Fifteenth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tempat itu masih sepi seperti biasa ketika Lyra lewat di depannya. Lyra masuk ke dalam sana.

Gadis itu menyadari adanya sedikit perubahan dalam tata letak alat-alat musik yang ada di sana. Selain letak piano yang telah berpindah ke dekat panggung, drum juga sepertinya telah digeser ke dekat panggung.

Kayaknya habis ada event. Atau pelajaran di sini. Atau eskul.

Di tengah ruangan, agak ke belakang, Lyra melihat kursi-kursi dijajarkan melingkar, mengitari sesuatu yang sekarang sudah tidak ada. Di atas kursi-kursi tersebut, diletakkan beberapa gitar.

Lyra menoleh ke sudut tempat gitar-gitar itu sebelumnya berada. Sekarang, sudut tersebut kosing tanpa ornamen, hanya berupa dinding putih bersih.

Lyra mendekati lingkaran kursi itu. Tangannya terulur hendak mengambil salah satu gitar terdekat. Namun, sebuah suara membuatnya berhenti.

"Lyra Slavia. Itu lo, 'kan?"

Lyra mengerjap, kemudian menoleh ke belakang. Matanya mendapati seseorang tengah berdiri di ambang pintu. Dari siluetnya, Lyra bisa memastikan bahwa orang yang baru saja datang itu adalah seorang gadis.

Atau mungkin tiga orang gadis. Siluet gelap yang menghalangi masuknya cahaya itu terlihat terlalu lebar untuk ukuran seorang manusia.

"Gue mau tepatin janji gue ke lo."

Gadis di ambang pintu itu berjalan mendekati Lyra. Dua orang di belakangnya mengikuti. Lyra berbalik, matanya menatap gadis itu waspada.

Sialan. Kenapa gue harus ketemu lagi smaa setan itu? Di sini?

"Lo nggak lupa 'kan sama kejadian itu?"

Selangkah lebih dekat. Tangan Lyra mencengkeram sandaran salah satu kursi. Dia tidak mengerti kenapa dia merasa sedikit takut kepada Cindy.

"Lo nggak lupa 'kan, kalo lo pernah ngibulin gue?"

Mata Lyra menatap ke sana-ke mari, mencari celah untuk kabur. Tidak ada. Sisi kanan dan kiri Cindy diisi oleh dua temannya.

Cindy menyeringai, tertawa nyaring. "Kenapa lo kelihatan ketakutan, Lyra? Gue bukannya bakal gigit lo."

Tersenyum miring, Cindy berkata lagi, "Yah, gue cuma bakalan motong dikit sih, tapi nggak gigit, kok."

Lyra melirik tangan Cindy, melihat sesuatu tergantung di sana. Menyipitkan matanya, gadis itu mengenali benda apa yang sedang Cindy pegang.

Gunting.

Sial kuadrat.

Tangannya mulai gemetar, jantungnya berdetak lebih cepat. Dia mundur selangkah, punggungnya menabrak sandaran kursi. Kakinya menyentuh kaki kursi, membuat benda itu tergeser mundur.

Cindy menaikkan alis, terlihat puas. Rambutnya yang dia gerai di punggung jatuh ke bahu ketikadia memiringkan kepala. "Santai aja sih, Ra. Gue cuma pengin ngomong dikit kok sama lo."

Lyra mengejap. Kakinya mundur selangkah lagi. Bunyi deritan kaki kursi yang bergesekan dengan lantai tedengar nyaring.

Nggak. Jangan. Singkirin itu gunting. Apa pun, asal jangan benda itu.

Mulut Lyra masih terkatup meski napasnya sudah mulai memburu.

Cindy tersenyum lagi, senyum yang menurut Lyra sama seperti senyum kedua orang tuanya. Palsu. "Guys, kayaknya nggak perlu nunggu apa-apa lagi, deh. Langsung aja." Tangannya yang bebas terangkat, membuat isyarat untuk kedua temannya.

Dan Lyra sadar, bahwa Cindy sudah akan memulai. Kakinya bergerak menyamping, mengambil ancang-ancang untuk lari.

Namun, kedua teman Cindy yang tidak Lyra ketahui namanya telah bergerak. Mereka maju, masing-masing menahan satu tangan Lyra. Gadis itu tahu, bahwa melawan sekarang hanya akan membuatnya merasa sakit, tapi dia terlanjur kalap, apalagi ketika Cindy mulai mengangkat tangannya yang memegang gunting.

Lyra meronta, menyentakkan tangannya sekuat mungkin agar bisa lepas dari cengkeraman dua setan di sampingnya ini. Namun, tenaganya tidak cujup kuat untuk melawan dua gadis yang lebih siap, dua gadis dengan jantung yang berpacu normal dan tanpa rasa takut terhadap sebuah benda bernama gunting.

Mereka menarik tangan Lyra ke belakang, membawanya hingga punggungnya menabrak tembok. Dia tersudut. Tubuhnya masih meronta ingin melepaskan diri meski otaknya menyadari bahwa dia tidak akan bisa lepas sekarang.

Cindy menghampiri, memainkan gunting di tangannya, memutar-mutarnya dengan jemarinya, membuat pikuran Lyra makin kacau. Dia membayangkan benda itu terlempar dari tangan Cindy dan terarah padanya, kemudian menusuk matanya. Dan rasa sakit itu terbayang, membuatnya menutup mata erat-erat.

Namun, tidak ada yang terjadi tentunya. Itu hanya ada di kepalanya saja. Meski begitu, tetap saja Lyra menutup matanya. Jantungnya masih berdetak dengan cepat seiring dengan tarikan napasnya yang memburu.

"Gue suka rambut lo, Ra. Bagus banget. Panjang lagi."

Lyra membuka mata, melihat Cindy tersenyum dan menatapnya, masih memainkan gunting di samping wajahnya. Dan dalam kepala Lyra, jemari Cindy bergerak ke atas sehingga gunting itu mengenai rahangnya dengan keras. Darah mengucur dari tempat gunting itu menggoresnya.

Tangan Lyra gemetar. Dia merasakan telapak tangannya basah oleh keringat. Dia meronta sekali lagi, tapi tangannya masih saja tidak bisa lolos.

Menelan ludah, dia berujar pada Cindy, "Singkirin itu, Cin."

Lyra mengumpat dalam hati. Kenapa suaranya terdengar parau dan bergetar? Itu hanya akan membuat Cindy makin senang.

"Oh, kenapa? Lo takut sama ini, Ra?" Cindy mengangkat gunting hitamnya hingga sejajar dengan wajah Lyra.

"Bilang aja mau lo apa dari gue." Lyra menutup mata, berusaha menyingkirkan gunting itu dari pandangannya. Menarik napas rasanya semakin berat saja.

"Gue nggak mau apa-apa sih dari lo. Gue cuma pengin main-main dikit aja sama ini."

Lyra merasakan sentuhan ringan di pelipisnya, seolah bagian itu tidak sengaja disentuh. Kemudian, dia merasa pelipisnya terbuka. Rambut yang biasanya menutupi pelipisnya telah ditarik.

Lyra memaksa matanya terbuka. Dia melirik tangan Cindy yang berada di samping kepalanya, sedang memainkan rambutnya. Gunting itu sekarang berada lebih dekat dengan mata Lyra. Gadis itu menggigit bibir, menahan agar matanya tetap terbuka.

"Cindy, mau lo apa?" kata Lyra pelan, menyerah.

Cindy hanya melirik Lyra sedikit sebelum kembali menatapi rambut Lyra yang sedang dia mainkan.

"Tenang aja, Lyra. Gue cuma mau bikin gaya rambut baru buat lo."

Gadis dengan rambut sebahu itu mengarahkan guntingnya ke rambut Lyra. Lyra berusaha untuk tidak menatap, tapi tetap saja hal itu terlihat dari sudut matanya. Dati mulutnya terdengar rintihan-rintihan menyedihkan. Dia takut gunting itu menggores pelipisnya dengan dalam. Dia takut. Dia takut.

Lyra merasakan desakan yang kuat untuk lari. Cengkeraman di sajlah saty pergelangan tangannya sedikit melonggar. Kalap, dia meronta, menyentakkan tangannya. Seluruh tubuhnya bergerak, hedak lari secepat mungkin.

Namun, dia tidak menyadari bahwa teman Cindy yang satu lagi masih memegng tangannya dengan kuat. Alhasil, dia tidak pergi ke mana pun. Dia didorong kembali ke tembok, membuat kepalanya terasa berdenging kala membentur tembok.

"Nggak usah ngelawan, Ra."

Cindy mulai memotong rambut Lyra. Lyra memejamkan mata, tidak ingin melihat gunting itu. Tidak ingin melihat seberapa banyak Cindy akan merusak rambutnya.

Kepalanya menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, berusaha menolak apa yang sedang Cindy lakukan. Seketika, rasa sakit yang tajam menyerang pelipisnya. Gadis itu memekik. Ketakutannya terjadi. Benar-benar terjadi.

Dia masih bisa dengan jelas merasakan ketika besi dingin itu menyentuh kulitnya, membuatnya tergores. Masih jelas terasa ketika gunting itu terangkat dari kulitnya, ujungnya yang runcing menusuk goresan itu, mempertajam rasa sakit Lyra.

Pandangan Lyra terasa buram dan berkunang-kunang. Pendengarannya seolah buntu. Segala indranya seolah tak berfungsi. Menggigit bibir, dia merintih. Dia menyerah.

Kemudian, dia merasakan tekanan disekelilingnya perlahan menghilang. Tangannya sekarang bebas.

Gadis itu mengerjap, menjernihkan pandangan. Dia melihat Cindy sudah tidak lagi menghadap padanya. Fokus gadis yang Lyra anggap sebagai setan itu teralihkan pada seorang pemuda yang baru datang. Kedua temannya hanya menatap mereka berbicara, pembicaraan yang masih belum bisa Lyra dengarkan.

Otak Lyra mulai kembali bekerja. Dia menyadari bahwa tak ada satu pun dari mereka yang sedang mengawasinya.

Menggigit bibir, dia berlari ke luar. Dia mendengar seseorang menyerukan namanya dengan samar. Namun, dia tidak peduli. Napasnya masih memburu. Kakinya yang gemetar melangkah dengan cepat menju tempat yang masih belum dia tentukan.

Ke mana pun, asal bukan di sana sama setan itu. []

Seri kebut sesiangan demi melepaskan diri dari yang namnya KUTANG. Ancur pasti, tapi entah kenapa aku suka ini.

Minta krisarnya dong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro