Twentieth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayo, gue anter lo pulang."

"Gue nggak mau pulang."

Alfa merasa kepalanya akan meledak. Memejamkan mata, dia menghela napas.

Yang baru saja dia dengar adalah hal terakhir yang dia pikirkan. Kemungkinan itu pernah muncul di kepalanya, tentu saja, tapi selalu dia singkirkan. Kemungkinan itu terlalu mengerikan bahkan jika hanya untuk dipikirkan.

Alfa mengusap wajahnya, masih setengah tidak percaya.

Oke. Jadi, Satria meninggal. Kecelakaan. Dan cewek di deket gue ngerasa kalo meninggalnya Satria itu salahnya.

Rasa sesak menekan dada Alfa. Dia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Satria. Masalahnya, keluarganya ... semuanya. Dan pemuda itu menyesal karena tidak mengetahui itu semua, apalagi perginya Satria sedikit banyak disebabkan oleh masalahnya itu.

Mengepalkan tangannya, Alfa memukul tanah beberapa kali. Deru napasnya menjadi satu-satunya tang terdengar di tempat itu sekarang.

Apa dia bahkan nggak cerita ke Cindy, pacarnya sendiri?

Siapa sih Lyra ini sebenernya?

Alfa melirik gadis di sampingnya. Gadis itu sekarang diam setelah sebelumnya terisak keras.

Entahlah, tubuh Alfa spontan merengkuh Lyra kala melihatnya terisak. Dan tanpa diduga, Lyra balas memeluknya, mencengkeram kemejanya dengan erat. Mereka berada dalam posisi itu selama beberapa menit sebelum Lyra sadar dan langsung mendorongnya menjauh.

Setelah Lyra melepaskannya, Alfa malah lebih sulit mengendalikan diri. Perasaannya gelisah tanpa dia tahu sebabnya. Dia ingin marah entah ke siapa. Dan dalam sudut hatinya, dia ingin menangis.

Hari sudah gelap. Tidak ada yang lebih Alfa inginkan selain berbaring di ranjangnya sekarang. Namun, Lyra menolak untuk pulang, dan Alfa sama sekali tidak tega meninggalkannya.

Tidak, setelah dia melihat sisi paling lemah darinya.

Sebuah gagasan muncul di benaknya, dan tanpa berpikir lebih lanjut, pemuda itu mengutarakannya.

"Mau ikut ke rumah gue, Ra?"

Lyra menggeleng. Dengan bibir sedikit bergetar, dia berkata, "Pulang aja duluan. Gue mau di sini."

Alfa sempat mempertimbangkan hal itu sebelum buru-buru menolaknya. "Nggak. Pilihannya lo pulang atau ke rumah gue dulu."

"Gue nggak mau pulang, Al."

Alfa tertegun ketika menyadari alasan Lyra. Orang tuanya mungkin sering ribut, jadi dia tidak ingin pulang cepat-cepat, apalagi dengan kondisi seperti ini.

Ternyata ini yang bikin dia suka ke sini dua hari sekali.

Menghela napas, pemuda itu bangkit. Dia menepuk pelan celananya yang terkena tanah, kemudian mengulurkan tangannya pada Lyra.

"Ikut gue aja. Ini udah malem."

Namun, uluran tangan Alfa tak tersambut. Lyra hanya menatapnya datar sambil menggeleng dan berkata, " Gue udah biasa."

Mendengkus, Alfa menarik tangan Lyra hingga pemiliknya berdiri. "Al. Apaan, sih," gerutunya.

Menggerutu. Lyra bisa melakukan hal itu? Keajaiban dunia.

Suara risih Lyra sedikit menghibur Alfa. Pemuda itu tersenyum tipis. "Mama tadi lagi masak. Sekarang pasti udah mateng." Kemudian, dia teringat pada orang lain yang ada di rumahnya. "Oh, dan ada Cindy juga."

Mendengar itu, mata Lyra melebar. "Nggak. Gue pulang aja." Dia menarik tangannya, tapi tangan Alfa jelas lebih kuat.

"Cindy lagi dalam mode kalem
Nggak apa-apa, lagian juga ada gue."

Lyra mendadak terpaku. Matanya menatap kosong, seolah yang barusan Alfa katakan adalah mantra untuk membekukan tubuhnya.

Tidak, bukan kali ini saja Alfa melihat Lyra seperti itu. Dan sebelum memikirkannya kembali, Alfa bertanya, "Lo kenapa, Ra?"

Lyra mengerjap, tapi tetap tidak menjawab.

"Bukan cuma sekali gue lihat lo kayak begini. Ada apa?"

Setelah terdiam beberapa detik, Lyra menawab, "Gue cuma ... inget Satria."

Alfa menatap gadis itu dalam, menerka-nerka apakah dia akan menjawab atau tidak. Lyra hanya diam, bahkan tanpa menatap Alfa.

Menyerah, Alfa bekata, "Jalan aja, yuk."

Pemuda itu menarik tangan Lyra pelan sampai gadis itu mau berjalan.

***

"Di rumah gue nggak lagi ada setan, Ra."

Yang diajak bicara hanya diam dan menatap. Sejak tadi, Lyra berdiri diam beberapa meter dari pintu rumahnya. Terpaku di antara jajaran tanaman hias yang ada di halaman, gadis itu enggan melangkah maju meski Alfa sudah menarik lengannya beberapa kali.

"Kenapa sih, Ra?"

Lyra tetap diam selama beberapa detik sebelum menjawab, "Gue nggak pernah masuk ke rumah orang." Dia menunduk.

Mau tidak mau, Alfa menjadi penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis yang sedang menyibakkan poninya itu. Apa yang membuatnya menjadi seperti ini? Apa masih ada hubungannya dengan orang tuanya?

Sebelum pertanyaan semacam itu kembali terlontar dari mulutnya, Alfa buru-buru menggeleng.

Tidak. Dia tidak akan bertanya lagi. Dia merasa sudah menekan Lyra cukup jauh tadi, dan dia tidak ingin membuat Lyra merasa lebih tidak nyaman lagi.

Tiba-tiba, pintu rumahnya terbuka, memperlihatkan sesosok perempuan dengan rambut tergelung dan memakai celemek. Bundanya.

"Eh, ini siapa, Fa?" Bunda tersenyum dan menghampiri mereka. "Temen baru kamu?"

Lyra buru-buru mengangkat kepalanya dan membalas senyuman Bunda. Sementara mereka berkenalan dan berjabat tangan, Alfa menatap Lyra beserta senyumnya yang indah. Gadis itu jarang tersenyum, dan ini mungkin adalah kali pertama Alfa melihat bibir Lyra tertarik selebar itu.

"Alfa, kenapa nggak diajak masuk, sih?" kata Bunda, yang membuat Alfa nyengir lebar.

"Lyranya nggak mau, Bun. Takut kayaknya."

Bunda tertawa, kemudian menarik tangan Lyra yang masih terlihat malu-malu. "Ayo, sini. Bantuin Bunda masak. Di dalem ada Cindy juga. Kenal Cindy, 'kan?"

Terbata, Lyra menjawab. "I-iya, Bunda." Dan senyuman itu masih tersunging di wajahnya.

"Yaudah, ayuk sini." Bunda menarim tangan Lyra lagi, dan mereka masuk ke dalam rumah.

Lyra menatap Alfa sekilas, masih dangan senyuman yang sama, dan mungkin, lebih lebar beberapa milimeter. Senyuman itu menular, membuat Alfa bahkan tersenyum lebih lebar lagi.

Selama semenit, pemuda itu masih terpaku dalam posisi yang sama. Kemudian, suara Bunda terdengar lagi dari dalam rumah. "Alfa, Bunda lupa tadi. Cabutin bawang di depan, ya. Bunda mau goreng, tapi di dapur habis."

Tersadar, Alfa terkekeh pelan. "Siap, Bun. Apa sih yang nggak buat Bunda."

"Cabut aja, Alfa. Cepetan."

Masih terkekeh, Alfa berjalan ke bagian samping halaman rumahnya. Jika di halaman depan Bunda menanam bunga dan tanaman hias lainnya, di sana Bunda menanam berbagai macam bahan dapur. Tidak terlalu banyak, tapi jelas cukup untuk keadaan darurat pada saat Bunda lupa belanja.

Setelah mencabut beberapa tanaman bawang yang dirasa sudah cukup tua, dia mengibas-ibaskannya sambil berjalan ke depan, hendak masuk ke rumah.

Dan di ambang pintu, seseorang menyambutnya.

"Gimana, Fa? Dia mau jawab, 'kan?"

Seketika, senyuman tipis yang ditularkan Lyra luntur dari wajahnya. []

MASIH KUTANG BUSET

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro