Twenty First Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi lo siapanya Satria?"

"Temen."

"Nggak mungkin."

"Terserah."

Lyra menghindari tatapan Cindy. Dia hanya fokus pada bawang-bawang yang harus dia iris. Matanya sudah cukup pedih karena bawang itu, dan keberadaan Cindy tidak membuatnya lebih baik.

"Lo tau tentang dia, sementara gue sebagai pacarnya gak tau? Lo gak bisa ngibulin gue lagi, Lyra. Jujur aja."

Lyra menggeser jarinya yang ada pada bawang beberapa mili meter. Dia berusaha mengiris setipis dan serapi mungkin, tapi hasilnya tetap berantakan. Helaian rambutnya yang lebih pendek jatuh di depan matanya. Dengan tangannya yang tidak memegang pisau, Lyra menyibakkan rambut itu.

"Terserah deh. Gue gak begitu peduli lo siapanya Satria. Ceritain aja ke mana dia ngilang. Sekalian alesannya juga."

Perih.

Sungguh bodoh. Jarinya yang sbelumnya memegang bawang mengenai matanya, terasa perih. Meletakkan pisaunya sembarangan, Lyra mendekati wastafel. Dia mencuci tangan dan matanya.

"Lyra. Jawab gue."

Cindy menarik lengannya dan membuat mereka berhadapan. Lyra menghela napas jengkel. Dia benar-benar tidak ingin menceritakan tentang ini dua kali.

"Tanya Alfa. Dia tau," kata gadis berambut sepunggung itu sambil berusaha pergi dari hadapan Cindy.

"Alfa nyuruh gue tanya ke lo!" pekik Cindy. "Astaga, kalian ini kenapa, sih?"

Lyra menelan ludah. Alfa ingin dia menceritakan ini pada Cindy. Kenapa pemuda itu tidak memberitahu Cindy sendiri saja? Cindy jelas lebih mudah bicara dengan Alfa.

Melihat Lyra tidak merespon, Cindy mengerucutkan bibirnya. "Terserah!" Dia memasukkan irisan bawang ke dalam penggorengan tanpa memedulikan bunyi desisan yang keras ataupun letupan kecil minyak di dalamnya.

Lyra berbalik, berjalan ke ruang tamu. Dia ingin pulang. Jika Alfa ingin dia melakukan ini sekali lagi, maaf-maaf saja, dia tidak bisa.

Pulang.

Sepercik keraguan muncul di benaknya. Cindy atau gelas pecah?

Menghela napas, Lyra menyingkirkan keraguan itu. Dia punya handphone dan earphone untuk menyumpal telinganya ketika di rumah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun, jalannya dihadang oleh orang lain. "Mau ke mana, Ra?"

Memejamkan mata, Lyra mendesah. "Pulang."

"Kenapa? Lo nggak disuruh Bunda masak makanan baru lagi 'kan sementara beliau lagi arisan? Cindy nggak-"

"Jangan paksa gue cerita ke Cindy."

Hening.

Lyra berjalan lebih jauh lagi. Dia sudah hampir sampai di pintu ketika mendengar Alfa menahan lengannya dan berkata, "Nggak. Gue minta maaf. Gue cuma masih ... shock."

Hening lagi. Hanya terdengar suara samar dari dapur.

"Udah malem, Ra. Tunggu di sini dulu, paling nggak sanpe Bunda pulang. Bisa diinterogasi gue klo dia tau lo tiba-tiba pulang begini."

Menunduk, Lyra menyentakkan lengannya. "Sampein salam gue ke Bunda." Kemudian, dia meraih kenop pintu dan keluar.

***

"Gue minta maaf, oke? Waktu itu gue lagi agak kesel. Otak gue masih kacau, dan Cindy recokin gue sama pertanyaan-pertanyaan itu. Gue hampir gila."

Helaian rambut kembali jatuh di depan mata Lyra. Gadis itu menyibakkannya ke atas. "Nggak apa-apa."

"Ah, gue lupa kasih ini ke lo."

Lyra melirik pemuda itu sekilas
Dia sedang mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah benda berwarna hitam yang ramping, sepertinya terbuat dari besi. Benda itu tipis, seperti lidi.

"Apa itu?"

Tersenyum, Alfa menyerahkan benda itu pada Lyra. "Kayaknya lo agak risih sama poni itu."

Lyra menerimanya, memerhatikan benda tipis itu dengan seksama. Rasanya dia tidak pernah melihat benda itu. Ah, mungkin pernah, tapi bertahun-tahun yang lalu, cukup lama hingga membuatnya lupa.

"Gue nggak ngerti ini apa," katanya. Dia mengembalikan benda itu pada Alfa.

"Lo nggak tau? Beneran?"

Alfa tertawa sementara Lyra menggeleng. "Gimanapun juga, lo ini cewek. Nggak mungkin lo nggak tau."

Lyra hanya menatap pemuda itu datar.

"Oke, oke. Jadi, lo nggak ngerti ini barang apaan. Mau gue yang pasangin?"

Lyra mengerjap. Apa maksudnya itu? "Gue nggek ngerti itu barng apa, dipasang di mana, dan fungsinya apa."

Sambil tersenyum jahil, Alfa beringsut mendekati Lyra. "Dasar cewek. Kebanyakn gengsi. Kalo mau dipakein ngomong aja."

Lyra mengernyit. Apa-apaan orang ini? Meski begitu, dia tidak menolak ataupun menjauh kala Alfa mengulurkan tangannya dan menyentuh rambutnya. Dia tidak tahu apa yang Alfa lakukan dengan benda itu, tapi dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pelipisnya. Ujung benda itu terasa sedikit tajam di kulit kepalanya, tapi tidak terasa sakit.

Kemudian, Alfa melepaskan tangannya. Yah, tidak sepenuhnya. Jemarinya menyapu pelipis Lyra, menyentuh bekas lukanya. Tidak terasa sakit sama sekli, tapi jantung Lyra serasa copot.

"Udah nggak ada bekasnya. Masih sakit?"

Lyra menggeleng. Matanya tak bisa lepas dari wajah Alfa. Sebelum Lyra bisa mengembalikan kesadarannya lagi, Alfa melepaskan tangannya. Pemuda itu melengkungkan bibirnya membentuk senyuman tipis.

"Cindy nangis waktu gue kasih tau dia tentang ... Satria." Alfa menurunkan pandangannya, melepas kontak mata mereka. "Yah, gue nggak ngerti jalan pikiran dia yang sebener-benernya gimana. Setelah setahun, harusnya dia udah mulai lupa, tapi nggak tau kenapa akhir-akhir ini dia malah makin gila."

Alfa mendesah. "Dan gue nggak ngerti gimana bisa dia nangisin orang yang udah hilang dari hidupnya selama setahun."

Ada bagian dari diri Lyra, barangkali hanya setitik, yang serasa tertusuk ketika mendengar itu. Namun, gadis itu mengabaikannya.

"Gue nggak pernah tau kalau Satria punya pacar."

Tersenyum, Alfa menyahut, "Dia nyimpen beberapa hal dari kita. Dia pisahin dunia kita, dunia di mana dia ada sama lo dan sama gue."

"Kenapa?"

"Gue rasa dia masih belum percaya sama gue ataupun Cindy."

Sejumput kerinduan kembali muncul pada dirinya. Dia tahu segala-galanya tentang Satria. Masalahnya, keluarganya, masa lalunya, semuanya ... kecuali kehidupannya yang lain yang tidak bersinggungan dengan Lyra.

"Terus kenapa dia nggak ngasih tau tentang lo atau Cindy ke gue?"

Alfa terdiam sebentar, kemudian menjawab, "Lo pasti berharga buat dia. Gue nggak ngerti alesannya, tapi gue percaya dia tau apa yang dia lakuin."

Tidak sepenuhnya paham, Lyra mengalihkan pandangan. Dan perasaan itu muncul lagi. Kegelisahan. Keinginan yang begitu kuat untuk bertemu lagi dengan Satria.

"Gue kangen dia," bisiknya.

"Gue juga." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro