Second Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cin, sampe kapan lo mau begini terus?"

Alfa menatap gadis di hadapannya dengan lelah. Gadis itu, yang memiliki paras cantik dengan rambut lurus sebahu serta mata cokelat terang yang cantik itu hanya bisa diam. Duduk di atas meja, gadis itu menunduk, bibir mungilnya mengerucut kesal.

Menghela napas, Alfa berjalan mendekati Cindy. "Cindy, lo tau kalau Satria nggak bakal seneng sama kelakuan lo." Dia berhenti selangkah dari tempat Cindy duduk.

Cindy tertawa kecil. "Ternyata ini nyenengin, Fa. Gue suka. Lo harus lihat deh, waktu dia beresin sendiri bukunya yang jatuh. Kayak babu beneran, tau nggak."

Alfa menatap Cindy lebih dalam. Walaupun wajahnya tersenyum, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan di dunia ini, matanya memancarkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang ditahannya begitu lama hingga cukup untuk membuatnya hampir fruatasi.

"Denger. Apa pun yang lo lakuin, Satria nggak bakal balik, Cin." Cindy mengerutkan keningnya, dan Alfa melanjutkan, "Dia mungkin bakal balik, tapi jelas bukan karena tindakan lo ini."

Cindy mendengkus. "Gimana kalau gak? Gimana kalau dia gak balik? Gimana kalau dia gak peduli sama gue?" Matanya mulai berkaca-kaca, suaranya memelan. "Ya Tuhan, dia di mana, Alfa?"

Cindy merintih, dan Alfa tidak tahu harus bagaimana. Hatinya serasa teriris saat melihat orang yang dikenalnya sejak kecil itu putus asa, merintih, menahan tangis. Tidak, dia tidak bisa.

Cindy bukan sahabatnya. Mereka bahkan tidak sedekat itu. Namun, mereka sudah saling mengenal sejak kecil berkat orang tua mereka. Meski tidak terlalu dekat, sulit rasanya melihat orang yang dikenal berubah.

Akhirnya, Alfa mengatakan satu-satunya hal yang ada di kepalanya, meskipun dia tidak yakin bagaimana Cindy akan menanggapinya. "Ngelakuin hal yang Satria benci nggak bakal bikin dia balik, Cin."

Cindy memalingkan muka, menghindari tatapan Alfa. Namun, Alfa tetap melanjutkan. "Di suatu tempat di dunia ini, dia ada. Dia nggak bakal ngelihat apa aja yang lo lakuin. Dia nggak tau, Cin. Kalau dia tau atau peduli, dia pasti udah balik sejak lama."

Alfa menarik napas. "Ini nggak bakal ngerubah apa-apa, Cindy."

Cindy menghela napas. "Oke, kalau begitu, berarti gue bisa ngelakuin apa pun yang gue mau," ujarnya tanpa menatap Alfa. Dia turun dari meja yang dia duduki, kemudian melangkah ke luar kelas. "Dan lo nggak perlu tegur gue lagi, Fa."

Alfa hanya bisa terdiam. Cindy yang dikenalnya tidak akan begitu. Cindy yang dia kenal adalah gadis yang manis dan sopan. Cindy banyak berubah setelah Satria, pacarnya, menghilang sekitar setahun yang lalu.

Banyak pertanyaan yang timbul di benak Cindy, tapi tak satu pun yang bisa menjawab. Dia pergi ke rumah Satria, tapi kosong. Dia bertanya ke sana-ke mari, tidak ada yang tahu. Akun media sosialnya juga tidak ada yag aktif.

Pertanyaan itu menumpuk, dan Cindy seolah meledak belakangan ini. Dia banyak mengganggu orang di sekolah. Menjegal orang yang lewat, mendorong siswi yang membawa banyak buku hingga jatuh terjembab, dan lain sebagainya yang jika Alfa sebutkan satu per satu tidak akan selesai sampai besok malam.

Alfa menghela napas. Dia keluar dari kelas itu, kemudian mulai berjalan melewati halaman sekolah. Pikirannya masih berputar pada Cindy, dan menebak-nebak ke mana sebenarnya Satria pergi. Kepergiannya sangat aneh. Begitu tiba-tiba. Padahal, beberapa hari sebelumnya baik-baik saja.

Dia ke mana ya? Apa orang tuanya nyeret dia ke luar negeri? Apa dia diculik? Dicuci otaknya sampe dia nggak inget apa-apa lagi, terus dibawa pergi buat dijadiin budak atau apa pun itu?

Alfa terkekeh karena pikirannya sendiri. "Ngaco banget gue," gumamnya. "Terus dia ke mana ya?"

Apa mungkin-entah gimana-dia meninggal?

Alfa menggelengkan kepalanya, menyingkirkan kemungkinan terakhir yang sering mengganggu pikirannya itu. Nggak mungkin. Satria nggak mungkin mati.

Suara motor terdengar, makin lama makin keras, kemudian berhenti di sampingnya. Berhenti berjalan, Alfa tersenyum miring. Itu pasti Ferdi.

"Mabok, ya lu?" Alfa menyengir, menoleh pada Ferdi yang masih duduk di jok motornya, lengkap dengan memakai helm. "Kok bisa telat ke kantin? Kehabisan porsi pertamanya Mak Nyak kan lu." Ferdi terkekeh.

Alfa menghela napas, seolah menyesal. Dia kembali mengingat alasan keterlambatannya pergi ke kantin. "Yah, tadi ada cewek nggak tau diri yang nabrak gue waktu gue mau ke kantin. Gila. Hampir jatoh gue. Dia bahkan nggak noleh buat minta maaf,."

Dia memang hanya terlambat sekitar beberapa detik, tapi antrian soto Mak Nyak sudah sangat panjag saat dia datang. Cewek sialan.

Ferdi kembali terkekeh. "Enggak tau diri emang, cewek tuh. Emang enggak ada juga cewek yang tau diri, Fa. Untung doyan gua sama cewek."

Alfa mengusap wajahnya, tapi masih sambil menyengir. Dia kembali mengingat gadis yang menabraknya itu, yang memiliki tubuh mungil dan rambut tergerai tergerai di punggungnya. Alfa tidak dapat melihat wajahnya yang yang tertunduk, tapi entah mengapa gadis itu terasa familiar di matanya.

"Dasar cewek," kata Ferdi, yang kemudian menstater motornya. "Enggak mau bareng, Fa?"

Alfa sempat memikirkan tawaran itu, tapi dia menolak. "Nggak, gue lagi pengen jalan."

"Yaudah, duluan gue, Fa."

Alfa tersenyum kala motor Ferdi melaju dengan kencang ke luar gerbang sekolah. "Tiati, jangan mati!" teriaknya, meski dia yakin Ferdi tak dapat mendengarnya.

Alfa kembali berjalan santai. Pikirannya melayang kepada gadis itu, gadis yang menabraknya tadi. Aneh sekali. Gadis itu asing. Namun, ada sesuatu yang familiar pada dirinya.

Alfa mulai memasuki kawasan yang pepohonannya rimbun. Lewat jalan setapak, yang tidak bisa dilalui kendaraan bermotor, rumahnya lebih dekat. Dia berjalan melewati danau yang terbentang luas di tengah pepohonan rimbun itu.

Dan matanya menangkap sosok yang sudah dikenalnya cukup lama. Tidak, bukan mengenal. Hanya saja, tidak asing.

Gadis itu selalu di sana, duduk di bawah salah satu pohon itu, menghadap ke danau. Dia selalu menunduk, membaca buku di pangkuannya. Earphone yang terhubung dengan handphonenya juga selalu terpasang di telinganya.

Konstan. Berulang.

Kadang, dia bertanya-tanya tentang gadis itu. Ngapain sebenernya cewek ini? Nggak mungkin 'kan, dia nunggu seseorang? Yakali nunggu orang dua hari sekali.

Alfa sudah puluhan kali melewati jalan ini. Puluhan kali dia berhenti di tempat yang sama, menatap sosok yang sama. Dan dia sudah memperhatikan si gadis sedetail itu. Memang tidak setiap hari gadis berbadan mungil itu duduk di sana, tapi Alfa sudah mengerti siklusnya. Dua hari sekali.

Nah kan. Ngapain juga gue perhatiin dia sampe segitu detailnya? Gue bahkan nggak kenal dia. Walaupun pengen kenalan, sih.

Gadis itu tiba-tiba menoleh padanya. Untuk pertama kalinya selama Alfa menyadari eksistensi gadis itu, mereka saling menatap. Mungkin hanya sedetik, tapi terasa seperti selamanya. Wajah gadis itu tidak begitu jelas. Namun, Alfa bisa menangkap detail di matanya. Iris matanya sewarna tanah, dibingkai dengan bulu mata panjang.

Indah.

Hanya perlu sedetik baginya untuk memikirkan kata itu. Dan saat gadis itu kembali mengalihkan pandangan, dia tersadar.

Gila. Emang kerasa ya, kalau lo lagi dilihatin orang? []

_______________
Aku ngerasa part ini nganu banget. Tulung, kalau ada typo atau kalimat yang mbuletisasi, kasih tau aku. Bantulah bocil amatir ini ....

Aku minta mangap karena belum sempet mampir ke anuan yang lain. Kalau sempat beneran nganu aku ... mangapin. Hiks. Nangid.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro