Thirteenth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata Lyra memandang ke sekitarnya. Ini bukan jalan ke danau. Alfa mengajaknya ke tempat lain?

Mengernyit, Lyra bertanya, "Ke mana, Al?"

Alfa menoleh padanya, tersenyum. Kali ini, gadis itu bisa mengendalikan dirinya ketika melihat senyum berlesung pipit milik Alfa.

"Lihat aja. Mungkin kamu perlu keluar dari areamu itu sebentar."

Kerutan di dahi Lyra bertambah dalam. Apa maksud Alfa? Areanya? Ya ampun. Seakan-akan dua makhluk di rumahnya tadi tidak cukup, pemuda yang satu ini juga ikut membuatnya kesal.

Dia kembali diam, dan dia sangat bersyukur karena Alfa juga mau diam. Gadis itu larut dalam pikirannya, sama sekali tidak peduli ke mana Alfa akan membawanya.

Yah, ke mana aja, asal jangan ke rumah.

Dia memikirkan orang tuanya, memikirkan alasan apa saja yang mungkin menjadi penyebab ketidakakuran mereka.

Orang tuanya sudah bertengkar sejak Lyra kelas empat Sekolah Dasar. Malam itu, Lyra bermimpi buruk. Biasanya, saat terbangun dari mimpi buruk, Lyra akan pergi ke kamar Mama dan Papa dengan membawa gulingnya, kemudian tidur dalam pelukan mereka.

Namun saat itu, dia bahkan tidak berani mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya. Dia hanya bisa melihat melalui celah pintu kamar yang terbuka, tidak berani masuk ataupun berjalan kembali ke kamarnya.

Mereka berdua sedang berdebat sengit. Suara yang keluar hanya berupa desisan yang ditahan agar volumenya tetap pelan. Jari telunjuk mereka saling mengacung di depan wajah satu sama lain yang sama sekali tidak terlihat ramah.

Papa meraih gunting di atas nakas, kemudian mengacungkannya pada Mama.

Lyra mulai meremas guling di pelukannya. Dia tahu gunting itu tajam. Tangannya pernah tergores dengan gunting yang sama ketika dia sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Darahnya mengucur cukup deras, dan rasanya sakit. Sangat sakit.

Lyra mundur selangkah dari ambang pintu. Dahinya mengernyit oleh ketakutan. Bibirnya mengerucut karena kekhawatiran.

Dilihatnya benda itu melayang ke arah mamanya, menggores pipinya dalam. Mama berteriak, tapi tetap manahannya. Telapak tangannya menutupi tempat gunting tadi menggores pipinya. Meski begitu, Lyra masih bisa melihat cairan berwarna merah meleleh di pipi Mama, di bawah telapak tangannya berada. Matanya terpejam. Rintihan kesakitan terdengar memenuhi kamar mereka.

Dan di sisi lain, Lyra gemetar setengah mati. Dia mencengkeram kain luar guling yang dia peluk dengan sangat erat, seolah dia harus berpegangan ke sana agar tidak kehilangan kesadaran.

Matanya mulai memanas. Kakinya perlahan mundur selangkah demi selangkah, hingga punggungnya menabrak tembok dan membuatnya tersadar.

Dia kembali ke kamar, rebah di ranjangnya dengan isakan pelan dan sekujur tubuh gemetar.

"Ra, lo pulang agak malem nggak apa-apa, 'kan?"

Lyra mengerjap, menggeleng samar. Dia kembali menatap Alfa, tidak sepenuhnya memahami kalimat Alfa barusan. Otaknya masih berputar pada kejadian malam itu.

Namun, seakan memaklumi, Alfa tersenyum kecil. "Lo nggak keberatan 'kan, kalo pulangnya agak malem?"

Mendengkus, Lyra membuang muka. "Nggak pulang juga nggak apa-apa."

Senyum kecil Alfa berubah menjadi cengiran lebar. "Wah, apaan nih maksudnya? Ini tanda lampu ijo atau gimana?"

Lyra memutar mata, dan Alfa tertawa.

"Yauda. Masuk aja, yuk," kata pemuda itu sambil menarik tangan Lyra lagi.

Eh? Narik?

Lyra baru menyadari bahwa Alfa sedari tadi menarik pergelangan tangannya, membuat daerah di sekitar sana terasa lembab ... serta hangat dan menyenangkan.

Oke, abaikan bagian terakhir.

Lyra menyentakkan tangannya lepas dari genggaman Alfa. Pemuda itu menoleh sementara Lyra hanya menatap bangunan di hadapannya.

Cafe? Ngapain dia ngajak gue ke cafe?

Gadis itu mengernyit. Bangunan itu tidak terlalu besar, dengan dinding luar berupa kaca transparan. Pencahayaan di dalamnya sengaja dibuat agak remang pada suasana sore hari itu. Di dekat atapnya, terdapat banner bertuliskan Cafe and Resto.

"Ini tempat gue biasa manggung, Ra," kata Alfa, membuat Lyra kembali menoleh kepadanya.

"Dulu, gue sama temen-temen gue sering banget ke sini. Dulu, sebelum salah satu temen gue ngilang tiba-tiba." Pemuda Pmitu mendesah, tapi kemudian tersenyum lagi. "Ayo masuk," ajaknya.

Setelah mendapat anggukan pelan dari Lyra, Alfa berjalan terlebih dahulu. Lyra mengikuti selangkah di belakangnya. Alfa mendorong salah satu pintu kaca bertuliskan push, kemudian masuk cafe itu. Dia menahan pintu dan baru menutupnya ketika Lyra sudah di dalam.

Mereka berjalan beriringan, melewati meja-meja yang diatur acak. Lyra melihat sebuah panggung kecil di ujung ruangan, dengan beberapa alat musik seperti drum dan gitar di atasnya.

Lyra tidak mengerti kenapa, tapi tampaknya Alfa hendak membawanya ke sana, ke panggung itu.

Lyra berhenti.

"Kenapa, Ra?" Alfa juga ikut berhenti, menoleh ke arahnya.

"Ngapain kita di sini?" tanya Lyra tajam.

Alfa malah nyengir. Ditariknya lagi pergelangan tangan Lyra. "Ikut aja, elah."

Perasaan Lyra terasa tidak enak, tapi dia menurut saja.

Alfa menbawanya ke dekat panggung itu, tepat di samping instrumen drum.

Matanya seolah mencari-cari sesuatu sementara tangannya masih memegang pergelangan Lyra dengan erat.

Wajah Alfa terlihat lebih lega ketika salah satu waiter berjalan ke arahnya. Mereka saling menyapa dengan akrab.

"Eh, Alfa. Lama banget nggak ke sini," kata waiter itu smbil tersenyum.

Tertawa, Alfa menjawab, "Iya, udah agak lama. Cindy sekarang nggak pernah mau gue ajak, sih."

Mendengar nama Cindy disebut, Lyra sedikit menegang.

"Wah, Cindy kenapa, Fa?"

Apakah Cindy yang mereka maksud dengan Cindy yang ada di pikiran Lyra adalah orang yang sama?

"Nggak tau tuh. Masih bingung gara-gara pacarnya yang ngilang tiba-tiba kayaknya. Eh, ini cafe gimana? Masih ada yang manggung, 'kan?"

"Ya masihlah, Fa. Tapi ya gitu, nggak tentu. Cuma sesekali aja."

"Oh, gitu. Eh, kalau sekarang ada yang manggung gak?"

Waiter itu terlihat berpikir. "Hmm, kayaknya kalau sekarang enggak deh. Mau ngisi, Fa?"

Alfa tersenyum, sedikit melirik pada Lyra, yang sudah mulai curiga. "Boleh deh. Pukul enam, 'kan?"

"Iya. Kayak biasanya."

***

Masih setengah shock, Lyra turun dari panggung.

Alfa gila. Gila.

Pemuda itu memaksanya naik, menyuruhnya bernyanyi. Tentu saja Lyra menolak.

Namun, Alfa tetap memaksanya, mendorongnya sampai berdiri di atas panggung. Perhatian pengunjung mulai tertuju padanya, apalagi ketika Alfa mengambil mike dan mukai bicara.

"Halo. Selamat malam semuanya. Selamat menikmati kudapannya." Pemuda itu tersenyum, matanya menyisir ruangan. "Dan, semoga musiknya bisa dinikmati."

Alfa menoleh pada Lyra, yang masih diam dan terkejut. Alfa memberikan mike pada Lyra, kemudian berbalik dan mengambil gitar yang djsandarkan di begian belakang panggung.

Dia menatap Lyra, meyakinkannya. "Ayo, nggak apa-apa. Coba aja. Lo pasti bisa."

Jantungnya mencelus. Haruskah dia mengikuti kemauan Alfa ... lagi?

Alfa mulai memetik gitarnya, nada-nada rendah yang terangkai dengan indah. Melodi itu membelai telinganya, menbuatnya hanyut.

Lagu ini lagi. Sialan lo, Alfa.

Lyra melirik pada para pengunjung, yang sekarang memerhatikan mereka. Menggigit bibir, dia menoleh pada Alfa. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk samar.

Tiga detik. Alfa sudah hampir menyelesaikan bagian intro, dan itu artinya Lyra harus memulai.

Menelan ludah untuk terakhir kalinya, Lyra mengangkat mikenya. Saat permainan gitar Alfa berhenti, dia mulai bernyanyi. []

Ini part nganu amat. Dan makin lama aku ngerasa kalau cerita ini makin ancur😂

Ps. Males edit. Males nulis. Males idup. /eh/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro