Sixteenth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue nggak bisa terima, Fa! Dia ngibulin gue!"

"Lo ngamuk karena itu, atau lo cuma pengin nge-bully dia aja?"

Alfa menatap tajam lawan bicaranya. Dia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, tapi setelah melihat Cindy di dalam ruang musik bersama dengan dua temannya, dia tidak bisa diam saja. Pemuda itu tahu apa yang sedang Cindy lakukan.

"Lo gaj perlu ikut campur lagi, Fa. Ini urusan gue. Ini yang gue suka. Ini hak gue. Lo gak-"

"Gue udah pernah bilang kalau ini nggak bakal bikin Satria balik, Cin."

Cindy meringis kesal, tangannya terkepal. "Ini nggak ada hubungannya sama Satria. Dan-"

"Gimana kalo gue bilang," Alfa merendahkan suaranya, "bahwa cewek yang lo ganggu barusan itu mungkin tau sesuatu tentang Satria?"

Mulut Cindy yang sebelumnya terbuka untuk bicara kini terkatup. Dia mengerjap, memiringkan kepalanya. Tidak percaya. "Lo bilang apa?"

Alfa melirik pada kedua teman Cindy yang sedang menatap dirinya dan Cindy dengan pandangan penasaran, kemudian berkata, "Suruh mereka pergi dulu. Ini urusan lo sama gue."

Cindy berdecak, lalu berkata lantang pada teman-temannya, "Balik aja duluan ke kelas, gue perlu ngomong bentar sama dia." Gadis itu menatap Alfa sambil menunggu dua orang lain di dalam ruangan itu keluar.

Setelah mereka sendirian, Alfa mulai bicara. "Gue buka-buka handphone-nya dia, terus gue nemu sesuatu yang berhubungan sama Satria."

Cindy mengerjap. "Ngapain lo buka handphone dia? Lo pacarnya?" Cindy memutar matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. "Ah, pantes aja lo bela dia."

Alfa menarik napas dalam, menahan emosinya yang sudah mulai terkumpul sejak dia melihat wajah Lyra di antara Cindy dan teman-temannya, sedang memejamkan mata dan terlihat ketakutan.

"Jadi bener, Fa? Karena ini, 'kan? Gak penting banget. Gue gak peduli, Alfa. Gue gak peduli dia siapanya elo."

Cindy masih mengoceh, tapi Alfa memilih untuk diam. Dia sungguh ingin meladeni perkataan gadis berambut sebahu di hadapannya ini, tapi melakukan itu hanya akan membuatnya meledak.

Pemuda itu meraih ke dalam saku celananya, mengambil handphone Lyra. Dia kembali teringat akan wajah Lyra yang sepucat kertas ketika Cindy mulai menggunting rambutnya, serta pekikannya saat gunting itu melukai pelipisnya.

Andai lo bukan temen gue, mungkin lo udah ancur sekarang, Cin.

"Tahan ocehan lo, Cindy." Suaranya terdengar lebih dingin dari yang dia maksudkan.

Sekilas dia melihat raut wajah Cindy yang langsung menutup mulut dengan terkejut. Seketika perasaan bersalah menekan dadanya.

Memejamkan mata, Alfa menghela napas. "Lo mau bukti berupa gambar atau suara?" Pemuda itu kembali membuka matanya.

Alfa bisa melihat kesedihan di mata Cindy meski gadis itu menutupinya dengan cukup baik menggunakan topeng sinisnya. Kesedihan, kebingungan, serta beberapa emosi lain.

Lo tau lo nggak perlu nutupin itu dari gue, Cin. Lo tau gue bisa baca mata lo segampang baca majalah.

"Suara." Cindy menelan ludah.

Rasa bersalah itu menekan Alfa semakin kuat, dan dia harus menahan diri agar tidak meminta maaf. Dia membuka kunci layar Lyra, kemudian menggeser-geser jarinya untuk menemukan daftar putar Recorder.

Alfa mendekatkan benda itu ke telinga Cindy, membiarkan gadis itu mendengar salah satu rekamannya.

Tiga detik. Lima detik. Sepuluh detik. Mata Cindy melebar. Topengnya mulai luruh. Matanya berkilauan oleh air mata yang tertahan.

Menggigit bibir, gadis itu berkata, "Ini dia, Fa? Kok bisa?"

Alfa menatap wajah itu, wajah yang penuh dengan kerinduan. "Dengerin aja dulu."

Setelah sekitar dua menit, Cindy mendengarnya. Suara lain itu, suara tawa dan nyanyian seorang gadis yang mengiringi suara Satria.

"Ada suara cewek. Dia siapa?" bisik Cindy.

Alfa menggeleng, menjauhkan handphone Lyra dari telinga Cindy. Menggeleng, dia menjawab, "Kedengeran kayak suara Lyra, tapi gue nggak tau, Cin. Makanya gue mau tanya."

Cindy menatap Alfa dengan muram. "Lo utang cerita sama gue, Alfa."

Gadis itu mengerucutkan bibirnya, dan sedikit banyak Alfa teringat pada sosok manis yang pernah dikenalnya. Cindy yang dulu, Cindy yang senang tersenyum pada semua orang. Tekadnya semakin kuat untuk mencari jawaban tentang Satria.

Gue tau, gue bahkan bakal paksa Lyra jawab pertanyana gue buat kembaliin temen lama gue.

"Jadi, lo tau kelas Lyra nggak?"

***

Alfa berhenti sejenak sebelum kembali melangkah mendekati gadis itu dengan ragu. Orang yang sedang Alfa dekati sedang duduk dan bersandar pada batang pohon. Matanya menatap kosong ke depan. Wajahnya masih tampak sedikit pucat meski sudah lebih baik dari yang Alfa ingat.

Menghela napas, pemuda itu duduk di samping Lyra. Dia menyerahkan tas Lyra yang dia ambil dari kelasnya. Lyra ternyata sekelas dengan Cindy, dan saat mengetahuinya, Alfa sempat mengumpat.

Namun, bukan itu yang sedang dia permasalahkan sekarang.

"Lyra," panggilnya pelan.

Gadis di sampingnya mengambil tas dari tangan Alfa, kemudian meletakkannya di pangkuannya sendiri. Dia hanya menunduk tanpa terlihat mendengar suara Alfa.

Hening menyelimuti, hanya terdengar suara samar dari gesekan ranting yang terkena angin.

"Lo mau maafin Cindy nggak, Ra?" tanya Alfa, tidak terlalu mengharapkan jawaban.

Dan benar. Lyra membuka resleting tasnya, kemudian mengeluarkan salah satu buku dari dalam sana dan mulai membaca, sama sekali tidak mengacuhkan keberadaan Alfa.

"Cindy sebenernya nggak begitu. Akhir-akhir ini dia cuma lagi ... ada masalah."

Masih hening, dan Alfa pun memilih untuk diam. Sepertinya gadis di sampingnya ini benar-benar tidak ingin bicara.

Emang sejak kapan dia doyan ngomong, eh?

"Gue bisa ngerti."

Alfa mengerjap. Lyra bersuara begitu singkat, dan Alf hampir mengira bahawa suara barusan hanya ada di dalam kepalanya jika dia tidak melihat mulut Lyra yang sedikit terbuka.

Alfa tersenyum. Sebagian karena dia sudah mulai mencerna perkataan Lyra barusan, sebagian lainnya-yang lebih banyak-senang karena bisa mendengar suara Lyra.

Yah, walaupun pelan banget, sih.

Lyra membalik halaman bukunya. Salah satu tangannya terangkat, menyelipkan rambutnya ke belakng telinga. Sebuah kebiasaan yang sering Alfa perhatikan, tapi sepertinya tidak disadari oleh gadis itu sendiri.

Namun, kali ini sedikit berbeda. Tangan gadis itu tak kunjung turun dari pelipisnya. Dia meraba-raba sejumput rambut di sana yang-baru saja Alfa sadari-tidak sama panjang dengan yang lain. Beberapa detik kemudian barulah Lyra menurunkan tangannya.

Alfa bisa melihat gadis itu menarik napas dengan lebih berat saat membalik bukunya lagi. Dan Alfa teringat dengan beberapa tujuannya membolos ke mari dan menghampiri Lyra.

"Ra, gue rapihin rambut lo, ya." Alfa meletakkan tasnya di pangkuannya, kemudian mengambil gunting dari sana.

"Nggak. Jangan. Nggak perlu."

Alfa mengerjap, menatap gadis di sampingnya. Pemuda itu mengernyit ketika Lyra menggeser posisi duduknya beberapa senti. Wajahnya kembali terlihat pucat, dan Alfa sungguh tidak mengerti apa yang terjadi.

"Kenapa, Ra? Cuma rapihin doang kok, rambut lo nggak bakal rusak. Kalo cuma rapihin poni sih gue bisa, Ra." Alfa tersenyum, berusaha meyakinkan Lyra.

Namun, gadis itu malah menggeleng dan terlihat makin mundur, menjauhi Alfa.

"Singkirin itu, Fa. Tolong." Napas Lyra mulai memburu, dan Alfa mulai paham.

Dia meletakkan kembali gunting itu di dalm tasnya, kemudian beekata, "Nggak. Gue nggak bawa apa-apa." Pemuda itu menunjukkan telapak tangannya yang kosong pada Lyra, kemudian melanjutkan, "Guntingnya udah gue taroh lagi. Nggak ada yang perlu ditakutin."

Alfa meraih tangan Lyra, menarik gadis itu agar duduk lebih dekat padanya. Lyra menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada buku.

Bahu Alfa dan Lyra bersentuhan, kepala keduanya berdekatan, dan Alfa bisa melihat rambut Lyra yang terpotong tidak rata dengan jelas. Gadis itu menyelipkan rambutnya lagi, membuat luka itu terlihat di mata Alfa.

Hanya goresan kecil yang sama sekali tidak panjang, tapi terlihat agak dalam. Helaian rambut Lyra jatuh dan menutupi luka itu, dan tangan Alfa segera bergerak untuk menyingkirkannya, tidak tahan untuk memperhatikan luka itu lebih detail lagi.

Rintihan Lyra membat Alfa menarik kembali tangannya. Jarinya pasti tanpa sengaja menyentuh luka Lyra.

"Lukanya kelihatan agak dalem, Ra." Alfa mengeluarkan benda lain dari dalam tasnya.

"Jangan. Alfa ... nggak perlu."

Pemuda bisa merasakan pergerakan kecil Lyra. Dengan segera dia mengeluarkan benda itu, kamudian menunjukkannya pada Lyra. "Ini cuma obat merah, Ra."

Lyra mengerjap. Bahunya yang sebelumnya menegang kembali relaks. "Nggak perlu repot-repot, Al."

Alfa tersenyum. "Nggak repot kok. Gue cuma nyolong dari tasnya Cindy. Nggak perlu izin lagi."

Bibir Lyra berkedut, hampir membentuk senyuman. Alfa terpaku. Pikirannya kosong kala tangannya meneteskan obat merah itu ke jarinya dan mengolaskannya si pelipis Lyra.

Lyra mengerang kecil. Kepalanya bergerak menghindar. "Biarin aja. Nanti sembuh sendiri."

Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya. Bibirnya melengkungkan senyum kecil yang kembali membuat Alfa terpaku. Perlu beberapa detik bagi pemuda itu untuk sadar dan kembali menarik tangannya.

Keheningan kembali terjadi. Dan untuk pertama kalinya sejak mengenal Lyra, keheningan itu terasa nyaman. Namun, tidak lama kemudian Lyra memecahnya.

"Lo bawa handphone gue, Fa?"

Alfa menelan ludah. Harus sekarang, ya? []

Ini part anuan banget. Minta krisarnya ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro