Twenty Fourth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cindy terdiam. Matanya menatap kertas itu lama. Kemudian, setetes demi setetes air matanya mengalir. Lyra melihat hal itu dalam diam. Tak ada yang bisa dia lakukan.

Lyra menatap kertasnya sendiri. 'Cause sooer or later it's over. I just don't want to miss you tonight.

Apa maksudnya? Lyra sama sekali tidak mengerti kenapa Satria melakukan ini. Satria terlalu misterius untuk benar-benar dimengerti.

Dan ada hal lain. Kertas dengan namanya di pojok kanan bawah ini hanya berisi sebait dan dua kalimat. Kenapa begitu singkat? Milik cindy dan Alfa masing-masing tiga bait. Kenapa?

Menggigit bibir, Lyra menahan sesak. Kenapa gini? Apa gue emang senggak penting itu sampe dia cuma nulis segini tentang gue?

Mata Lyra mulai terasa panas. Namun sebelum dia menjadi lebih emosional, handphone-nya bergetar. Mengeluarkannya dari saku, dia melihat Mama menelponnya. Gadis itu menelan ludah. Angkat atau tidak? Dia sungguh ingin mengalihkan pikirannya dari Satria, tapi tidak dengan ini.

Lyra melirik ke sekelilingnya. Alfa sedang merangkul Cindy yang tersedu-sedu, berusaha menenangkannya. Dan tiba-tiba, dia merasa berada di tempat yang salah.

Lyra mengangkat telponnya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara seorang wanita bicara dari seberang sana.

"Halo? Lyra, sekarang kamu di mana, Sayang?"

Lyra tidak menjawab, hanya menunggu Mama melanjutkan perkataannya.

"Bisa kamu pulang sekarang?"

Tidak. Tidak bisa tentunya. "Nggak, Ma."

"Ini penting, Lyra. Kamu harus pulang sekarang. Ada yang mau Mama bicarain."

"Nggak mau, Ma." Lyra mengembuskan napas. Hal terakhir yang dia inginkan-apalagi dalam keadaan seperti ini-adalah pulang.

"Pulang, Lyra."

Lyra menggeleng sebelum sadar bahwa Mama tidak akan bisa melihatnya.

"Ini perintah. Jangan coba melawan."

"Nggak mau!" pekiknya. Gadis itu memutuskan sambungan telponnya. Napasnya memburu.

Merasa diperhatikan, Lyra menatap Alfa dan Cindy. Dan benar. Mereka berdua sedang menatapnya dengan heran. Tangisan Cindy bahkan terhenti.

"Kenapa lo?" tanya Cindy.

Lyra menggeleng dan menunduk, memainkan handphone di tangannya.

"Ada apa, Ra? Siapa yang telpon?" Alfa ikut bertanya.

Menarik napas, Lyra menggeleng lagi. Alfa menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Mungkin Alfa tahu apa yang terjadi. Mungkin pemuda itu tahu siapa yang menelponnya.

"Lo udah puas, Cin?" Alfa menatap Cindy dan melepaskan rangkulannya.

Cindy hanya diam tanpa menjawab. Alfa melanjutkan, "Pulang, ya?" Samar, Cindy mengangguk.

Lyra menggigit bibir kala Alfa dan Cindy mulai melangkah ke jendela. Pemuda itu membantu Cindy memanjat dan keluar. Setelah Cindy keluar, dia sendiri hendak mengikuti. Namun saat melihat Lyra masih terpaku di tempatnya, dia kembali turun dan menghampiri gadis itu.
Lyra tidak ingin pulang. Dia harap Alfa mengerti dan tidak memaksa mengantarnya pulang.

"Lo disuruh pulang, ya?" tanya Alfa yang sudah berdiri selangkah di depannya. Lyra mengangguk.

"Tapi lo nggak mau pulang?"

Lyra mengangguk lagi.

"Kenapa?"

"Katanya mau ngomong."

"Berarti penting dong."

"Gue nggak suka, Al. Gue nggak mau pulang sekarang."

Alfa terdiam sejenak, kemudian berkata, "Lo ikut gue aja nanti. Sekarang kita keluar dulu."

***

Alfa memerhatikan Lyra yang berjalan di sampingnya. Gadis itu menunduk, sesekali melakukan kebiasaannya menyelipkan rambut ke belakang telinga. Lagi, gadis itu tidak sadar bahwa panjang rambutnya di bagian itu sudah berkurang.

Sudah mulai senja. Cahaya matahari mulai meredup.

Mereka berjalan berdampingan menuju rumah Lyra. Setelah mengantar Cindy pulang, mereka pergi ke danau, duduk di sana dalam hening. Alfa mencoba menanyakan apa yang terjadi pada Lyra.

"Jadi, kenapa?"

Kali ini, Lyra langsung menjawab. "Mama telpon. Gue disuruh pulang, katanya ada yang mau diomongin."

"Pulang, Ra. Itu mungkin penting."

Lyra menggigit bibir. Dia menggeleng pelan. Matanya tidak lepas menatap riak air danau di hadapannya.

Alfa mengembuskan napas. "Gue anterin."

"Nggak, Al."

"Gue temenin ngomong deh. Oke? Oke."

"Nggak."

"Iya."

"Nggak."

"Iya, Lyra. Harus. Janji deh, gue temenin." Tersenyum, Alfa mengacungkan kelingkingnya, menegaskan bahwa Lyra busa memegang janjinya.

Menggigit bibir, Lyra mengangguk. "Oke. Tapi nanti."

Mendengar itu, Alfa menepuk dahi. "Yah, sama aja dong. Sekarang aja, yuk." Alfa berdiri, kemudian mengulurkan tangannya pada Lyra.

Sedikit ragu, gadis itu meraih tangannya, menariknya untuk berdiri, dan mereka mulai berjalan berdampingan.

"Ra, kalo boleh tau, lo kenal Satria dari kapan?" tanya Alfa setelah mereka berbelok di salah satu tikungan.

"Dari kelas 4 SD."

Wow. Itu sudah lama sekali. Bertahun-tahun yng lalu, jauh sebelum Alfa mengenal Satria.

"Lo sendiri gimana?"

"Yah, panjang ceritanya. Lain kali aja gue kasih tau."

Alfa nyengir sementara Lyra mendengkus pelan. Perjalanan mereka kembli hening. Namun, tidak ada yang keberatan.

Mereka berbelok satu tikungan lagi, dan mereka sudah memasuki blok rumah Lyra.

Lyra berhenti beberapa meter dari rumahnya. Dia memerhatikan ambang pintu itu, yang kini diisi oleh dua orang tua Lyra. Gadis itu menggigit bibir.

Orang tua Lyra jelas terlihat khawatir. Mamanya bahkan melihat jam tangannya beberapa kali. Namun, mereka tidak bicara. Tidak bertengkar. Tidak berdebat.

Menoleh pada Lyra, Alfa berkata, "Ra, orang tua lo nungguin. Kenapa masih berhenti di sini?"

Lyra mengembuskan napas. "Gue takut," bisiknya.

Alfa mengernyit. "Takut kenapa?"

"Mama nggak pernah nelpon gue. Dan Papa sering bawa gunting"

Alfa menatap wajah gadis itu. Dahinya sedikit berkerut oleh rasa takut. Matanya pun memancarkan hal yang sama.

Tapi dia tetep harus pulang. Gimana pun juga, itu orang tuanya.

"Ayo, gue temenin." Alfa meraih tangan Lyra, menggenggamnya, berusaha menenangkan gadis itu dan mengalirkan kehangatan padanya.

Lyra mengembuskan napas keras. "Oke."

Mereka berjalan bersisian menuju rumah Lyra. Gadis itu sendiri terlihat tegang.

Kedua orang tua Lyra terlihat membeku ketika melihat putri mereka berjalan dengan seorang pemuda asing. Alfa dan Lyra berhenti beberapa meter dari ambang pintu tempat Papa dan Mama Lyra berdiri.

Keheningan terjadi cukup lama sebelum Papa mengatakan sesuatu. "Siapa dia, Lyra?"

Lyra mengerjap, kemudian menjawab, "Temen, Pa."

Tatapan Papa Lyra seolah menelanjangi Alfa. Beliau menatap tubuh Alfa dari atas sampai bawah, dan mau tidak mau Alfa merasa agak risih.

Gitu amat ngelihatin gue, kayak emak-emak lagi milih tupperware aja.

Kemudian, tatapan itu jatuh pada tangan Alfa. Bukan, sebenarnya bukan tangannya, melainkan tangan Lyra yang berada pada genggamannya. Mata pria itu melebar meski ekspresinya tetap datar.

Oh, ternyata sifat Lyra turun dari orang ini. Like father like son.

Salah. Like father like daughter.

Tatapan papa Lyra berubah mengancam, tapi Alfa tidak peduli.

"Lyra, masuk, yuk. Udah malem ini. Temen kamu juga harus pulang, 'kan?" kata Mama Lyra tiba-tiba.

Mereka berdua menoleh, melihat mama Lyra yang masih terlihat khawatir. "Lyra, masuk, Sayang. 'Kan Mama udah bilang kalau ada yang mau Mama omongin."

"Lyra mau masuk," sahut Lyra segera, "tapi Alfa harus ikut.

Orang tua Lyra menganga dalam keterkejutan. Ya, tentu saja Alfa sudah menduga ini. Dia juga tidak berharap bisa ikut masuk ke rumah Lyra. Dia hanya berharap bahwa dengan kehadirannya ini, Lyra mau menuruti kemauan orang tuanya.

"Nggak mau."

"Lyra." Alfa serta kedua orang tua Lyra menyebutkan nama gadis itu bersamaan dengan nada tegas yang sama.

"Masuk, Lyra. Biarin temen kamu pulang!" kata papa Lyra denga sedikit membentak.

"Lyra, tolong. Ini penting. Kita harus bicarain ini, Sayang." Mama Lyra pun ikut memohon.

"Nggak." Lyra mulai berbalik dan menarik tangan Alfa.

"Lyra!" bentak papanya lagi.

Lyra seketika mematung. Wajahnya menunduk, tatapannya tertuju pada tanah. Alfa bisa melihat desah napasnya yang berat dan memburu, serta matanya yang berkilauan.

Setidak tega apa pun, Alfa tidak boleh menambah masalah. Ini urusan pribadi keluarga Lyra, dan benar adanya bahwa dia tidak boleh ikut campur.

Sedikit menunduk, pemuda itu berbisik pada Lyra, "Ra, masuk aja dulu. Pulang. Gue juga harus pulang. Gue janji besok pagi gue temuin lo. Di mana pun. Oke?"

"Nggak mau."

"Gue nggak boleh ikut campur di sini, Ra. Besok. Janji. Perlu gue datengin ke sini?"

Lyra masih diam. Orang tua Lyra pun begitu, diam dan memerhatikan, meski Alfa yakin papanya menatap dirinya dengan begitu tajam.

"Gue janji, Lyra. Lo bisa omongin apa aja yang lo mau besok. Sekarang lo masuk, dengerin orang tua lo, terus istirahat."

"Oke." Lyra mengembuskan napas.

Tersenyum, Alfa melepaskan tangannya. Pemuda itu melihat Lyra berjalan ke ambang pintu. Mamanya merangkul pundak gadis itu, menggiringnya masuk. Dan pundak kecil itu pun hilang dari pandangan Alfa.

Setelah mendapat tatapan tajam terakhir dari papa Lyra, Alfa berbalik dan pergi. Pikirannya masih terpaku pada Lyra.

Semoga gadis itu baik-baik saja. Semoga apa pun yang dia takutkan tidak terjadi. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro