Fourth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Duduk di kantin, Alfa memerhatikan sekelilingnya dengan serius. Dia mencari sosok Cindy, ingin tahu bagaimana sikapnya saat berada di tempat ini.

Nah, itu tuh. Sumpah, makin keliatan kayak cabe dia di situ.

Cindy beserta dua orang temannya menempati meja di tengah kantin ini. Dia duduk di antara dua temannya di kursi panjang, sementara kursi satu lagi di seberangnya dibiarkan kosong. Mereka duduk menyilangkan kaki, makan sambil terkikik-kikik, terlihat menjijikkan di mata Alfa.

Nggak ada motor, boncengan tiganya di kursi kantin. Bisa aja ya.

Alfa tak habis pikir bagaimana Cindy bisa berubah sebanyak itu dalam waktus setahun. Dia bingung harus melakukan apa untuk mencegah Cindy bertambah parah kelakuannya.

"Nih, Fa, sotonya. Buat gua ya, kembalian gocengnya." Ferdi duduk di samping Alfa.

Alfa hanya menggeleng pelan, hampir tak kentara. Matanya masih menatapi Cindy dengan tajam, seolah mengode Cindy agar pindah dari sana atau matanya akan mengeluarkan laser.

"Wah, nikung lu, Fa. Udah bilang 'kan gua, kalo gua suka dia!"

Alfa bergeming. Dia baru akan menyantap sotonya ketika sepasang tangan Ferdi mencengkeram pundaknya.

"Udah bilang 'kan lu, kalo lu mau bantu gua tentang dia." Ferdi mengguncang-guncang bahu Alfa. "Busuk janji lu, Fa. Berhenti gua jadi temen lu." Ferdi melepaskan Alfa yang hanya diam tak bergeming, kemudian mulai memakan sotonya.

"Lo drama amat, sih, Fer?" Yang diajak bicara hanya pura-pura bloon—menyantap makanannya sambil melirik Cindy. "Balikin goceng."

Barulah Ferdi menoleh. Dia nyengir kuda. "Peace, bro."

Alfa hanya bisa menghela napas lelah. Dia menyantap sotonya, sementara pikirannya entah mengapa berkelana kembali pada gadis itu.

Cewek yang suka duduk di deket danau.

Cewek yang kemaren ngintip di depan pintu Ruang Musik.

Sudah dua kebetulan. Apa masih bisa dibilang kebetulan?

Jangan-jangan, dia yang waktu itu nabrak gue? Badannya sama-sama kecil ....

Fix, Alfa berhenti percaya kepada yang namanya kebetulan.

***

Alfa melewati danau itu lagi, benar-benar berniat untuk menghampiri si gadis.

Namun, ketika dia sampai di belakang pohon tempat si gadis duduk, dia masih diam membeku, tidak bisa langsung menghampirinya.

Gadis itu, seperti biasa, duduk bersandar pada pangkal batang pohon, dengan earphone terpasang dan buku pelajaran terbuka di pangkuannya. Sesekali dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, membuat Alfa menahan napas melihat sekilas wajahnya.

Abaikan bagian terakhir. Alfa hanya harus menghapirinya sekarang.

Jadi sebelum berubah pikiran, dia berjalan mendekati gadis itu, setengah menyesal melakukannya.

Di samping si gadis, Alfa membungkuk, mencoba menarik perhatian gadis itu dan melihat apa yang sedang dibacanya. Buku pelajaran ... Sejarah.

Alfa melirik nametag gadis itu. Lyra Slavia, bagus juga namanya. Lyra ... mengingatkannya akan sebuah alat musik bersenar yang berasal dari kebudayaan Yunani. Alat musik yang—seperti namanya—terlihat cantik. Hampir terlalu cantik untuk sebuah alat musik.

Lyra ... cantik namanya, kayak yang punya.

Alfa bisa melihat matanya dengan lebih jelas lagi. Dia bahkan bisa menangkap detail berupa titik-titik hitam di irisnya. Bibir tipisnya datar tanpa senyum. Rambutnya yang ikal tanpa poni tergerai di punggungnya.

Cantik ....

Namun, sepertinya cantik bukanlah kata yang tepat. Indah .... Elok .... Iya, lebih cocok buat dia. Cantik itu buat tipe cabe kayak Cindy, tapi cewek ini ... beda.

"Ngapain lo?"

Suara gadis itu membuat Alfa tersentak. Dan dia sadar, bahwa dia sudah membungkuk lebih dekat dari yang seharusnya. Si gadis sampai mencondongkan tubuh ke belakang demi menghindari tubuh Alfa.  Bayangannya menutupi sebagian buku gadis itu, membuat si gadis menyadari keberadaannya.

"Kok bengong?"

Sekali lagi, gadis itu—atau harus gue panggil Lyra sekarang?—mengagetkannya. Dengan agak kikuk, dia menggeleng pelan. Cengiran menghiasi wajahnya. "Nggak, gue cuma kebetulan lewat aja."

Gadis itu—Lyra, ya Tuhan—menatapnya dengan tajam. Sedetik. Dua detik. Tiga ... Alfa tidak tahan.

"Gitu amat ngelihatin gue, Neng. Suka ya?" Cengiran Alfa makin lebar, yang lebih banyak dimaksudkan untuk menutupi rasa canggungnya daripada untuk menggoda Lyra.

"Minggir," kata Lyra sama tajamnya dengan tatapan matanya.

Dan Alfa kembali sadar, bahwa dirinya masih membungkuk terlalu dekat dengan si gadis—whatever, kayaknya gue emang harus kenalan dulu secara resmi. Buru-buru dia menjauhkan tubuhnya dari si gadis, yang langsung menormalkan posisi duduknya.

Alfa mengambil posisi di samping gadis itu, duduk dan menghadap padanya. Si gadis kembali menatap bukunya, membalik halamannya, sama sekali mengabaikan keberadaan Alfa di sampingnya.

Eh buset, diem amat dia. Nggak mau nyapa gue apa gimana gitu?

Lagi, gadis itu membalik halaman bukunya. Matanya tidak beralih. Ia mengabaikan Alfa yang sedari tadi menatapnya, menginginkannya memulai pembicaraan.

Dasar emang. Lo yang nyamperin, kenapa juga lo mau dia yang mulai, Alfa peak?

Alfa mengutuk dirinya dalam hati. Otaknya kosong mendadak. Dan dia memulai dengan sesuatu yang sangat payah, yang mungkin bisa membuat gadis mana pun menyingkir darinya.

"Gue sering lihat lo duduk di sini. Ngapain sih lo? Nunggu seseorang? Atau sesuatu?"

Payah. Dia tahu itu hanya kebiasaan si gadis, tapi dia tidak punya bahan pembicaraan yang lain.

Gadis itu hanya diam. Alfa mati kutu. Dia mulai agak kesal. "Gue didiemin mulu. Ngomong sih, Neng. Bisa, 'kan?"

Masih diam. Alfa tidak menyerah, meskipun apa yang dia katakan kali ini pasti lebih parah dari yang sebelumnya.

"Eh, mau dengerin cerita gue, nggak? Kayaknya lo bakal seneng deh, soalnya—"

"Gue nggak kenal lo," tukas si gadis, yang membuat Alfa menganga.

Manusia kayak begitu masih ada ya? Ketus amat.

Alfa menghela napas, tapi masih tidak menyerah. Dia tidak mengerti kenapa, tapi kebutuhan untuk mengenal gadis ini terasa begitu mendesak, seolah ada sesuatu yang akan terjadi—atau tidak terjadi—jika dia tidak segera mengenal si gadis–Lyra.

Oke. Sekarang dia akan menyindir si gadis. Ini adalah cara terakhirnya. Jika masih saja gagal, dia akan menyerah.

"Gue mau cerita. Lo harus dengerin." tanya Alfa sambil tersenyum jahil pada gadis itu.

Si gadis diam, tapi Alfa memang tidak butuh jawaban.

"Lo tau nggak, beberapa hari terakhir tuh gue sering ketemu sama yang namanya kebetulan."

Masih diam, gadis itu membalik bukunya, sama sekali tak mengacuhkan Alfa. Tapi dia bakal dengerin habis ini. Alfa terkekeh dalam hati.

"Pertama, gue ditabrak dari belakang."

Gadis itu mengerjap meski ekspresinya ekspresinya tidak berubah dan tetap membatu. Dia tau. Alfa menahan senyum.

"Gara-gara dia, gue harus antre berjam-jam demi sotonya Mak Nyak. Dan gue nggak dapet porsi pertamanya yang—"

"Gue nggak bilang kalau gue mau dengerin lo," potong si gadis. Alfa masih tetap tidak berhenti.

"Parahnya," dia menekan suaranya pada kata itu, "itu cewek bahkan nggak noleh buat minta maaf karena nabrak gue."

Gadis itu membalik lagi halaman bukunya, seolah tak peduli. Namun, Alfa tahu dia mendengarkan.

"Kedua. Gue lagi curhat sama gitar di Ruang Musik, tapi ada yang ganggu. Cewek itu ngelihatin gue pada waktu pribadi gue. Pas gue samperin dan tanyain, dia cuma nggeleng aja, nggak bilang apa-apa."

Raut wajah si gadis sedikit berubah. Rahangnya terkatup terlalu erat. Tegang. Dia mengerti maksud perkataan Alfa.

"Ketiga," Alfa melanjutkan. "Gue lihat cewek duduk di bawah pohon di deket danau ini. Cewek yang kebetulan postur badannya sama kayak dua cewek yang gue sebutin sebelumnya."

Gadis itu menutup bukunya, memasukkannya ke dalam tas. Dia melepas earphone dari telinganya–yang sepertinya tidak berguna karena Alfa tahu dengan jelas bahwa si gadis mendengarkan semua kata-katanya.

"Itu emang gue. Mau lo apa?" Gadis itu menatap Alfa, yang harus menahan napas sejenak karena mata si gadis begitu menusuk–dan indah.

Gila. Cakep-cakep jutek. Bodo ah.

Alfa melirikkan matanya ke atas, pura-pura berpikir. "Hm .... Gimana kalau lo traktir gue makan di kantin? Sebagai ganti karena waktu itu lo hangusin jatah soto porsi pertamanya Mak Nyak."

Gadis itu menatap Alfa selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan. Memakai tas punggungnya, gadis itu berdiri. Dia berbalik badan dan meninggalkan Alfa. Sendirian.

"Eh, mau ke mana?" teriak Alfa pada si gadis. Dia ingin mengejar ... tapi ya gila aja. Gue nggak segitunya kali. Meski gue benci banget dikacangin.

Tersenyum kecil, Alfa berdecak. Dia tak habis pikir, bagaimana ada manusia seperti gadis itu. Dia terkekeh pelan, teringat bagaimana raut wajah gadis itu yang sepertinya selalu membatu bisa berubah karena sindirannya.

Sudut matanya menangkap sesuatu yang tidak semestinya berada di sana. Warnanya sangat kontras dengan tanah cokelat di bawahnya.

Alfa nyengir lebar. Kebetulan yang keempat—takdir—datang kepadanya dalam bentuk persegi panjang tipis. []

___________________

Anuan. Hiks. Si anu lagi nganu. Gabisa nganu. Hiks.

Krisarnya tolong, kritik saran ataupun kritik kasar. Tolong. Aku butuh anuan.

Hiks. Nangid.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro