Third Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini dingin. Lyra masih ingin meringkuk di balik selimutnya yang hangat. Namun, dia tidak akan bisa. Tidak dengan suara perdebatan kedua orang tuanya.

"Tolong jelaskan siapa perempuan itu! Kenapa kamu bisa sama dia?!"

"Dan kalau saya tanya siapa laki-laki itu, apa kamu akan jawab?"

Suara yang sepertinya diusahakan agar tetap pelan—tapi tetap terdengar keras—itu membuatnya muak. Dia ingin ikut meneriakkan, "Nggak bisa berhenti apa ya?!" tapi dia lebih sayang pada suaranya.

"Abaikan aja, Ra. Jangan dengerin. Kalau lo tetep dengerin, nanti lo stres, terus jadi cepet tua."

Menuruti suara di dalam kepalanya, Lyra menulikan pendengaran. Dia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke kamar mandi dan mulai mandi. Dia berusaha tidak mendengarkan. Dia berusaha.

Namun, tentu dia masih bisa mendengar meski tidak memerhatikan. 

Tidak seperti langit yang begitu indah di pagi hari, suasana di rumah Lyra justru malah sebaliknya, muram dan tegang. Selalu seperti ini tiap pagi.

Oh, dia lupa. Selalu seperti ini tiap waktu.

***

"Makan ya, Ra. Duduk dulu sebentar, nanti Mama yang anter." Papa Lyra berkata, sambil tersenyum–yang jelas adalah senyum terpaksa.

Lyra tidak begitu mengerti mengapa orang tuanya senang sekali berakting. Itu tidak perlu, sungguh. Lyra tidak akan peduli.

Dia berjalan melewati meja makan, tanpa menatap ke papanya sama sekali. Daripada mendengarkan orang tuanya bertengkar, lebih baik dia segera pergi ke sekolah.

Namun, dia sedang tidak beruntung. Mamanya memaksa.

Menarik tangan Lyra, Mama berkata, "Ra, duduk dulu dong. Mama udah bikin nasi goreng ini."

Lyra memutar bola matanya. Apa ini? Jadi dia harus ikut duduk di sana, begitu? Ikut makan dan terlibat dalam pembicaraan basi, begitu?

No.

Mama kembali merayunya. "Ini masih pagi, Sayang." Lyra mendecih dalam hati kala mendengar kata 'Sayang'. "Sarapan dulu nggak apa-apa, 'kan?"

Baiklah. Lyra pasrah. Mama mendudukkannya di kursi di samping Papa, sementara beliau sendiri duduk di sisi Lyra yang satunya. Jelas, untuk memberinya jarak dengan Papa.

Mama mengambilkan Lyra nasi goreng itu, meletakkannya di hadapan Lyra. "Dimakan dong, Sayang."

Lyra memandang makanan itu tanpa napsu. Namun, jika tidak dimakan, ini tidak akan berakhir. Jadi dia mulai memakannya perlahan, lebih banyak memainkan sendoknya daripada menggunakannya untuk menyuap makanan.

"Tungguin Papa ya, Ra. Nanti kamu bareng Papa aja," ujar mamanya memecah keheningan.

"Loh? Kok jadi bareng Papa? Nanti ada meeting penting di kantor, Papa nggak boleh telat," sahut papanya.

"Terus aku yang harus telat, gitu?"

"Katanya kemarin kamu yang anter?"

"Siapa bilang begitu?"

Cukup. Lyra meletakkan sendoknya begitu saja. Dia bangkit berdiri, kemudian berjalan ke luar.

"Loh, Ra! Tungguin papamu ini!"

"Kamu yang anter aja, kenapa sih?"

Lyra menarik napas kesal. Ini tidak akan ada ujungnya. "Lyra berangkat sendiri," serunya. Dengan cepat, dia menuruni undakan beranda rumahnya, menghindar kalau-kalau mereka berubah pikiran.

Setelah sudah agak jauh dari kompleks perumahannya, dia berjalan lebih santai. Hawanya dingin. Jalanan agak becek. Semalam pasti hujan. Dia berhati-hati.

"Dingin, Ra. Lo nggak pengen pulang, gitu? Kali aja Mama lo bikin teh, terus mau ngajak lo sama papa lo minum teh bareng, gitu ... biar nggak dingin."

Candaan sadis itu terputar kembali di kepala Lyra. Mereka dulu biasa menggunakan masalah masing-masing sebagai bahan gurauan untuk mengalihkan pikiran. Dia tersenyum tipis, meski perasaannya makin hampa. Senyumnya kembali memudar seiring dengan munculnya getaran halus di tangannya.

Jangan sekarang. Dia mengalihkan fokusnya pada jalanan.

Di tikungan, dia berbelok, mengambil jalur yang lebih cepat untuk ke sekolah, meskipun hanya berupa jalan setapak.

Namun, jalan setapak itu mengagumkan. Di sekelilingnya banyak ditumbuhi pohon, memberi kesan alami. Saat masuk lebih dalam, pepohonan akan semakin rapat meskipun tanpa semak. Hampir seperti hutan.

Lebih jauh lagi di dalamnya, terbentang danau yang cukup luas. Cahaya matahari memantul indah di permukaannya. Lyra berhenti di sana, memperhatikan bagaimana gelombang air itu membentuk bias cahaya. Gadis itu tergoda untuk duduk di sana dan kembali merenung. Namun, tentu saja ditolaknya. Dia harus sekolah.

Danau itu .... Tempat itu selalu mengingatkannya akan sesuatu. Seseorang. Berbagai hal.

Dia terus berjalan, berusaha tidak melihat ke danau itu lagi. Lyra akan kembali ke sana, duduk dan membaca buku atau mendengarkan musik. Besok. Kemarin dia sudah ke mari, dan seharusnya memang dia kembali besok.

***

Gila. Kantin nggak bisa sepi ya?

Lyra menunduk, posisi tubuhnya menyamping, apa pun, asalkan dia bisa keluar dari tempat ini secepat mungkin. Tubuhnya cukup mungil, tapi tetap saja. Menyelipkan diri di antara kerumunan orang yang terburu-buru dan kelaparan bukanlah hal yang mudah.

Inilah yang membuatnya tidak menyukai kantin. Terlalu ramai. Dia mengusahkan agar dia hanya pergi ke kantin saat terpaksa saja.

Dan ini adalah salah satu dari situasi terpaksa itu.

Dia lapar. Jadi, dia pergi ke kantin sedetik setelah bel istirahat berbunyi. Dia ingin menghindari antrean dan keramaian.

Dia berhasil terhindar dari antrean, tapi tidak akan pernah bisa terhindar dari keramaian–karena kantin adalah kata lain dari keramaian.

Melewati toilet putri, dia membawa mangkuk batagornya ke depan ruangan terdekat yang tentunya cukup sepi. Ruang Musik. Ruangan yang di belakangnya adalah gudang.

Dia duduk di bangku yang ada di depan ruangan itu. Menghela napas, dia meletakkan mangkuk batagor yang dia bawa dengan penuh perjuangan di sampingnya. Dan dia mulai makan dalam hening.

Aneh juga. Ruang Musik ini nggak jauh dari kantin, tapi kenapa bisa sepi banget ya?

Oh iya, gudang angker.

Lyra terkekeh dalam hati. Bagaimana orang bisa percaya dengan bualan sinting semacam itu?

Namun, sekitar sepuluh menit kemudian, keyakinannya tentang gudang itu sedikit goyah kala mendengar suara teredam. Dia berhenti makan, mendengarkan dengan seksama. Mangkuk batagornya dia letakkan di samping.

Memang ada suara ... tapi bukan suara orang. Suara instrumen, mungkin. Gitar. Benaknya kembali memutar memori itu, Satria dan gitarnya ... bernyanyi, bercanda dan tertawa riang. Satria, datang ke dekat danau itu, mengajarinya bermain gitar, menunjukkan kunci-kuncinya.

"Kunci C buat nada do, D buat re, E buat mi—"

Lyra mengusir kembali bayangan itu sebelum datang makin banyak sampai membuatnya gemetar dan memaksanya mencari air. Hal terakhir yang dia inginkan adalah masuk ke kamar mandi perempuan yang cukup ramai pada jam istirahat.

Kembali pada apa yang dia pikirkan sebelumnya. Ini ruang musik. Wajar saja kalau ada yang masuk ke dalam dan memainkan salah satu instrumen di sana. Dan Lyra hanya ingin memastikan.

Dia berjalan pelan ke depan pintu yang tidak sempurna menutup, mengintip sedikit. Lyra menyadari bahwa dari sini suara itu terdengar lebih jelas. Ya, iyalah. Ruang Musik pasti ada peredam suaranya.

Di dalam sana, duduk di salah satu kursi, seorang pemuda sedang memegang gitar. Rambutnya yang berantakan jatuh menutupi sebagian dahinya. Jemarinya bergerak lincah memetik senar gitar, memainkan melodi yang cukup cepat.

Sesekali, pemuda itu tersenyum, seperti mengingat sesuatu. Namun, beberapa detik kemudian, tempo musik itu menjadi semakin pelan, melodinya terdengar sama sekali berbeda dengan yang barusan dimainkannya.

Lyra terhanyut dalam musik mellow itu. Musik yang menghidupkan kembali berbagai perasaan yang dia tahan selama ini. Terdengar begitu kuat dan penuh emosi, tapi tetap terkontrol. Dia mengenali lagu itu, tapi tidak bisa mengingat judulnya dengan tepat.

Musik berhenti. Lyra mengerjap, bertanya-tanya apa yang membuat si pemuda berhenti memainkan gitar itu.

Matanya mulai terfokus, menatap pemuda itu melangkah menghampirinya. Gitarnya sudah hilang entah ke mana, Lyra tidak memerhatikan.

Beberapa langkah darinya, pemuda itu berhenti. Dia menatap Lyra, kemudian tersenyum.

"Hai, ngapain lo di sini?" tanya pemuda itu.

Lyra tersentak.

"Hai, ngapain lo di sini?"

Gimana bisa kata-katanya sama persis? Dia menggeleng pada si pemuda, kemudian pergi. Tangannya mulai gemetar.

Dia harus rela berbagi wastafel di kamar mandi dengan gadis lain kali ini. Oh ya, dan batagornya. Sialan. []

________________
Tulunk, yang baik hati geplak aku kalau ada typo atau kegoblokanku yang lain. Ini sinyal nganu banget, gak sempat repisi egen.

Makasih buat yang mau baca anuan abal ini, aku terhura sungguh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro