Fourteenth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma harum tercium oleh hidungnya. Alfa membuka mata dan segera bangkit dari acara leyeh-leyehnya. Menyingkirkan gambaran Lyra yang sedang ngamuk padanya tadi dari benaknya, dia pergi ke dapur.

Bunda sedang berdiri di depan konter dapur, memegang alat untuk mengaduk apa pun yang sedang dimasaknya di wajan. Bau rempah-rempah itu semakin menyengat, dan Alfa harus menahan agar air liurnya tidak menetes.

Tersenyum, dia mendekati bundanya. "Masak apa, Bun?" tanya pemuda itu, meskipun dia sudah bisa menebak jawabannya.

"Ini loh, Fa. Rendang. Kemarin tetangga sebelah yang baru balik dari Palembang ngasih bumbu instan buat bikin rendang. Katanya bumbunya bikin sendiri, cuma dibuat bubuk biar awet," jawab Bunda.

Alfa tersenyum lebih lebar. "Kalo Bunda bikin bumbunya sendiri kayaknya bakal lebih enak deh, Bun."

Bunda tertawa, tangannya menepuk pundak Alfa pelan. "Ada-ada aja kamu, Alfa. Udah, makan dulu. Ini udah mau matang rendangnya."

Alfa ikut tertawa. "Alfa nunggu Bunda aja. Alfa bisa bantu apa ini?"

"Hmm. Kamu bawa piring sama sendok aja deh ke meja. Sama nasi sekalian. Nanti Bunda yang bawain rendangnya."

"Oke, Bun."

Alfa mengambil dua piring serta sendok dari rak, kemudian berjalan ke meja makan yang hanya berjarak beberapa langkah dari dapur.

"Fa, temenmu itu kok sekarang jarang ke sini ya? Padahal dulu kan lumayan sering kamu ajak," kata Bunda, membuat Alfa sejenak menghentikan langkahnya.

"Cindy, Bun?"

"Iya. Yang cantik itu loh, anaknya Pak Andre."

"Oh." Alfa kembali melangkah, meletakkan piring yang dia bawa di atas meja, serta sendok di atasnya. "Dia mungkin ... agak sibuk, Bun. Anak IPA kayaknya lagi banyak praktikum, deh."

"Kapan-kapan ajak ke sini lagi ya, Fa. Bunda kangen."

Alfa diam sejenak, memikirkan Cindy dan kelakuannya. Bagaimana mungkin Cindy yang sekarang akan mau singgah di rumahnya? Dia bukan lagi gadis yang senang beramah tamah pada semua orang, bahkan pada Alfa.

Dan Alfa bertanya-tanya tentang bagaimana reaksi Bunda jika mengetahui perubahan sikap Cindy.

***

Rebah di ranjang, Alfa menatap langit-langit kamarnya. Dia masih memikirkan tentang permintaan bundanya tadi, serta memikirkan Cindy.

Elah, Cin. Ribet amat sih mikirin lo. Susah. Untung temen lo.

Di tengah lamunannya tentang Cindy, Alfa mendengar suara singkat yang samar, mengingatkannya akan suara notifikasi handphonenya.

Tapi notif gue nggak gitu. Ini kedengeran kayak suara mesin, sementara notuf gue suara ayam yang lagi kebelet boker tapi nggak nemu tempat buat boker.

Dia melirik handphonenya yang dia letakkan di atas nakas. Benda berwarna hitam itu tidak menyala, yang menandakan bahwa suara notifikasi tadi bukan berasal dari sana.

Pemuda itu memandang ke samping ponselnya sendiri, dan melihat handphone lain di atas nakas itu menyala redup, kemudian mati total.

Apa itu? Ada pesan untuk Lyra?

Diambilnya benda itu. Alfa memutuskan sambungan handphone Lyra dari charger. Dia menyalakannya, kemudian membuka kunci layarnya. Ada simbol notifikasi dari beberapa aplikasi perpesanan. Dia membuka salah satunya, dan melihat ribuan pesan tak terbaca dari beberapa chat. Kebanyakan berasal dari grup, tapi yang paling atas adalah kontak bernama "Mama".

Waduh. Mamanya. Buka nggak nih?

Ada puluhan pesan tak terbaca dari chat itu, dan Alfa tidak ingin melihat lebih jauh. Yang bisa dia lihat hanyalah pesan terbaru yang berisi nama Lyra. Dan itu cukup untuk membuatnya menutup aplikasi tersebut.

Nyesel gue buka ini.

Dia tidak ingin ikut campur lebih jauh. Dia lebih nemilih untuk kembali melihat musik dalam daftar putar Recorder. Dia ingin mendengarkan lebih banyak lagi rekaman.

Memasang earphone, Alfa memutar rekaman secara acak. Yang pertama dia dengar kali ini adalah rekaman permainan gitar itu, yang pernah di dengar sekitar dua tahun yang lalu.

Selanjutnya, ada rekaman suara orang bernyanyi. Alfa mengenalinya sebagai suara Satria. Masih diiringi permainan gitarnya, suara itu terdengar menyanyikan lagu itu lagi, lagu yang sempat heboh pada masanya. Tinggal Kenangan.

Gue nggak ngerti kenapa ini orang suka banget sama lagu ini. Emangnya apa yang istimewa dari lagu ini?

Dan saat ini, dia benar-benar yakin bahwa ini memang suara Satria, teman lamanya. Dan-

Tunggu, ada suara lain.

"Kenapa lo suka banget sama lagu ini, Sat?"

Musik berhenti, suara Satria pun sejenak tidak terdengar. Itu tadi suara perempuan. Sedikit berbeda, tapi sekarang dia bisa mengenalinya dengan jelas sebagai suara Lyra.

"Yaelah, ganggu aja lo, Ra. Gue lagi ngerekam ini."

Derai tawa Lyra terdengar, sedikit membuat Alfa terpaku. Baru kali ini dia mendengar tawa Lyra, dan dia mulai berpikir bahwa suara tawa itu mungkin adalah tawa terindah yag pernah dia dengar.

"Matiin dulu."

"Iya, ini gue matiin."

Rekaman itu berhenti, berganti menjadi suara rekaman lain. Namun, Alfa tidak terlalu memedulikannya. Benaknya terpaku pada satu hal.

Kalo Satria ada di sini, mungkin gue juga bakal tanyain kenapa dia suka banget lagu itu.

Hampir setengah jam Alfa mendengarkan rekaman itu secara acak. Namun, isinya juga tetap sama: rekaman permainan gitar Satria atau rekaman suaranya. Sering kali Alfa mendengar suara Lyra dalam rekaman tersebut, menginterupsi apa pun yang sedang direkam oleh Satria.

Lewat sedikit percakapan itu, Alfa berpikir bahwa mereka pasti sangat dekat. Interaksi mereka begitu akrab, bahkan mungkin lebih akrab daripada interaksinya sendiri dengan Satria.

Rasa penasarannya memuncak. Dia melihat-lihat aplikasi lain yang ada di handphone Lyra. Matanya tertuju pada gambar kotak kecil bertuliskan Galeri.

Alfa merasa sedikit ragu, tapi memilih untuk mengabaikan keraguan itu. Dia membuka galeri itu.

Di dalamnya hanya ada dua album. Satunya berasal dari kamera, dan satunya lagi berasal dari salah satu aplikasi perpesanan Lyra.

Alfa membuka album Kamera. Foto yang paling atas adalah potret danau pada saat senja. Iya, danau yang itu. Gambar pasti diambil dari tempat Lyra duduk. Semburat warna jingga, ungu, serta kemerahan memenuhi gambar itu. Warna-warna tersebut terpantul di permukaan danau, melipatgandakan keindahannya. Itulah satu hal yang dilewatkan Alfa selama ini, yaitu betapa danau itu bisa terlihat begitu indah.

Foto-foto di bawahnya serupa, hanya potret danau yang diambil pada berbagai waktu. Alfa mencari foto pemilik handphone tersebut, tapi tidak menemukannya. Hanya ada foto-foto tempat dan suasana random yang beberapa di antaranya Alfa kenali sebagai aula sekolahnya pada saat acara pensi.

Elah, capek jempol gue scroll terus.

Namun, kegiatan men-scroll-nya berhenti. Dia sudah mencapai bagian dasar album itu. Dan akhirnya, dia menemukan potret manusia di sana.

Bukan, tentu saja bukan Lyra. Alfa tidak akan pernah bisa percaya bahwa Lyra senang memotret dirinya sendiri.

Itu Satria. Wajah pemuda dengan kulit kecokelatan dengan rahang tegas dan mimik ceria itu memenuhi layar handphone Lyra. Alfa menggeser jarinya, melihat foto lain. Serupa juga.

Gue baru sadar kalo Satria bisa senarsis ini.

Kemudian, ada foto lain. Foto Satria juga, tapi bersama dngan seorang gadis. Butuh beberapa detik bagi Alfa untuk mengenali gadis itu. Lyra. Versi Lyra yang lebih muda, hampir masih terlihat seperti anak-anak.

Buset. Kok beda amat sama yang sekarang, ya? Yang ini kelihatan lebih cerah gitu. Bibirnya juga senyum, nggak datar terus kayak jalan tol.

Alfa menggeser jarinya sekali lagi, dan menemukan gambar yang berbeda lagi. Ada Satria, tapi gadis yang di sampingnya bukanlah Lyra.

Cindy.

Alfa meneliti pakaian yang dipakai Cindy, berupa blus biru dengan sedikit di bagian dadanya. Sebuah memori muncul di benak Alfa.

Saat itu ada event di cafe. Satria dan Cindy menjadi salah satu pengisi acara. Ya, tntu saja. Mereka bisa dibilang pengisi panggung tetap cafe tersebut. Sebelum Satria menghilang, tentunya.

Dan mereka mengajak Alfa dan yang teman-temannya yang lain. Alfa yang memotret mereka, tentu saja dia ingat betul. Dan dia memotret menggunakan handphone Satria.

Keningnya mengernyit. Dia membalik benda tipis di tangannya itu, melihat dengan cermat bentuk handphone itu.

Dan dia ingat. Ini memang handphone lama Satria. Berdasarkan isi dan fisiknya yang Alfa ingat, ini memang handphone Satria.

Sial. Kenapa juga yang punya handphone ini sekarag kudu harus wajib sekali banget jenis spesies aneh bin langka kayak Lyra? []

Full narasi. Sip. Plus, anuan banget. Makin mantep nih kehancuran anuanku😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro