Where is Him?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fa, udah jam segini, lima belas menit lagi mulai .... Gimana, nih?"

Menggigit bibir, Cindy jalan mondar-mandir di belakang panggung. Wajahnya kelihatan khawatir banget, takut.

"Dia pasti dateng, Cin," gue coba tenangin dia.

"Ya, tapi sekarang udah mau mulai, Fa! Dia ke mana?" Cindy menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

Gue menghela napas. Kadang, Satria seolah punya dunia sendiri. Dunia yang berbeda dengan dunianya waktu dia lagi sama gue atau yang lain yang gue kenal.

Kadang, gue lihat dia menatap kosong ke depan, tapi matanya memancarkan berbagai emosi yang kuat-emosi yang nggak pernah gue mengerti. Dia bergaul sama gue, tapi nggak pernah sekali pun menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Maksud gue, kehidupan pribadi semacam keluarga, tempat tinggal ... sesuatu semacam itu.

Dia simpan rapat-rapat bagian itu dari gue, dari Cindy, dari kami semua. Namun, itu tetap ada, di dalam dunia yang dia ciptakan buat dirinya sendiri. Dia sama sekali nggak berniat membagi itu ke orang lain. Bahkan Cindy.

Dan sekarang, dia pergi entah ke mana, ninggalin pacarnya yang udah nunggu dia beberapa jam. Ya ampun, mana tega gue lihat cewek manis bin cakep semacam Cindy jadi kayak begitu?

Dasar sialan, Sat. Pacar lo udah dandan cakep-cakep begini masih aja lo tinggalin. Andai dia di sini sekarang, pasti sudah gue tampol dia.

Gue coba telpon dia lagi. Tapi sama aja, nggak diangkat. Gue spam WA-nya, LINE, semua sosmednya, tapi masih nggak ada yang direspon.

Gila. Sejak kapan, sih, dia bisa taruh handphonenya gitu aja? Andai nggak ada Cindy, mungkin dia udah pacaran beneran sama handphone saking lengketnya. Satria sama handphone nggak pernah bisa dipisah.

Seseorang memegang bahu gue. Gue menoleh pada waiter yang sedang berdiri di samping gue.

"Sebentar lagi naik panggung, ya," kata waiter berseragam abu-abu itu.

Gue agak ragu. "Masih kurang satu yang belum datang. Kita mau nunggu dulu."

Cindy menoleh ke gue dan lawan bicara gue, nyimak.

"Wah, tinggal dulu aja. Yang sudah ada naik duluan, yang belum datang nyusul nanti," waiter itu tersenyum canggung. Kemudian, dengan sedikit mengangguk, dia ninggalin kami.

Cindy menatap gue lagi, mulutnya agak dikerucutin, seolah pengen ngomong, "Tuh, 'kan."

Gue pasti sudah memutar bola mata kalau ngggak melihat matanya yang berkaca-kaca. Ya ampun. Dasar Satria.

Menghela napas, gue deketin dia. Gue pegang lengannya, sambil bilang, "Kita naik aja dulu. Satria pasti dateng nanti."

Cindy menggigit bibirnya lagi. Duh, gue sampai takut kalau lipsticknya bakal luntur karena itu.

"Udah lama banget, Fa .... Dia ke mana, sih?" tanya Cindy, yang jelas nggak bisa gue jawab. Kalau gue tahu, gue udah samperin dari tadi, Neng.

Gue menggaruk bagian belakang kepala gue. Oke, jangan buat Cindy semakin takut.

"Udahlah. Percaya sama gue," kata gue sambil tersenyum. "Kita naik dulu. Satria mungkin nggak dateng sekarang, tapi 'kan nggak apa-apa. Lo bisa ambil bayarannya semua." Gue nyengir.

Cindy meninju lengan gue main-main. Dia jelas nggak membaik sama sekali karena ocehan gue.

"Aku nggak mau naik sendirian, Fa." Cindy menatap panggung dengan muram.

Kok kesannya dia melankolis banget ya, malam ini? Drama banget gitu.

Oke. Terserahlah. Apa pun, asal dia nggak begini lagi.

"Gue ikut naik, Cin. Lo nyanyi, gue yang gitarin." Gue tersenyum lebar.

Wajah Cindy menjadi sedikit lebih cerah. "Beneran, Fa?" Dia tersenyum kecil. Manis sekali.

"Iya, tapi gue nggak nyanyi. Kalo gue nyanyi, entar gelas-gelas pada pecah lagi."

Cindy tertawa kecil, lalu menyeret tangan gue ke atas panggung. Gue pasrah aja. Dia udah baikan. Itu yang penting.

Di atas panggung, Cindy terlihat gugup. Aduh. Ngapain pake gugup segala? Biasanya juga nggak ada malunya.

Oh, iya. Satria nggak ada.

Cindy menatap gue, dan gue tahu maksudnya. Satria yang biasanya memberi kata sambutan receh semacam, "Halo, selamat malam, selamat menikmati makanan Anda. Hati-hati juga karena siapa tahu di dalam kopi Anda ada sianidanya. Mohon teliti sebelum membeli. Oh, dan tolong lepas dulu telinganya, karena kami diberi ultimatum untuk bernyanyi di sini. Baik. Risiko ditanggung pendengar."

Yah, Satria memang gila ... garingnya.

Gue mengambil mike, bingung harus ngomong apa. Namun, Cindy pasti akan lebih bingung.

Gue nggak bisa ngomong selancar Satria di depan umum begini, jadi gue kasih kata sambutan seadanya aja. "Oke. Selamat malam, selamat menikmati kudapannya. Hari ini Si Pemberi Sambutan Receh berhalangan hadir, sehingga hanya bisa digantikan oleh saya.

"Jadi sekali lagi, selamat malam dan selamat menikmati."

Nggak ada pengunjung yang merespon. Gue yakin, nggak ada satu pun dari mereka yang beneran dengerin gue ngomong tadi. Namun, mereka pasti bakal noleh ke sini waktu Cindy nyanyi. Suaranya bisa jadi sejajar sama suara malaikat.

Ya bukan malaikat maut atau peniup terompet kiamat juga.

Gue menatap Cindy, mengisyaratkan bahwa gue akan memulai. Gue ambil gitar dari belakang panggung, kemudian memetiknya.

Lagu ini ... gue harap lagu ini bisa menyalurkan sedikit rasa frustasi Cindy. Lirik lagu ini cukup dalam, mungkin sedikit menggambarkan perasaan Cindy walaupun terkesan lebay.

Cindy terlihat agak terkejut waktu menyadari pilihan lagu gue. Namun, dia nggak punya waktu banyak untuk terkejut karena beberapa detik kemudian, dia sudah harus memulai.

Dalam benakku,
lama tertanam,
sejuta bayangan dirimu.

Redup terasa,
cahaya hati,
mengingat apa yang t'lah kau berikan ....

Lihat? Berlebihan banget, tapi kurang lebih memang seperti itulah yang dirasakan Cindy.

Cindy terus bernyanyi, gue masih memainkan instrumen untuknya. Emosi Cindy begitu terasa; kesedihan, rasa putus asanya ... sesuatu yang nggak gue mengerti. Sekitar dua hari yang lalu, dia masih bisa melihat Satria secara langsung. Hari selanjutnya, Satria masih bisa dihubungi. Kenapa juga dia sudah sefrustasi ini?

Apa itu cinta?

Gila. Mana mungkin ada bocah kelas sepuluh semester akhir bisa jatuh cinta?

Coba 'tuk melawan,
getir yang terus kukecap,
meresap ke dalam relung,
sukmaku.

Yang ini sedikit gue rasain, sih. Ada perasaan cemas tentang Satria-gue yakin, semua teman-temannya juga begitu. Sikapnya aneh sekali. Namun, gue masih belum separah Cindy.

Coba 'tuk singkirkan,
aroma napas tubuhmu,
mengalir mengisi laju,
darahku.

Fix, ini berlebihan.

Semua tak sama, tak pernah sama
Apa yang kusentuh, apa yang kukecup
Sehangat pelukmu, selembut belaimu
Tak ada satu pun yang mampu menjadi sepertimu.

Cindy memejamkan matanya, terlihat sangat menghayati, terlihat benar-benar merindukan Satria seolah terakhir kali mereka bertemu adalah tahun lalu.

Gue? Gue merasa agak mual. Ini menjijikkan, lagu dengan lirik seperti ini.

Ya, iya, gue yang pilih lagunya. Namun, gue pilihnya karena mau bantu CINDY, bukan karena gue SUKA.

***

"Fa, Satria ke mana? Udah tiga hari nggak kelihatan."

"Ya gue nggak tau, Cin. Lo aja nggak tau, apalagi gue?"

"Emm .... Punya ide nggak, dia ke mana?"

"Nggak sama sekali. Sosmednya nggak ada yang aktif. Bahkan sekarang nomornya nggak bisa ditelpon. Handphonenya mati."

Suara di seberang sana terdengar merintih. "Gimana dong? Masa dibiarin aja?"

Gue terdiam, memikirkan beberapa cara untuk menemukan Satria. FBI, CIA, pintu ke mana saja, lubang hitam, bola mutiara peramal, dukun ... nggak ada yang masuk akal. Gue menggeleng.

"Fa? Kamu masih di sana?"

Gue mengerjap, menyadari kalo Cindy nggak bisa melihat gelengan gue. "Nggak, Cin. Gue nggak tau."

Cindy menghela napas. Dia kembali merintih, pasti bingung harus berkata apa.

Gue ikut menghela napas. Gue nggak tau lagi gimana harus menghibur Cindy. Satria menghilang. Itu beneran, nggak bisa gue sangkal. Akan susah sekali mencari dia, karena gue-kita-nggak tau apa-apa soal kehidupan asli Satria.

"Kita cari sama-sama, Cin. Satria nggak mungkin ngilang gitu aja. Pasti ada alesannya. Dia pasti ada di suatu tempat. Kita bakal temuin dia."

"Beneran? Janji dia bakal ketemu?"

Gue terdiam sedetik, kemudian menjawab, "Iya."

"Makasih, Fa. Aku nggak tau lagi harus ngomong ke siapa selain kamu."

Mendengarnya, gue tersenyum kecil. Senang rasanya dengerin orang ngomong dengan manis begitu.

Diabetes gue lama-lama kalau ngomong terus sama Cindy.

"Sama-sama, Cin. Jangan terlalu dipikirin. Lo istirahat aja."

Cindy terkekeh pelan sebelum gue memutuskan sambungan. Dia nggak akan memutuskan sambungan terlebih dahulu, jadi kalo gue tunggu, sambungan itu nggak akan pernah putus.

Dan sekarang, gue cuma berharap supaya gue bisa penuhin janji gue kepada Cindy. Itu aja. []

______________________
Part ini anuan banget. Tulunk lagi, krisar. Apa pun. Dah. Aku minggat sambil nangid.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro