya.

Namun, setelah berjalan beberapa langkah, suara-suara itu terdengar. Suara benda-benda pecah, serta suara beberapa orang yang terdengar teredam.

Alfa menghentikan langkahnya. Dia kembali ke depan rumah Lyra.

Terdengar satu teriakan yang sangat keras, dan Alfa bisa memsatikan bahwa itu adalah suara Lyra.

Pemuda itu tidak bisa menangkap kata-katanya dengan jelas, tapi kira-kira terdengar seperti, "Kenapa sih Papa sama Mama nggak pernah bisa berhenti?!"

Jadi-mungkin-inilah alasan kenapa gadis itu senang sekali pergi ke dekat danau sepulang sekolah. Mungkin.

Pemilik suara itu keluar beberapa detik kemudian, muncul dari balik pintu, masih dengan pakaian yang sama seperti sebelumnya. Kepalanya menunduk, jalannya tergesa kala melewati halaman ruahnya.

Lyra sudah mencapai pinggir jalan ketika melihat Alfa. Gadis itu diam mematung. Rambutnya yang masih tergerai terlihat lebih berantakan dari sebelumnya. Matanya menatap Alfa lama sekali, dan Alfa pun sama.

Dia melihat jauh ke dalam iris cokelat tanah itu, yang terlihat lebih gelap dari yang dia ingat. Titik-titik kecil di dalamnya berkilauan membiaskan cahaya.

Sebenarnya, matanya berkilauan. Emosi yang begitu kuat terpancar dari sana. Alfa tidak tahu apakah itu kemarahan atau kesedihan.

Gadis itu terlihat ragu, dan Alfa tahu kenapa. Keberadaannya membuat Lyra ingin kembali ke dalam rumah. Namun, Lyra tentu tidak bisa masuk lagi ke dalam sekarang.

Lagi, Alfa bertindak hampir tanpa berpikir. Dia menarik tangan Lyra bahkan sebelum dia menyadari apa yang dia lakukan.

Yang membuat Alfa heran adalah sikap diam Lyra. Bukan, biasanya Lyra memang cenderung diam. Bukan tentang itu. Ini tentang gesturnya. Gadis itu sama sekali tidak menolak saat Alfa menyeretnya, membawanya ke luar kompleks perumahan itu.

Alfa menoleh ke belakang, menilik wajah gads itu. Mata Lyra tampak kosong, tapi sekarang sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Tersenyum kecil, Alfa kembali menatap ke depan.

Gue harap gue bisa bantu dia.

Alfa berusaha memikirkan tempat lain selain danau itu, dan otaknya langsung memunculkan gambaran sebuah tempat yang akrab baginya, tapi jarang dikunjunginya akhir-akhir ini.

Sekalian biar gue bisa denger suaranya lagi. []

I don't know. Ini part paling gaje seantero novel ini. Tau dah ah, aku pusing. Tapi, minta krisarnya dong, biar kucatet. Hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro