Fifth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lyra berjalan cepat melewati halaman sekolah. Kantin. Dia benar-benar harus ke sana.

Semoga dia udah dateng. Semoga udah dateng. Kalau belum, matilah gue di tempat sialan itu.

Dia baru menyadari bahwa handphonenya tertinggal di dekat danau beberapa jam setelah dia sampai di rumah.

Saat dia datang, orang tuanya masih belum pulang. Dia sungguh bersyukur karena itu. Dia mengganti seragamnya dengan kaos dan celana selutut, kemudian melanjutkan membaca buku sejarahnya.

Dia tenggelam dalam narasi tentang bagaimana posisi Indonesia ketika terjajah oleh Jepang dulu. Organisasi-organisasi itu, baik militer maupun tidak, mulai dibentuk untuk mengusir penjajah.

Korden jendela kamarnya bergerak-gerak tertiup angin. Sebagian angin itu masuk, membelai lehernya, menyibakkan rambutnya ke samping. Dia menyingkirkan rambut yang menutupi matanya, lagi dan lagi.

Dia membalik halaman, kembali menemukan narasi panjang tapa ilustrasi. Menguap, gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Angin membelai wajahnya, memberikan kenyamanan. Terus dan terus, Lyra terhanyut. Matanya membarat. Kepalanya jatuh ke meja, bertumpu pada lipatan tangannya.

Lyra tertidur ... tapi tidak lama.

Rasanya baru semenit, dia mendengar suara yang sngat keras. Dia tersentak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya sedikit memburu.

"Udah, kamu diem aja!"

"Gimana pun juga, kamu masih punya anak istri! Ini kewajiban kamu! Jangan seenaknya jalan sama perempuan lain!"

"Ngomong aja begitu, dikiranya saya nggak tau kalau kamu pernah pergi sama laki-laki lain?!"

Lyra membuka mata, mencari-cari handphonenya. Dia merogoh ke dalam tasnya, mengeluarkan semua bukunya, mengosongkan isinya ... tidak ada. Handphonenya tidak ada.

Sudah sekitar setengah jam dia mencari-cari di kamarnya, tapi benda itu masih belum ketemu. Napas Lyra memburu, muak dengan suara-suara dari luar kamarnya yang terdengar makin menjadi.

Lyra sedang mencari di balik bantak ketika teriakan papanya terdengar. "BUAT APA KITA PERTAHANKAN LAGI?! DARI AWAL MEMANG NGGAK PERNAH ADA PERASAAN ANTARA KITA!"

Teriakan itu membuat Lyra melempar bantal yang sedang dia pegang dengan frustasi. Dia bahkan tidak peduli apakah bantal itu akan memecahkan lampu atau gelas atau bingkai foto di atas nakasnya.

Di mana? Gue nggak bisa dengerin ini terus ....

Pergi ... pergi.

Menggigit bibir, Lyra mengambil jaketnya, memakainya dan memasukkan tangannya ke dalam saku. Dia keluar rumah dalam diam. Papa memanggil-manggil namanya, serta menyanyakan sesuatu tentang ke mana dia hendak pergi. Namun, gadis itu tidak menggubris. Dia tidak bisa.

Dia hanya berharap handphonenya masih ada di sana ...

... yang tidak terkabul.

Hari sudah gelap, ternyata dia tidur cukup lama tadi. Dan tempat itu sepi, kosong. Di bawah pohon hanya ada tanah yang ditaburi dedaunan gugur berwarna kecokelatan. Air jernih di danau beriak pelan, memantulkan bentuk bulan sabit di bagian tengahnya.

Lyra mengerjap, mencoba menormalkan kembali matanya yang terasa panas. Bibirnya bergetar, begitu pula tangannya. Dia tidak lagi punya sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Tidak ada handphone, juga tidak ada Satria.

Dia berjalan mendekati danau. Lyra membasuh wajahnya dengan air, berharap hal itu bisa membuat perasaannya membaik. Namun, kali ini tidak. Gadis itu masih merasa sesak setelah berkali-kali mengusap wajahnya dengan air. Sesuatu di mataya mendesak ingin keluar.

Menyerah, Lyra duduk di bawah pohon itu, memeluk lutut, menenggelamkan kepalanya di dalam lipatan tangannya.

Dalam diam, Lyra menangis.

***

"Lo bawa handphone gue?"

Yang ditanya hanya diam, menuangkan kecap dan sambal ke dalam mangkuk sotonya.

Kesal, Lyra mengulanginya lagi. "Lo ... siapapun lo, ba-"

Pemuda itu mengambil tangan Lyra, menggenggamnya seolah bersalaman. "Alfa Alendra, sebelas IPS dua." Dia tersenyum, membuat Lyra terpaku selama seperdekian detik.

Pemuda itu-Alfa-melepaskan tangannya. "Nama lo siapa? Jadi traktir gue?"

Lyra menatap Alfa tajam, mengancamnya. "Lo bawa handphone gue. Balikin sekarang."

Mengaduk sotonya, Alfa mengernyit-yang jelas hanyalah bagian dari akting pura-pura bodohnya. "Siapa bilang gue bawa handphone lo? Barang itu ketinggalan di sana, siapapun bisa ngambil."

Riuh suasana kantin ternyata tidak terasa ketika Lyra sudah duduk di suatu tempat, sesuatu yang baru Lyra tahu. Walaupun ramai, Lyra masih bisa mendengar perkataan pemuda di hadapannya dengan jelas.

Alfa menyuapkan sesendok soto ke dalam mulutnya, kemudian melanjutkan, "Lagian lo sih, teledor amat. Masa handphone ditinggal gitu aja. Kelihatan banget tau, handphone putih lo itu kalo ditaroh di tanah. Siapa juga yang nggak mau ambil?"

"Balikin, Alfa," kata Lyra tajam. Pemuda ini terlalu banyak bicara.

"Lah? 'Kan gue udah-"

"Dari mana lo tau tentang handphone gue kalau bukan lo yang ambil?"

Alfa terdiam. Sendok yang dia pegang melayang beberapa senti dari mulutnya yang terbuka. Kemudian, dia menyeringai. Dia kembali meletakkan sendoknya di dalam mangkuk.

"Iya, gue yang bawa." Alfa tertawa garing, menggaruk bagian belakang kepalanya. "Habisnya, kalo nggak gue ambil bisa jadi malah ilang. 'Kan udah gue bilang kalo-"

"Balikin." Lyra sedang tidak ingin bcara banyak. Dia tidak pernah ingin bicara banyak.

Cengiran Alfa makin lebar. Dia menggeser mangkuk soto lain di sampingnya-yang baru Lyra sadari keberadaannya-ke hadapan Lyra.

Pemuda itu tersenyum, sama sekali berbeda dengan cengirannya sebelumnya. "Makan dulu. Terus, gue balikin."

"Nggak. Balikin sekarang."

"Traktir gue dulu. Bayarin ini soto dua mangkok."

"Bukan gue yang mau makan."

"Tapi lo mau traktir gue."

"Gue-"

"Makan, terus gue balikin handphone lo."

Lyra terdiam sebentar, melirik makanan di hadapannya. Dia lapar. Pagi tadi dia kabur lagi. Orang tuanya bahkan tidak menyadari bahwa dia sudah pergi. Mereka masih sibuk berdebat.

Mengalihkan pikiran, Lyra menatap Alfa. Pemuda itu tersenyum lagi padanya-senyum yang begitu memesona. Oke, abaikan saja empat kata terakhir.

"Makan. Gue tau lo mau. Yaelah, gengsi buang dulu sih. Ngikutin gengsi bisa mati kelaparan lo." Pemuda itu tertawa.

Gue makan ... nggak apa-apa 'kan ya?

Alfa kembali memakan sotonya, terlihat begitu khusyuk.

Bodo. Gue laper.

Lyra mulai memakan sotonya. Rasa gurih rempah-rempah dan beberapa rasa lain yang tidak bisa dia jabarkan memenuhi mulutnya. Enak. Dia lebih antusias memakan sotonya.

"Parah lu, Fa. Ditinggalin gua." Seorang pemuda lain duduk di samping Alfa. Wajahnya agak tirus, rambutnya jatuh menutupi sebagian dahinya.

Alfa hanya meliriknya sekilas, kemudian melanjutkan makannya. Sambil mengunyah, dia melirik Lyra. Segera Lyra menatap tajam padanya.

"Wah, sapa nih, Fa?" pemuda itu menaikkan alisnya. "Gebetan?"

Masih dengan mulut terisi, Alfa menjawab, "Diem lo, kutil onta."

"Yaelah. Bilang ajalah, Fa. Jadi, kenal dari mana? Kayaknya ukuran badannya bagus, tuh."
Pemuda yang baru datang itu menaik-turunkan alisnya. Lyra geli sendiri melihat itu.

Si pemuda, dengan wajah seperti itu, bisa jadi adalah idaman semua gadis di SMA Pelita, terkecuali-tentu saja-Lyra. Satu-satunya yang Lyra inginkan sekarang adalah pergi dari hadapan pemuda itu.

Lyra melihat Alfa menjitak kepala si pemuda dengan santainya, tapi juga keras. "Mulut lo tuh dijaga, ada cewek ini."

Pemuda itu menoleh kepada Lyra, tersenyum maut-yang malah membuat Lyra agak mual. Dia jelas melakukan itu dengan sengaja, ingin menarik perhatian Lyra, bukan karena ingin benar-benar tersenyum. Itulah yang membuat Lyra agak mual.

Dikiranya dia secakep itu apa? Muka tirus kayak habis sedot lemak aja bangga. Jijik.

Pemuda itu menyodorkan tangannya. Lyra tidak merespon. Kemudian, tangannya yang lain meraih tangan Lyra, memaksanya bersalaman.

"Ferdi nama gua. Tau gua, nama lu Lyra, 'kan?"

Lyra tidak merespon. Tangannya risih karena genggaman tangan besar Ferdi. Pemuda itu melirik ke dadanya, dan Lyra mulai berpikir buruk.

Sebelum dia menyatakan pemikirannya, Ferdi terlebih dahulu bicara. "Nah, bener 'kan. Lyra Slavia. Lyra, tau nggak lu, kalo lu diincer banyak cowok di Pelita?"

Lyra tak bergeming, menatap Ferdi dengan tatapan yang-semoga-bisa menunjukkan kalau dia risih. Dia tidak suka bicara. Dia harap Ferdi mengerti.

"Eh, buset. Bener kata orang. Diem banget lu. Dingin. Takut beku gua."

Alfa menyelamatkannya. Dia menyentakkan tangan Ferdi, sehingga genggaman tangan Ferdi terhadap Lyra terlepas.

"Apaan sih lo, dateng-dateng begitu?" kata Alfa sambil mengernyit. Sotonya pasti sudah habis.

Ferdi terkekeh. "Kenapa lu? Cembokar?"

"Diem lo! Nggak tau orang lagi-"

"Al, balikin." Lyra sudah tidak bisa mendengar percakapan mereka lebih jauh lagi.

"Lo bawa 'kan, Alfa?"

Alfa nyengir. Tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya. "Eh ... sebenernya handphone lo ketinggalan di rumah."

Mulut Lyra menganga dengan sukses. Apa-apaan ini cowok?

"Kenapa baru bilang?" Dahi Lyra mengernyit dengan ekspresi tidak percaya. Suaranya keluar sedikit lebih keras dari yang dia maksudkan.

"Eh ... Itu ...."

Lyra tidak percaya ini. Bagaimana bisa ada manusia seplin-plan Alfa? Ya ampun.

Kalau nggak bawa bilang dari tadi, kek. 'Kan gue nggak harus betah-betahin duduk di sini.

Mendengkus, Lyra bangkit berdiri. Dia berbalik, mulai berjalan menembus keramaian yang tidak dia rasakan sepanjang dia duduk tadi.

"Eh, Ra. Tunggu!" seru Alfa.

Bodo amat. Ambil aja handphone gue kalau lo mau. Eh, jangan deh.

Dengan napas memburu, Lyra berhenti. Dia harus benar-benar menahan diri karena kedua sisi bahunya tersenggol oleh murid-murid yang lewat.

Sebuah tangan menyentuh bahunya. Lyra berbalik, mendapati Alfa sedang mamandanginya. Peduli setan. Dia ingin handphonenya kembali.

"Tolong, Al. Balikin."

Menggigit bibir, Alfa kembali menggaruk tengkuknya. "Besok deh, ya. Gue balikin ke lo. Di deket danau. Oke?"

Untuk terakhir kalinya hari itu, Lyra menatap Alfa. Dia mengangguk samar, kemudian berbalik dan berjalan kembali ke kelasnya.

Dalam hati, dia berdo'a agar Alfa benar-benar bisa dipercaya. []

_______________

Monta krisarnya dong, kalau ada yang baca. Kasih tau juga kalau ada plot hole, kalau ada yang baca.

Dadah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro